Persib punya bobotoh, SNSD punya fans bernama sone. Kedua massa pendukung itu, dalam segi fanatisme, sama bengisnya. Kedua identitas ini juga yang bisa ditempelkan pada saya. Antara Persib dan SNSD, merupakan produk budaya sekaligus produk jualan. Identitas sekaligus brand. Keduanya punya satu kesamaan mendasar yang seringkali enggak kita sadari: ada korporasi di belakangnya.
Dengan maksud merendahkan, saya menyebut PT. Persib Bandung Bermartabat sama kayak SM Entertainment, hanya sebagai perusahaan di bisnis hiburan. Jika SM punya TVXQ, Super Junior, SNSD, Shinee, f(x), EXO, Red Velvet, dan NCT, maka PT PBB cukup punya satu grup idol bernama Persib. Tanpa perlu mengeluarkan dana ekstra buat promosi, PT PBB otomatis sudah punya konsumen tetap khususnya di daerah Priangan.
Penjelasan ringkas soal komersialisasi produk budaya telah disinggung Eka Kurniawan dalam pos di blognya berjudul Identitas. Eka memperbandingkan soal musik pop Korea dan liga sepakbola Spanyol. Menurutnya, keduanya telah menjelma menjadi sejenis “bahasa” yang dimengerti banyak orang. Mereka sadar, “identitas” yang mereka ciptakan ini bisa mereka jual, bisa menjadi semacam “brand”.
Kita kembali pada SM Entertainment dan PT PBB. Untuk dua korporasi ini pernah saya pernah bahas di Legenda di Balik Penciptaan K-Pop dan Membebaskan Persib dari Jerat Kapitalisme, Mungkinkah?
Haha. Sebenarnya saya juga bingung ini tulisan mau mengarah ke mana. Jadi biarkan saya berbual. Saat iseng mencari kajian kapitalisme dalam model bisnis SM Entertainment, saya nemu istilah Kapitalisme 4.0. Tesis ini diambil dari judul bukunya Anatole Kaletsky, seorang editor-at-large di The Times, berjudul Capitalism 4.0: The Birth of a New Economy.
Bukunya adalah ulasan provokatif dari banyak kontroversi politik dan ekonomi saat ini, dan mencakup bagian substansial mengenai kegagalan teori ekonomi. Itu menurut blurb. Saya sendiri belum baca.
Menurut Kaletsky, kapitalisme 1 mendominasi perekonomian dan kebijakan ekonomi dari masa dirilisnya The Wealth of Nations-nya Adam Smith sampai Great Depression. Kapitalisme 2, hasil dari depresi tadi, memunculkan pengakuan bahwa diperlukan saling ketergantungan politik dan ekonomi, dan memberi pemerintah peran dalam pengelolaan ekonomi makro dan arahan industri. Ini juga kemudian berantakan dalam inflasi tahun 1970an.
Kedatangan Ronald Reagan dan Margaret Thatcher meresmikan Kapitalisme 3, sebuah rezim fundamentalisme pasar di mana ketidaksetaraan melebar dan sektor keuangan berkembang. Selanjutnya krisis kredit pada 2007-2008 merupakan pemicu revisi yang sama substansial. Hari ini kita menghadapi suatu era, bukan dari matinya kapitalisme, tapi sebuah bentuk baru: Kapitalisme 4.
Kapitalisme atau Kapital adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
SM Entertainment dan PT Persib Bandung Bermartabat sama-sama korporasi. Yang dikendalikan para kapitalis. Tapi hey, mereka berdua cuma bergerak di bisnis hiburan. Tak ada yang dibuat mati atau terluka atau sengketa agraria. Ya suka-suka mereka mau jualan. Kalau kita kecewa pada produk mereka ya tinggal beralih pada yang lain. Sialnya, susah untuk melepas identitas yang telah melekat.
Saya menyoroti kapitalisme 4.0 dari segi teknologi informasinya. Seperti kehadiran mesin cetak Gutenberg, adanya internet pun saya yakin membuka semacam era baru. Dulu berkat kapitalisme-cetak banyak mendorong modernitas lewat persebaran ide. Beragam gagasan dan ideologi bisa tersebar. Munculnya nasionalisme pada abad 18, misalnya. Suatu identitas yang belum ada sebelumnya. Apalagi di zaman sekarang yang makin terkoneksi. Ketersebaran identitas-identitas makin hingar bingar.
Saya tahu saya cuma konsumen. Berhenti jadi fans Persib dan SNSD tentu sangat mungkin. Tapi setelah itu apa? Salahkah jadi konsumen? Kenapa identitas superfisial ini begitu melekat secara emosional? Benarkah itu hanya sebatas superfisial, sesuatu rekaan? Ada banyak pilihan hiburan, tapi kenapa kita lebih menyukai yang satu ketimbang yang lain? Hiburan macam apa yang bisa bikin kita bahagia? Emang apa itu bahagia? Ah hidup sudah memusingkan, ditambah lagi pertanyaan sok eksistensial beginian. Saya lebih memilih jadi konformis, dan berakhir menghamba pada grup idola bernama Persib dan SNSD tadi.
Selain kebutuhan untuk idolisasi, sangat asyik buat menganjing-anjingkan korporasi di belakang mereka kalau memang pianjingeun. Yang paling penting sih, tetap mengawasi SM Entertainment dan PT Persib Bandung Bermartabat agar enggak bertransformasi jadi Skynet.
Mungkin Heechul dan kawan-kawannya di Knowing Bros bisa menjawab