Son Heung-min Sang Idol Sepak Bola

Son sering disebut sebagai David Beckham dari Asia, karena daya jual dan popularitasnya yang melampaui sepak bola. Dia mendapat sambutan meriah ketika dia mendarat di bandara di Korea Selatan. Spurs sekarang memiliki ratusan penggemar Korea.

Son Heung-min menceritakannya, saat dia berusia 10 tahun dan bertengkar dengan kakak laki-lakinya, Heung-yun. Kemudian terjadi sesuatu yang bakal terus membekas dengannya.

Ayah dari sang pemain garda depan Tottenham itu, Son Woong-jung, adalah mantan pemain sepak bola profesional di Korea Selatan, dan ia mulai melatih putra-putranya, menjadikan itu sebagai misinya untuk membimbing mereka ke puncak, menghindari jebakan yang pernah ia hadapi. Pada saat itu,  ia melihat warna merah dan, meminjam kata yang digunakan Son, memutuskan untuk memaksakan diri pada sebuah pengorbanan.

“Dia sering menyuruh kami empat jam latihan keepy-uppy,” kata Son. “Kami berdua. Setelah sekitar tiga jam, saya melihat tiga bola. Lantainya merah [melalui mata merah]. Saya sangat lelah. Dan dia sangat marah. Saya pikir ini adalah cerita terbaik dan kami masih membicarakannya ketika kami semua bersama. Empat jam menjaga bola tetap di atas dan Anda tidak menjatuhkannya. Itu sulit, kan? “

son heung min spurs
Son Heung-Min menghadiri sesi bersama tim sepak bola putri penyandang disabilitias di The Vale Special School di Northumberland Park yang diselenggarkan Tottenham Hotspur Foundation. Foto: Tom Jenkins/The Guardian

Tunggu dulu, apa benar? Son tidak membiarkan bola menyentuh tanah? Selama empat jam? Saat berusia 10 tahun? “Tidak,” katanya. Mustahil! Tatapan Son dingin. “Tidak, tidak sekalipun,” jawabnya.

Kisah ini memperlihatkan beberapa hal – bakat alami Son, di antaranya. “Begitu saya bisa berjalan, saya menendang bola,” katanya. Tetapi apa yang menyinari dan menopang kebangkitannya, ke titik di mana ia dapat dianggap sebagai pemain unggulan di Asia, adalah kesiapannya untuk menanggapi tuntutan ayahnya. Itu, dan tingkat fokus serta dedikasinya yang luar biasa.

Son menceritakan kisah lain yang menampilkan ayahnya dan hukuman keepy-uppy. “Ketika saya berusia 10 atau 12 tahun, dia datang untuk melatih tim sekolah saya dan kami berlatih, 15 atau 20 pemain. Programnya adalah agar kami semua menjaga bola selama 40 menit. Ketika seseorang menjatuhkan bola, ayah saya tidak akan mengatakan apa-apa. Tapi begitu saya menjatuhkannya, dia menyuruh kami semua memulai dari awal. Para pemain mengerti, karena saya adalah putranya dan, ya, itu sulit. Namun ketika Anda memikirkannya sekarang, itu adalah cara yang benar.”

Sangat menggoda untuk mengesampingkan ayah Son sebagai seorang pendisiplin yang tidak kenal belas kasihan, dan bertanya-tanya apakah hal itu memengaruhi hubungan antara keduanya. Adalah keliru untuk menyimpulkan begitu – kenyataannya Son tidak memiliki apa-apa selain kekaguman dan rasa hormat kepada ayahnya. “Apakah dia seorang pelatih yang keras?” ungkap Son. “Ya. Menakutkan juga.” Namun nadanya penuh kasih sayang. Dalam masyarakat Korea, perkataan seorang ayah cenderung menjadi hukum. Son telah mengikutinya; dia telah menginsafinya.

son heung min asian games
Son Heung-min memenangkan emas di Asian Games di Indonesia pada September 2018. Foto: Bernat Armangue / AP

“Ayah saya memikirkan apa yang saya butuhkan sepanjang waktu. Dia telah melakukan segalanya untuk saya dan tanpa dia, saya mungkin tidak akan berada di tempat saya hari ini. Sebagai pemain, Anda perlu bantuan. Penting juga untuk bertemu manajer yang hebat dan kemudian beruntung juga. Segalanya datang bersamaan pada saya.”

Sudah sekitar sembilan bulan yang luar biasa bagi Son, dimulai pada Piala Dunia tahun lalu, ketika Korea Selatan tersingkir dari babak penyisihan grup setelah kalah melawan Swedia dan Meksiko tetapi kemudian mengalahkan Jerman dalam pertandingan terakhir mereka. Setelah pertandingan Meksiko, pemain berusia 26 tahun itu terisak tak terkendali ketika presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, mengunjungi ruang ganti.

Son memenangkan Asian Games sebagai pemain wildcard di tim Korea Selatan U-23 pada awal musim – yang membuatnya dibebaskan dari 21 bulan masa dinas militer – tetapi pada Januari, timnya kalah secara tak terduga di perempat final Piala Asia oleh Qatar.

Nasib Son di Spurs melonjak sejak Mauricio Pochettino menahannya dari program internasional pertengahan November demi pelatihan klub dan, yang terpenting, tidak bepergian. Pochettino khawatir Son menghadapi kelelahan mental dan fisik. Sejak itu ia telah mencetak 14 kali gol dalam 23 penampilan untuk Spurs, memberinya total 16 gol untuk musim ini. Penampilannya telah menjadi kunci bagi dorongan untuk finis empat besar dan melaju ke perempat final Liga Champions.

Satu statistik dari Opta menunjukkan Son telah mencetak 19,3% dari tembakannya di Liga Premier musim ini, membuatnya lebih sangkil daripada yang pernah ada di kompetisi tersebut. Itu semua berfungsi untuk menempatkannya dalam kandidat pemain terbaik musim ini.

“Pertengahan November adalah 100% periode besar bagi saya,” kata Son. “Saya sudah sering bepergian. Saya merasa tidak enak. Ada banyak hal di kepala saya. Begitu melelahkan. Pelatih membuat pilihan dan bagi saya itu sempurna – berbagai latihan keras di Spurs dan sedikit istirahat. Seperti yang saya katakan sebelumnya, Anda pasti beruntung bertemu seorang manajer hebat. Saya telah luar biasa berkembang di bawahnya.”

Apa yang mengangkat Son di mata pendukung Spurs dan banyak orang lain adalah sifat hormat, energi dan sikap positifnya, dan senyum itu. Untuk seseorang yang begitu percaya diri dengan kemampuannya, jarang menemukan kerendahan hati seperti itu.

“Ayah saya memberi tahu saya ketika saya masih muda bahwa jika saya berhasil mencapai tujuan tetapi seorang lawan jatuh dan cedera, saya harus menendang bola ke luar dan memeriksa lawan. Karena jika Anda seorang pemain bola yang baik tetapi tidak tahu bagaimana menghormati orang lain, Anda bukan siapa-siapa. Dia masih mengatakan itu padaku. Terkadang sulit, tetapi kita adalah manusia ketimbang pemain bola. Kita harus saling menghormati. Di lapangan, di luar lapangan – mengapa harus membeda-bedakannya?”

Son jauh dari tipikal pemain bola. Dia tinggal bersama orang tuanya di apartemen tiga ranjang di Hampstead dan, meskipun dia dan pemain lainnya diberi hari libur pada hari Kamis dia tidak akan pernah membatalkan kunjungan ke sekolah Vale di Tottenham, dekat stadion baru klub.

Dia datang 10 menit lebih awal, sebuah laporan langka karena ini hampir tidak pernah terjadi dengan bintang sepak bola dunia. Dalam perjalanan, dia mengatakan kepada wakil kepala bahwa dia berharap anak-anak akan mengenalinya. Jika ucapan itu bukan basa basi (dan tampaknya tidak demikian) maka itu adalah penghinaan diri yang menggelikan.

son heung min champions dortmund
Son Heung-min mencetak gol pertama Tottenham melawan Borussia Dortmund di leg pertama babak 16 Besar Liga Champions. Spurs lolos ke perempat final. Foto: Tom Jenkins/The Guardian.

Son sering disebut sebagai David Beckham dari Asia, karena daya jual dan popularitasnya yang melampaui olahraganya. Dia mendapat sambutan bagai bintang rock ketika dia mendarat di bandara di Korea Selatan sementara dia tidak bisa berjalan di negaranya karena takut dikerumuni. Spurs sekarang memiliki ratusan penggemar Korea saat berlangsung pertandingan; bahkan ada sekelompok mereka di luar tempat latihan hampir setiap hari.

Son begitu alami dengan gadis-gadis penyandang disabilitas di sekolah itu dan menyenangkan untuk melihat reaksi mereka ketika ia bergabung dengan sesi pelatihan yang diselenggarakan Tottenham Hotspur Foundation. Ada pelukan, keprok dua tangan dan jabat tangan manis – salah satu ciri khasnya.

Ambisi Son terbakar dengan cerah dan ia menetapkan satu pikiran ke dimensi berikutnya. Dia tertawa terbahak-bahak ketika dia diingatkan tentang bagaimana ayahnya mengatakan bahwa Son tidak boleh menikah sampai setelah dia pensiun sebagai pemain. Son telah berkencan dengan bintang pop Korea Bang Min-ah dan Yoo So-young, dan tidak menjalin ikatan lebih jauh.

“Ayah saya mengatakan ini dan saya setuju juga,” kata Son. “Ketika Anda menikah, yang menjadi nomor satu adalah keluarga, istri dan anak-anak, dan kemudian sepakbola. Saya ingin memastikan bahwa ketika saya bermain di level atas, sepakbola bisa menjadi nomor satu. Anda tidak tahu berapa lama Anda bisa bermain di tingkat atas. Ketika Anda pensiun, atau ketika Anda berusia 33 atau 34, Anda masih bisa memiliki umur panjang dengan keluarga Anda.”

Son mengatakan bahwa sebagian besar manajer Eropa lebih suka pemainnya menikah dan berkeluarga. “Ya, karena ada banyak peluang untuk melakukan hal-hal di luar lapangan, seperti minum-minum atau sesuatu seperti itu,” katanya. “Tapi aku bukan tipe yang suka melakukan hal ini.

“Saya hanya ingin memastikan saya membuat semua orang senang dengan bermain di level atas. Misalnya, ketika saya bermain untuk Spurs di Wembley, berapa banyak bendera Korea yang Anda lihat? Saya ingin menjaga level saya setinggi mungkin selama saya bisa, untuk membayar kembali kepada mereka. Ini sangat penting bagi saya.

“Apakah saya merasa seperti seorang duta besar untuk negara saya? Tentu saja, saya harus menjadi seperti itu. Contoh lain: ketika kita bermain jam 3 sore, itu tengah malam di Korea. Ketika kami bermain di Liga Champions pada jam 8 malam, di sana jam lima pagi dan mereka masih menonton di TV. Saya harus membayar kembali; Saya mengambil banyak tanggung jawab.”

Son memperluas tema itu kepada orang tuanya. “Ada berbagai sikap di Eropa dan Asia dan, tentu saja, orang-orang berpikir: ‘Mengapa dia tinggal bersama keluarganya?’ Tetapi siapa yang peduli dengan saya? Siapa yang membantu saya bermain sepakbola? Cuma mereka. Mereka menyerahkan hidup mereka dan mereka datang ke sini untuk membantu saya. Saya harus membayar kembali.

“Saya sangat berterima kasih kepada mereka dan saya benar-benar berterima kasih atas setiap kesempatan untuk membuat ini. Saya tahu menjadi seorang profesional lebih dari sekadar bakat. Seperti idola saya, Cristiano Ronaldo, yang benar-benar bekerja lebih dari bakat yang dimilikinya. Saya melihat banyak pemain yang tidak memiliki mental, yang berpikir bakat sudah cukup. Tapi ternyata tidak.”

Son selalu menempatkan diri dalam latihan keras. Bahkan ketika dia masuk ke tim Hamburg pada usia 18, ayahnya – pada kunjungan dari Korea Selatan – akan menempatkan dia melalui latihan tambahan yang melelahkan. Ada banyak momen ketika semuanya terasa berharga, dengan kemenangan Asian Games baru-baru ini di antaranya.

Bagi banyak orang Korea Selatan, ini lebih tentang Son memenangkan kebebasannya dari dinas militer ketimbang memenangkan turnamen – yang menunjukkan kasih sayang yang dia miliki. Tidak mengherankan, Son tidak menjalani hal itu dan, sebagai tambahan, ia akan mengikuti kursus pelatihan prajurit dasar selama empat minggu baik musim panas ini atau di musim berikutnya.

“Itu adalah turnamen besar – bukan karena saya – dan, ketika itu adalah hal yang besar, saya sangat senang dan bangga memenangkannya; bangga dengan negara saya, bangga dengan rekan satu tim saya,” kata Son. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, bukan tujuan saya untuk menghindari dinas militer. Tujuan saya hanya untuk menjadi hebat sebagai pemain bola – sepanjang waktu. Ini salah satu bagiannya.”

*

Diterjemahkan dari artikel The Guardian berjudul Son Heung-min: “My father says I shouldn’t marry until I retire and I agree”.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *