“Rileks aja ya pak, tahan sebentar”.
Dengan tangan yang sedikit bergetar tegang, aku membilaskan kapas beralkohol di area vena tangan pasien yang tengah terkapar di kasur putih yang tampak agak kucel. Kubilas daerah penyuntikan tadi dengan penuh perasaan, seanggun mungkin yang dapat ku lakukan. Pasienku nampaknya tak keberatan, tak merespon sama sekali.
Kapas kubuang, lalu aku ambil abocath, semacam jarum suntik yang digunakan untuk transfusi darah, dari wadah besi penuh jarum suntik yang kuletakan tepat di samping tangan pasienku yang putih pucat.
“Okay, tarik napas dan tahan ya pak, tetap rileks”, abocath sudah sangat siap untuk disuntikan, dan pasienku tetap tenang membisu.
“Eh, nyuntik harus berapa derajat sih?”, suara wanita yang sudah duduk menemani pasienku sejak sebelum aku masuk kamar itu membuatku harus menunda tindakan penyuntikan. Mengagetkanku. Menambah sedikit rasa tegangku.
“45 derajat bu”
“Nah. Itu emang udah 45 derajat ya? Agak naik lagi coba”
“Segini ya bu?”, aku menatap wanita dengan jilbab merah menyala itu disertai senyuman palsu yang tercampur rasa tegang. Dengan bangganya, aku memperlihatkan derajat penyuntikan yang kuduga sekarang sudah sesuai dengan ekpektasinya. Wanita berumur hampir kepala tiga itu cuma mengangguk kecil, mengiyakan.
Aku sekarang sedang berada di kamar yang diset seperti layaknya rumah sakit. Meja, ranjang, tirai, bahkan wanginya pun sangat mirip seperti di rumah sakit, tepatnya seperti di ruang kelas menengahnya.
Pasienku cuma sepotong boneka tangan kanan yang penuh dengan lubang bekas tusukan jarum suntik, saking seringnya digunakan untuk praktek. Ceritanya di ujian praktek kali ini, aku harus menangani pasien bernama Tn. A berumur 35 tahun yang harus mendapatkan tranfusi darah. Aku harus melakukan prosedur tindakan ini dalam waktu 10 menit.
***
Ah macet. Selalu menimpa tiap hari, dan selalu membuatku kesal. Semakin hari macet makin menjadi. Meski polisi lalu lintas ditempatkan di sepanjang ruas jalan, namun tetap saja kendaraan hanya bergerak perlahan inci demi inci. Sudah lebih dari sejam aku pegal duduk mengendarai motor bebek merah keluaran 2008 ini, dan baru setengah perjalanan yang kutempuh.
Terhenti di samping angkot trayek Cicaheum-Cibaduyut, aku mengintip jam tangan yang menunjukan pukul 8 pagi. Sudah lebih dari 5 menit laju motorku dihentikan oleh kemacetan yang super parah, terjebak diantara antrian ribuan kendaraan, padahal bukan hari libur sekarang. Memang macet sudah biasa untuk sebuah kota bernama Bandung, tapi kali ini tak biasa.
“Ah pasti ada yang kecelakaan ini mah”, sopir angkot berwarna merah itu mencoba mengusir kepenatan dengan mengajak berbincang pengemudi motor matik di sampingnya.
Alhamdulillah, dengan disertai iringan bunyi klakson yang saling menimpali, kendaraan mulai merangsek bergerak perlahan.
Hari ini jadwalnya ada OSCE, Objective Structured Clinical Examination, atau istilah umumnya ujian praktek. Aku dijadwalkan ujian jam 9 kurang seperempat, dan masalahnya SOP transfusi darah baru kubaca sekali. Hanya dibaca, belum sampai dipelajari.
***
“Selamat pagi bu. Saya perawat Irfan, kali ini saya akan melakukan transfusi darah. Eh, terus pengkajian teh nanya tentang golongan darah aja ya?”
“Huuh. Sok lanjut”
“Siapkan alat, plester digunting, dibuat jadi enam, sama kassa dicelup ke betadin, terus cuci tangan, dekatkan alat ke klien, terus sambungkan cairan NaCl dengan infus, terus cuci tangan lagi”
“Tutup tirai jaga privasi klien belum. Terus cek tuh saluran infusnya, jangan sampe ada gelembung”
“Sip. Terus teh kan tentukan vena yang akan diinjeksi, cari yang lurus dan tidak bercabang. Pasang alas, pasang tourniquet, tinggal tusuk weh 45 derajat kan”
“Sambil komunikasi lah, asal tusuk aja”
“Oh huuh siap.”
Alhamdulillah, masih ada waktu 10 menitan untuk mempelajari dan mempraktekan Standar Operasional Praktek transfusi darah. Bersama teman seperjuangan yang telah lebih dulu ujian.
Lantai 2 saat ini diakuisisi oleh para calon perawat seangkatan yang menunggu giliran untuk diuji. Sudah jadi kebiasaan memang, kalau ada OSCE, pasti di depan laboraturium praktikum keperawatan dasar yang berada di lantai 2 selalu ramai dipadati. Kadang menghalangi arus lalu lintas yang ingin lewat.
Seorang wanitia paruh baya kemudian keluar dari laboraturium, lalu setengah berteriak, “Kloter ke 3 masuk”
“Bismillah”, ucapku dengan penuh semangat.
“Semangat Fan”, seru mentor yang mengajariku prosedur pemasangan transfusi barusan.
***
Jalanan sudah lancar, motor kupaksa melaju dengan kecepatan 80 km/jam. Jarum panjang di jam tanganku menunjuk di angka 8. Butuh waktu 15 menit untuk bisa sampai di fakultas, dan giliranku untuk OSCE transfusi darah hanya tinggal 5 menit.
Aku Irfan Ramadhan, mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. Aku laki-laki dan kuliah di tempat yang meminoritaskan kaumku. Tak pernah terpikirkan sebelumnya akan kuliah dimana rasio antara pria dan wanita, satu banding sepuluh.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain.”
Ya, aku ingin hidupku bisa memberi kebermanfaatan bagi orang lain. Kesehatan itu dibutuhkan semua orang.
Terus kuderu motor yang selama satu setengah tahun menemaniku pulang pergi Bandung-Jatinangor. Sambil terus komat-kamit memanjatkan doa agar datang tepat waktu, dan agar diberi keselamatan pastinya.
***
“Udah bu”
“Sok apa aja yang harus dievaluasi?”
“Kelancaran, keamanan, dan rasa nyaman”
“Dokumentasi?”
“Tindakan yang dilakukan, respon klien, dokumentasi ditulis menggunakan pulpen, kalau ada salah cukup dicoret lalu diparaf, tulis rapi dan terbaca”
“Beresin alatnya”
“Eh bu gimana? Di-remed ga?”
“Liat aja nanti”
“PREETT!!”, bel pertanda waktu 10 menit telah usai berbunyi.
***
Sekarang giliranku. Dengan keyakinan tinggi dan persiapan minim, kubuka pintu lab sambil tak hentinya terus memanjatkan doa.
Segala puji bagi Allah, aku masih diberi nikmat. Dia memang pembuat skenario terbaik. Jadwal ujian diundur setengah jam, karena dosen penguji banyak yang telat, ditambah laboraturium yang belum siap dipakai.
Hari ini sebenarnya ada dua jenis tindakan yang diujikan, dan aku mendapatkan jadwal transfuse darah.
“Irfan di kamar no 10 ya”, seru wanita paruh baya tadi yang merupakan koordinator laboraturium.
Sambil terus memanjatkan doa, aku berdiri di kamar yang akan kugunakan untuk praktek. Kuintip temanku yang sedang diuji dari celah tirai. Terlihat sedang merapikan alat-alat, nampaknya sudah selesai lebih cepat dia.
“PREETT!!”, bel pertanda waktu 10 menit telah usai berbunyi.
Kurapikan terlebih dahulu jas lab putih bersih yang kugunakan. Tirai dibuka. Dosen penguji menyuruhku masuk. “Bismillah”
***
“Irfan diher ga?”, kukirim pesan singkat.
Jam mushola menunjukan pukul setengah 1. Setelah selesai shalat rawatib bada Dzuhur, kurebahkan diri sambil menatapi langit-langit. Menunggu jawaban pesan singkat tadi.
Aku sebenarnya pasrah saja, diremedial juga tak masalah. Malah bagus, berarti itu menunjukan aku belum memberikan yang terbaik dari diriku, belum berbuat maksimal. Daripada harus salah ketika nanti bertugas di rumah sakit, kan bahaya.
Telepon selularku bergetar. Dengan kata-kata super singkat, mengabarkan sebuah berita yang menggembirakan. Alhamdulillah. Standar Operasional Praktek-Nya memang selalu menakjubkan dan tak terduga.
+
Haha, ga nyangka cerpen dadakan H-1 sebelum deadline ini bisa masuk jadi 10 besar di Lomba Kefarmasian Pharma Fair 2012.
Bagi agan-agan dan sista-sista yang kuliah nya di perawat yang pengen cari materi tentang hipoglikemia mampir aja di sini
http://allifkecil91.blogspot.com/2013/04/proposal-hipoglikemia.html