Suatu hari Socrates berjalan-jalan bersama seorang muridnya, Phaedrus, sampai mereka tiba di batas luar kota Athena. Tiba-tiba Socrates menyatakan kekagumannya terhadap keindahan pemandangan alam yang membentang di hadapannya – kelihatan seperti orang yang kurang piknik. Terheran-heran Phaedrus bertanya, “Apakah sepanjang umurmu tinggal di Athena ini belum pernah menyaksikan pemandangan di pinggir kota ini?”
“Benar, sahabatku…, tetapi ketimbang pepohonan yang tumbuh di padang membentang ini, aku lebih tertarik pada orang-orang yang bisa kuajak bercakap-cakap,” ungkap Socrates, “sebab dari merekalah bisa kugali pengetahuan dan kearifan, tidak pepohonan itu.”
Renungan tentang manusia oleh manusia merupakan salah satu kesibukan tertua dalam sejarah kemanusiaan. Di antara filsuf Yunani kuno, nama Socrates menjulang tinggi dan menjadi pedoman patokan bagi munculnya haluan baru dalam berfilsafat. Menurut Socrates, setiap usaha berfilsafat harus diawali dengan tugas “Gnothi seauton!” (Kenalilah dirimu!). Bagi gurunya Plato ini segala kenyataan di luar dirinya nggak akan membuat kita lebih tahu dan paham akan hakikat hidup kita sebelum dicapainya pengetahuan dan pemahaman tentang manusia.
Begitu terpusatnya perhatian Socrates pada masalah kemanusiaan sehingga menjadi kebiasaan baginya untuk setiap hari berjalan-jalan menjelajahi kota Athena dan menelusuri lorong-lorongnya atau mengitari alun-alun kota itu. Bukan sekadar untuk menikmati pemandangan dan adegannya, melainkan untuk bercakap-cakap dengan siapa saja yang ditemui. Seandainya teknologi kamera sudah eksis waktu itu, maka Socrates akan menggeluti street photography ketimbang fotografi lanskap.
“It is more important to click with people than to click the shutter.”- Alfred Eisenstaedt
Soal street photography sendiri, meski sudah muncul gambaran bakunya, masih banyak perdebatan tentang konsep dan definisi. Apakah harus cuma candid? Apakah boleh mengarahkan pose? Apakah street photography harus ada objek manusianya? Apa bedanya dengan foto jurnalistik? Samakah dengan human interest? Yang pasti yang namanya konsep, kategori dan definisi bisa berubah dan akan selalu berubah.
Embrionya street photography bermula dari Prancis, dapat dihubungkan dengan budaya flâneur: orang yang suka jalan-jalan, keluyuran di dalam sebuah kota tanpa tujuan yang begitu pasti. Adalah Eugène Atget yang menjadi pioner dalam fotografi dokumenter, yang merekam beragam arsitektur dan adegan di jalanan Kota Paris yang waktu itu sedang dimodernisasi pada medio 1890-1920. Kemudian, dari Kota Mode ini muncul sosok Henri Cartier-Bresson yang peletak dasar konsep street photography, dengan istilah “decisive moment”-nya.
“To me, photography is an art of observation. It’s about finding something interesting in an ordinary place.” – Elliott Erwitt
Street photography adalah percaya bahwa ada momen indah pada yang sehari-hari. Kemudian timbul pertanyaan, apakah estetika adalah tujuan akhir fotografi? Iya dan nggak, estetika bukan tujuan fotografi, melainkan syaratnya. Pada akhirnya, street photography adalah soal berdialog dengan manusia dan kemanusiaan. “Aku lebih tertarik pada orang-orang yang bisa kuajak bercakap-cakap, sebab dari merekalah bisa kugali pengetahuan dan kearifan,” jelas Socrates.
Oh ya, ada syarat street photography yang lain, yang harus ada, yakni sebuah kamera dan mau berjalan kaki. Dan kita tahu, Socrates juga sesungguhnya seorang fotografer jalanan, meski tanpa kamera. Dan pastinya nggak terlalu peduli soal apa itu street photography.
+
Referensi:
- Hassan, Fuad. 2014. Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu
- Prasetya, Erik dan Ayu Utami. 2015. Estetika Banal & Spiritualisme Kritis. Jakarta: KPG
- Street Photography – Wikipedia
- Eugene Atget – Wikipedia
- Henri Cartier-Bresson – Wikipedia
Foto: Matt Stuart, Alfred Eisenstaedt, Elliott Erwitt
Foto hitam putih itu selalu menghadirkan nuansa tersendiri.
Kadang dengan hitam putih justru bikin foto lebih berwarna.
Saya akan agak bingung kalau menelaah street photography dengan mencoba memutuskan apa foto yang saya ambil adalah foto secara candid, human interest, atau berkonsep dengan decisive moment tapi yang jelas saya kayaknya bakal ambil kamera dan jalan kaki di dekat-dekat kosan, siapa tahu ada sesuatu yang menarik yang bisa dipotret :hehe.
Bener, jangan terlalu mikirin konsep dan definisi. Yg penting jalan kaki, jepret, jalan-jalan, jepret. Karena sebenarnya semua hal menarik buat difoto, ga ada yg namanya ‘decisive moment’.
Setuju! Nah, ini dia :)).
wah aku paham dunia potografi. Tapi lumayan tertarik sih sama mengabadikan momen2 dengan foto.
Mnarik bnget ni sedikit bnyak taulah tentang street poto hhe
Duh yg saya paham mah cuma soal pornografi. Eh.
[…] | Lihat: Socrates dan Street Photography […]
Street Photography. Human Interest. Journalistic Photo. Banyak banget istilah yang sy sendiri bingung Rip.
Inti SP itu jalan n capture yang ditemui di jalan. Gitukah?
Kalau yang lain?
Saya sih ga terlalu mikirin definisi atau kategorisasi.
Tapi ada satu quote menarik dari Bruce Gilden: “If you can smell the street by looking at the photo, it’s a street photograph.”
Nice quote Rip.
Kalau sepengetahuan saya sih, street photography itu ya fotografi di jalanan (street). Obyeknya bisa human interest, still life, pemandangan, dan lain sebagainya. Selamat motret yah! 😀
Emang bener juga, kalau secara harfiah ya yg namanya street photography ya fotografi yang di jalanan.
Cakep2 yaaaa hitam putih sederhana tapi penuh makna
Tapi lakoni street photography itu harus gede nyalinya. Apalagi sampai ketahuan ngejepret. Harus bisa kondusifkan suasana klo objeknya ga suka, haha
Nah ini memang seninya. Soal berdialog dengan sesama.
Aku suka nyari gambar di jalanan. Tapi kadang ada juga orang yang nggak mau difoto. Huhu. Ini perjuangannya nyari moment.
[…] | Lihat: Socrates dan Street Photography […]