Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam.
Iwan Simatupang, Ziarah
Frasa ‘masa lalu yang indah’ bukan berarti hal buruk jarang terjadi di masa lalu, hanya saja, beruntungnya, orang-orang diberkati bakat mudah melupakannya. Sialnya, kita tak diberi kuasa untuk memilih mana yang harus dilupakan, pikiran kita begitu tengil. Kalau tak jadi gumpalan gelap, masa lalu berubah jadi ingatan fragmentaris, pecah jadi beling, untuk kemudian menggiring manusia pada bakat lainnya: meromantisasi. Inilah yang terjadi saat saya melihat-lihat hampir 1700an foto yang saya kumpulkan dalam folder Kedai Preanger.
Kadang saya terhenti pada sebuah foto, mengamati agak lama, sesekali diperbesar, mencoba mengingat, perasaan hilang timbul, yang seringnya bikin saya tersenyum, senyum dengan rasa sendu. Semua foto adalah memento mori, sebut Susan Sontag. Mengambil foto adalah berpartisipasi dalam kemortalan, kerentanan, dan ketaktetapan orang lain, atau suatu hal. Dengan mengiris suatu momen dan membekukannya, segala foto membuktikan pencairan tanpa henti sang waktu. Karena ia tak ada dalam kendali kita, waktu menjadi mimpi buruk, kabar buruknya mesin waktu hanya ada dalam fiksi ilmiah. Kemarin adalah sesuatu yang tak bisa diulang, difungsikan begitu, hanya untuk dikenang, dan oleh yang sedikit untuk diinsafi. Kiwari, teknologi menyulap kemarin jadi potongan piksel.
Tentu, tak ada tujuan untuk menyaingi Tropenmuseum atau KITLV. Saya sadar termasuk golongan pengarsip yang payah, dan agak malas. Berhubung akhir-akhir ini sedang bergelut dalam persejarahan, saya berpikir kenapa tak mengulik sejarah mungil yang dekat. Folder Kedai Preanger tersebut diisi oleh foto-foto yang terkirim dari grup WhatsApp Komunitas Aleut, sejak April 2016. Foto-foto yang sebagian besarnya untuk konsumsi di grup tersebut, hanya sedikit yang diumbar di media sosial, karena tak Instagramable dan kadang asusila. Gaya estetika visual foto-fotonya merupakan contekan are-bure-boke, kasar-kabur-tak fokus, potretan mana suka, penuh noise, tapi bukan karena ingin meniru fotografer Daido Moriyama, lebih karena kebutuhan praktis dan kemampuan kamera yang segitu-gitunya. Peduli setan dengan decisive moment-nya Henri Cartier-Bresson, inilah potretan yang saya suka, foto-foto yang justru lebih memiliki jiwa.
“Komunitas” nampaknya mengalami penyempitan makna. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”. Jarang kita dapati “komunitas” sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan. Apa yang hari ini kita sebut atau rujuk soal komunitas cuma sebatas klub kegemaran. Bukankah kalau secara gramatika, seseorang yang aktif di komunitas bisa disebut komunis?
Selain dari teks-teks Marxis yang saya baca, Komunitas Aleut tampaknya yang berperan menyulap seorang yang anti-sosial ini jadi lebih sosialis. Tampak luar, Komunitas Aleut mungkin cuma dianggap klub jalan-jalan hore keliling bangunan-bangunan kolonial, atau para kutu buku yang ngulik masa lampau. Padahal definisi komunitas yang dipakai adalah dari arti sebetulnya, masyarakat, atau lebih tepatnya “masyarakat mungil” untuk terjun ke masyarakat yang lebih luas. Kedai Preanger adalah ruang belajar tersebut. Bagi saya, Solontongan 20D pernah jadi rumah tangga (bukan hanya karena ada tangga ke lantai dua, tapi saya pikir “rumah tangga” dalam makna kiasan betulan).
Saya tak ingat betul kapan mulai menginap, bahkan menetap di sini. Yang pasti dimulai sejak 2015. Di awal tahun tersebut, terakhir kalinya saya punya kamar kos dan harus meninggalkannya setelah praktek lapangan di RSUD Sumedang usai. Karena jadwal perkuliahan tak terlalu padat, saya dugdag dari rumah di Bandung selatan ke Jatinangor. Kemacetan di Jembatan Citarum sampai Cibaduyut, panjangnya Jalan Sukarno-Hatta beserta lampu merahnya yang menguji kesabaran, kemacetan lainnya dari Cibiru sampai Cileunyi, dan berlaku sebaliknya saat nanti pulang, memunculkan tiga tempat rehat pilihan: masjid, minimarket dan Kedai Preanger.
Kejenuhan akan perpolitikan kampus dan krisis eksistensial yang mendera bikin saya ingin punya semacam pelampiasan yang rada liberal: sastra dan humaniora. Kedai mungil ini menyediakan perpustakaan. Di tahun 2015, Kedai Preanger masih punya pegawai, dan sudah ada dua penghuni tetap, Irfan dan Ghera, ditambah penghuni gaib lainnya, yang katanya nongkrong di tangga. Ketika terlalu malam, atau terlalu malas, untuk pulang ke rumah, saya menginap di sini. Sampai akhirnya justru inilah jadi tempat pulang.
Kedai Preanger ramai di waktu tertentu saja, utamanya saat Kamisan dan Kelas Literasi. Bunga-bunga muncul dan redup, hama-hama terus bermuram durja. Entah siapa dan kapan tercipta istilah “bunga” dan “hama” ini, yang pertama berarti perempuan, yang kedua adalah para penyamun yang mencoba, atau berangan-angan, ingin mendapatkan yang pertama. Selain agar Kedai Preanger makin ramai, antar jemput diciptakan untuk memuluskan langkah para hama tadi, meski seringnya cuma membuat para hama itu naik tingkat jadi tukang ojek gratisan. Untuk urusan ini, saya hanya memercayakan motor saya untuk dipakai antar jemput, biasanya oleh Ajay atau Akay.
Orang-orang hadir dan pergi, membawa suka ria dan patah hati, menciptakan cerita. Selain jago memoderatori Kelas Literasi, Irfan paling lihai memandu sesi curhat dan menganalisis gosip-gosip percintaan. Waktu terbaik adalah ketika sebelum tidur malam, saat lampu dimatikan. Gelap yang menaungi ruangan menyulap tiap-tiap penginap menjadi Syahrazad, juru cerita dalam Kisah Seribu Satu Malam. Tak semua begitu, selalu ada yang gigih mengunci mulutnya, atau yang masih malu-malu kunyuk. Jujur, meski sering memberi komentar, saya sendiri begitu menutup diri. Saya kadang merasa bersalah karena tak bisa membagi kisah-kisah ajaib.
Jika diadu dengan kedai kopi kiwari yang memakai kusen-kusen kayu berpelitur kinclong dan alat-alat kopi elitis, yang menyetel lagu-lagu sendu dengan suasana adem tanpa bising motor bocah-bocah SMP, Kedai Preanger bakal dilabeli kumuh oleh para hipster. Secara bisnis, berjalan merayap, bahkan terseok-seok, dengan berbagai macam perubahan menu dan pergantian pegawai. Namun, mengingat banyak kedai, kafe, atau usaha yang sejenis ini ternyata hanya mampu bertahan 1-2 bulan saja, lalu bubar, Kedai Preanger harus berbangga.
Bukan racikan kopi dan teh yang luar biasa, apalagi dengan peralatan yang sangat seadanya, namun ada hal lain yang dapat ditemukan di Kedai Preanger. Kopi hanyalah minuman sederhana yang dibikin ribet oleh manusia modern. Namun, di kedai ini saya belajar meracik kopi sendiri. Memang, jika ditanya soal tektek bengek third wave coffee, saya angkat tangan, tapi barista mana yang bisa memberi kuliah soal sejarah Priangan dan awal mula kopi.
Kierkegaard tak bisa mengajarkan cara merapikan parkir motor, Nietzsche tak bisa mengajarkan cara mengiris bawang, Camus tak bisa mengajarkan cara memecah es batu dalam plastik, Zizek tak bisa mengajarkan cara japri pada seseorang yang ada di grup WA, dan para filsuf lebih memilih memikirkan hal-hal abstrak. Tentu, ada beribu alasan yang bakal diajukan para pemikir itu kenapa mereka langka memikirkan hal-hal praktis.
Selain membaca, mencuci piring jadi kesenangan saya berikutnya. Entah kenapa. Melihat tumpukan piring berminyak dan gelas dengan ampas kopi sisa malam kemarin, dan harum Sunlight, berasa sedang melakoni seorang George Orwell dalam Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Terbayang ketika Hemingway nyaman makan di hotel modis di rue de Rivoli, Orwell sedang berpeluh menghadapi piring-piring kotor di dapur bawah dengan perut keroncongan.
Jika Shakespeare & Company punya andil besar bagi Hemingway, maka bagi saya itu adalah Kedai Preanger. Sebagai rumah, ia telah membuka beragam minat: literasi, kopi, cuci piring, jatuh cinta dan bakat romantisasi – kesaktian yang sebenarnya dikuasai betul Abdurahman lain dari Cibeureum. Solontongan 20D telah kembali ke fungsi sebelumnya, cuma ruko.