Zarathustra tiba di tempat orang ramai berjual beli dan ia pun berkata: Larilah, kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil…
Di mana kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun.
Nietzsche menulis Also Sprach Zarathustra ini di tahun 1883, dan kita tak tahu persis apa pasar baginya. Bukankah pasar adalah tempatnya kebersamaan yang semu, hubungan antar-manipulatif, perjumpaan yang sementara dan hanya permukaan, pertemuan antara sejumlah penjual dengan sejumlah pembeli, yang masing-masing cuma memikirkan kebutuhannya sendiri agar terpenuhi? Bukankah pasar adalah sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir?

Tapi saya sedikit setuju dengan sang Rasul Zarathustra soal agar pergi keluar dari pasar, pergi menjauh dari tempat jijik dan tak beraturan ini. Kemudian lari ke supermarket. Tentu saja, di pasar tradisional tak ada rak-rak rapi dengan kemasan barang warna-warni. Tak ada lemari-lemari pendingin. Tak ada AC. Tak ada ketenangan yang menyebabkan suara sepatu terdengar enak menginjak lantai, dan gadis-gadis penunggu berbicara sedap.

Pasar bukanlah sesuatu yang indah – apa pun yang dikatakan para turis.
Sebuah centang perenang. Di sebelah sini, di lapak tukang daging, berhimpun serpihan usus, keratan tulang, bercak-bercak darah hewan yang anyir. Di pojok di dekatnya, penjual kue. Lalat-lalat hijau hinggap bolak-balik. Aroma tajam berbaur. Udara lembap, permukaan becek.
Dan bau itu, kesumpekan itu, dari lapak ikan kering, dari wadah-wadah jengkol, dari bawang dan daun kol yang sebagian membusuk, seakan-akan bersekutu: menaklukan pancaindera.
Larilah menuju supermarket!

Pasar memang bukan sebuah selingan estetis. Tapi tidak berarti ini bukan tempat terhormat. Justru ia suatu dunia, juga suatu fungsi, yang sudah sejak dulu seharusnya lebih dihormati – dengan segala kekumuhannya. Sebab di sinilah bertemu, dan sekaligus bergulat, apa yang oleh para ahli disebut “sektor informal”. Di sinilah tempat para pengecer, pedagang kecil, penghuni warung kecil, penyewa lapak yang kecil berkeringat dan meraih nafkah.

Ya, ada gambaran lain: di kancah pasar bisa ada tipu daya, persuasi, tekanan, pengisapan namun juga dialog, proses belajar dan kesempatan kreatif. Bukankah sang filsuf besar Socrates pun menimba pengetahuan dan kearifan dari pasar?

Inilah secuil potret Pasar Andir, sebuah teater yang akan terjadi mulai dari menjelang malam hingga pagi mengganti.
Inilah Pasar Andir, sebuah pasar yang terletak paling barat Kota Bandung: lokasinya di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya di Jalan Arjuna. Berada di terusan Jalan Rajawali Timur – Jalan Kebon Jati, juga dari Jalan Jenderal Sudirman. Lokasinya sebelah selatan Pasar Ciroyom.
Inilah pasar tradisional dengan segmen menengah ke bawah. Mungkin kumuh, tapi tetap terhormat. Ada jijik pun bajik. Dan setiap masuk pasar, selalu timbul nostalgia, ketika saat bocah pasti saya akan merengek minta dibelikan mainan pada sang bunda.

Post-scriptum:
Inspirasi teks dari esai Goenawan Mohamad dalam “Zarathustra di Tengah Pasar” dan “Catatan Pinggir: Los”. Inspirasi esai foto dari proof.nationalgeographic.com.
Semua manusia yang terpotret adalah individu, orang yang punya kehidupan, bukan hanya model anonim. Dan maaf saya mencuri adegan kalian demi kepentingan estetis pribadi, tak bisa memberi kredit apapun.
Punya buku zarahustra tp terjemahannya kacau balau. Padahal kata org bukunya keren.
Emang ini kitab keren, saking kerennya saya belum sanggup mencernanya betul-betul.
Yg terjemahan HB Jassin atau terbitan Pustaka Pelajar?
Pustaka pelajar rip.
Oh sama sih, mau baca ulang lagi yg versi Inggris-nya.
Kalau mau lebih paham (sedikit) bisa nonton ceramahnya Komunitas Salihara tentang Nietzsche ini. Emang edan plus goblog filsuf satu ini.
ah serasa pengen tak angkut semua cabe dan bawangnya…
btw setelah lumayan merantau saya melihat pasar tradisional dengan kacamata berbeda rip…
https://kaykakayka.wordpress.com/2015/06/19/edisi-mudik-5/
salam
/kayka
Iya itu cabe sama bawangnya masih seger-seger, dan kemarin sambil iseng beli beberapa sayuran, tapi lupa belinya apa aja. 😀
Pasar Mayestik ya. Ah jadi kecanduan pengen dokumentasi pasar lainnya juga nih.
lain kali belanjaannya didokumentasikan juga rip 🙂
ditunggu tayangan isi perut pasar-pasar tradisional lainnya…
salam
/kayka
Bagus fotonya. Bukan pake kamera HP ya?
Makasih. Pake dslr, bagus fotonya mungkin karena faktor kameranya aja ya.
Hmm ya kamera & skill jg sih. Krn aku pernah pake kamera mirrorless jg hasilnya either gelap atau burem, hahaha.
good point of view
Makasih. 😀
Dari post scriptumnya, sepertinya foto ini diambilnya candid-kah, Mas? Hm, pasar memang tempat yang sangat hidup Mas, kalau menurut saya. Ya meski kadang agak becek dan bau tapi pasar bagi saya sangat menyenangkan. Keluarga saya hidup dari pasar tradisional jadi berada di sana adalah pengalaman yang seru, berjualan, menimbang dagangan, ambil kembalian :hehe. Jadi kangen pulang nih melihat pasar seperti itu :)).
Iya yang dipos emang kebanyakan candid, tapi ga sepenuhnya candid kok, mereka nyadar lagi ada yg foto, ya karena lagi sibuk aja ngelayanin, terus ada juga yg lagi ngelamun.
Emang bener-bener hidup, asik ngobrol sama para penjual di pasar. Pada bercanda, dan yg pasti suara bicaranya itu pada keras-keras, setengah teriak malah.
foto2nya mantap!
Bagus-bagung bang capture-an nya 🙂 aih aing jadi mau punya kamera juga 😀
Tinggal beli aja yes.
fotonya kerenn yaa fokusnya dapett bgt,,,,
oh ya mas saya baca cuplikan ttg zarahustra td harus bnr2 mencernah arti dan maknanya
Itu ada esainya ‘Zarathustra di Tengah Pasar’, google aja. Tapi ya kalau yg nulisnya esais Goenawan Mohamad selalu sukses bikin mikir keras.
Pasar tradisional adalah tempat berinteraksinya manusia dengan manusia. Masih ada tawa-menawar yang punya seni tersendiri. Supermarket menjadikan anda menuruti aturan.
Begitulah modernisasi, seringnya membikin manusia jauh dari interaksi.
saya paling suka ngelihat pemandangan pasar ginian….seger seger liat sayuran, mata jadi bening book
Foto2nya bagus… alami adegannya… candid atau blakblakan…
Jadi milih pasar basah ini atau supermarket ???
Gilak, mas Arip 😀 jepretanmu juara banget 😀
HASYUKKK. FOTONYA BEDEBAH. BIKIN KANGEN SIMBOK BPAK DI RUMAH YANG KERJANYA TIAP HARI DI PASAR. 🙁
Obat kangen adalah ketemu. Silahkan langsung balik gih ke rumah.
bahasannya keren nih. gue juga sering nemuin kalo org2 di pasar itu seringnya melamun, bahkan ketiduran. Keheningan, kesepian, hanya bergumul dengan barang-barang dagangannya sendiri :/
Sesuatu yg mungkin jarang terekpos. Dan ini membuktikan kalau bukan hanya jomblo yg didera kesendirian.
nice post, btw,,, malah penasaran ama si Zarathustra nya, itu makhluk apa ya?!! hehhehee..
pertama kali dengar waktu nonton orchestranya Herman Delago. musik pembukanya dia bilang also sprach Zarathustra, kedengeran enak di telinga. dan, baca postingan ini, saya jadi teringat dan penasaran lagi, apa dan siapa si Zarathustra itu 😀
Zarathustra adalah rasul edan yg menyeru kalau Tuhan sudah mati. Also Sprach Zarathustra ini nama kitab yg memuat sabdaannya, buku yg memuat pemikiran filsuf eksistensialis Nietzsche.
cakep fotonya apa lagi yang itu lomboknya mas..seger malah gak pedes
Iya kalau diperhatiin udah kayak manisan aja.
Kang arip ajarin aku poto dongss 😀
Duh maaf bukan fotografer, cuma biasa jadi model aja. 😎
Terima kasih, sudah membawa saya mengenang masa kecil saya dengan tampilan pasar tradisional yang apik. Terima kasih sudah menuliskan kalimat-kalimat yang membawa saya kembali pada diskusi yang belum terselesaikan. Ah ya, Socrates, saya selalu mengagumi beliau sejak awal perkenalan saya dengan namanya. 🙂
Terima kasih sudah mengucapkan terima kasih yg kebanyakan.
Yg pasti, Socrates ga bakal eksis hari ini kalau ga ada Plato.
Coba buat yang pasar siang Kang, apakah suasana dan auranya sama dengan yang pasar subuh? 🙂
Insya Allah akan ada dokumentasi pasar-pasar lainnya.
saya masih sering belanja di pasar tradisional, sekalipun becek tapi tetep harganya murah dan bisa tawar menawar, seruuu, hehe..
Kayaknya pernah ke pasar ini, tapi nggak tahu namanya. Hehe. Pas dini hari jam 3. Itu pun karena nyasar pas di Bandung. 😀
Bang, sori nih out of topic.
Foto biar tetap bagus (tidak ada noise) ketika pencahayaannya kurang kayak gitu gimana, sih? Berulang kali setting ISO tapi hasilnya tetep aja.
Apa save fotonya RAW?
Soal lowlight, saya juga masih belajar. Untuk foto-foto di atas saya pake ISO di 800-1600, bukaan semua di f/1.8, ini pake mode Aperture Priority semua. Saya biasa pake lensa fix 35mm. Soal format foto, lupa ga pake RAW, cuma kualitas Fine aja.
Terus post-processing di Lightroom.
Wah pantes kemarin gak bisa kebuka di arifabdurahman.com. ternyata udah ganti domain..
[…] Tautan asli: http://yeaharip.com/2015/08/12/suatu-subuh-di-pasar-andir/ […]