Tak Ada Prabu Siliwangi di Sancang

Manusia bergerak melajui zaman dengan salah satu kemampuan utama yang enggak dipunyai hewan lain: fiksiYuval Noah Harari, dalam Sapiens: A Brief History of Humankind, menyebutkan bahwa manusia doyan fiksi, baik itu mitos yang menertibkan manusia, juga yang berupa fitnah yang memecah belah.

Agama, negara dan uang, menurut Harari, adalah fiksi manusia yang memungkinkan kolaborasi dan organisasi dalam skala besar, juga sebaliknya, perpecahan dan kerusakan. Hanya Sapiens yang bisa mempercayai cerita macam ini. Inilah sebabnya mengapa kita menguasai dunia, dan saudara terdekat kita simpanse dikurung di kebun binatang dan laboratorium penelitian.

jalan raya hutan sancang
menepi di jalan raya hutan sancang
menepi di jalan hutan sancang
kaboa nancep batu leuweung sancang

“Mana hutannya? Kok cuma pohon-pohon begini?” seseorang bertanya saat kami berhenti untuk melihat pohon Kaboa besar dekat sisi jalan. Saya lupa lagi siapa yang bertanya, tapi jelas pertanyaannya diarahkan pada saya, dan saya hanya menjawab dengan diam, antara pura-pura enggak mendengar dan menganggap itu hanya pertanyaan retoris. Tentu, saya punya jawaban sederhanya: ini konsekuensi dari penguasaan manusia. Ekses dari konsepsi antroposentrisme ala Francis Bacon yang menekankan pada dominasi serta penguasaan alam atas nama pembangunan ekonomi, logika lumrah yang tercipta dalam sistem kapital. Jawaban ini hanya saya simpan dalam kepala, lebih arif untuk pura-pura menatap pohon kaboa yang mencengkram batu besar itu.

Sebelum secara langsung melintasi Hutan Sancang, yang ada di pikiran saya adalah sebuah hutan belukar dengan pohon-pohon kekar menjulang dan rapat. Di seberang jalan, ke arah selatan menuju Samudera Hindia, memang masih tertutup. Hutan ini dikelola oleh Departemen Kehutanan dan memiliki luas kawasan 2.157 ha. Wilayah Sancang berada di ketinggian 0-3 m dpl. Di sana, lutung, monyet, dan aneka burung masih berkeliaran, dengan flora yang lebih variatif. Sementara di sini, ke arah utara memang berbatasan dengan perkebunan karet Miramare.

Dalam tulisan Usep Romli berjudul Hutan-hutan Legenda Tatar Sunda, disebutkan bahwa hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi segera mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar pada tahun 1998. Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan lintas selatan. Kekayaan flora dan faunanya juga kian menyusut. Macan tutul dan banteng sudah lama hilang.

Hutan Sancang dikenal karena dipercaya sebagai tempat menghilangnya Prabu Siliwangi yang sedang dikejar putranya Kian Santang untuk diislamkan. Dalam budaya pop kiwari, Yayan Jatnika mengabadikan kisah ini dalam lagu Sancang. Soal ini, Irfan Teguh, seorang fans Usep Romli, pernah menuliskannya dalam Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta? Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda.

Sancang sendiri merupakan jenis maung yang mempunyai belang hitam memanjang vertikal dari kepala hingga ekor. Mitosnya, sementara Prabu Siliwangi berubah jadi harimau putih, pengikutnya jadi maung Sancang. Kepercayaan lainnya menyebutkan kalau pengikutnya ini berubah jadi pohon kaboa yang hanya bisa ditemui di hutan Sancang ini. Yang nyeleneh, mungkin karena fiksi ini sudah kadaluarsa, para pengikut Prabu Siliwangi yang jadi kaboa itu ditebang untuk dijual di toko online dengan harga dari dua ratus ribu sampai belasan juta.

Menyoal kerusakan hutan, nampaknya kita butuh fiksi yang lebih kuat. Keberadaan dedemit atau roh penjaga yang bakal bikin petaka jika manusia berlaku merusak enggak bisa diandalkan lagi. Masalah utamanya selalu karena kekuatan kita bergantung pada fiksi kolektif, kita enggak pandai membedakan antara fiksi dan kenyataan. Diperlukan mitos-mitos terbarukan untuk menertibkan manusia modern.

Saya teringat film dari Studio Ghibli, Princess Mononoke (1997). Ada pertentangan pandangan yang disampaikan Hayao Miyazaki dengan apik. Modernis lawan environmentalis. Dua kelompok yang hingga hari ini terus berselisih membawa pahamnya masing-masing. Ini bukan cerita sederhana soal dikotomi antara mana yang baik mana yang jahat, tapi tentang bagaimana manusia, hewan hutan, dan alam memperjuangkan bagian mereka masing-masing dalam sebuah tatanan hidup baru yang muncul.

Dalam cerita rakyat di hutan Sancang ini kita menghadapi hal serupa. Katakanlah, Prabu Siliwangi mewakili sisi enviromentalis, sementara Kian Santang menawarkan modernitas. Kenapa bisa muncul antagonisme semacam ini? Dalam Capital, Karl Marx menyebutkan bahwa melalui kerja, manusia berupaya untuk mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi dikarenakan relasi produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik, proses metabolistik ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘keretakan yang tak dapat diperbaiki’. Relasi metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik akibat kepentingan kapital untuk memaksimalisasi keuntungan.

Di sini, saya enggak setuju dengan konsep kembali ke alam dan enggak mau jadi pengikut Prabu Siliwangi. Dalam artian kita menanggalkan peradaban kita dan kembali masuk hutan, berselimut kembali dalam fiksi manusia goa. Mustahil untuk memundurkan kereta sejarah. Atau, yang lebih parah, ‘kembali ke alam’ hanya jadi jargon turisme. Bukan berarti juga, terlalu dogmatis pada sisi Kian Santang. Ingat, modernitas punya tendensi memaksa bahkan seringnya bersifat destruktif.

Konsepsi Marx tentang alam sangat dipengaruhi teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Darwin, alam beserta mahluk hidup di dalamnya dipahami sebagai sesuatu yang selalu berevolusi, selalu berubah. Evolusi ini sendiri adalah proses sejarah alam yang terbuka yang dipandu oleh kontingensi, yang dimungkinkan untuk dijelaskan secara rasional. Perubahan bersama (coevolution) antara manusia dengan alam yang mengarah pada metabolik, secara material dialektis, bisa diimajinasikan dan direalisasikan.

Komponen yang esensial dari konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa relasi antara masyarakat dan alam ini adalah dasar yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks dapat berlanjut dan pertumbuhan menjadi mungkin. Ada jawaban bagi keterbatasan ilusi ideologi pengetahuan yang menjadikan alam tidak lebih sebagai medium komoditas. Upaya untuk mendamaikan Prabu Siliwangi dengan Kian Santang, modernitas dengan enviromentalisitas, dan antroposentrisme dengan ekosentrisme bukan sesuatu yang mustahil.

Bacaan lebih lanjut: 1) John Bellamy Foster – Marx’s Ecology: Materialism and Nature, 2) Saras Dewi – Ekofenomenologis: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam

Sampailah pada titik yang selalu bikin saya merasa geram. Saat kita merasa tahu akan mekanisme yang berlaku, dan yang enggak atau belum berlaku, namun semua itu hanya ada dalam ruang gagasan. Paling banter hanya sampai merasa simpati. Inilah yang bahaya, karena sebatas bersimpati bikin kita merasa sudah melakukan sesuatu, dan hanya terhenti sampai sini, nyatanya enggak ada yang berubah, berakhir jadi omong kosong. Mungkin juga, ide-ide radikal di era modern bukan optimisme menuju utopia melainkan metode koping lainnya, menggantikan takhayul zaman kuno, untuk mendefinisikan kekuatan kompleks yang mengendalikan kehidupan. Di titik ini, saya hanya bisa membayangkan fiksi yang sangat mungkin menggerakkan manusia agar memikirkan isu lingkungan ini, sebuah distopia betulan: Dibutuhkan bencana ekologis yang benar-benar serius.

*

susur pantai jilid 4 sancang aleut
air terjun nyogong
Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

5 Comments

  1. Bahasanya ribet, padahal topiknya menarik. Coba baca Endgame-nya Derrick Jensen, buku environmentalisme radikal yang memprovokasi untuk menghancurkan peradaban. Itu nonfiksi tapi ngalir kayak baca cerita.

    • Ya, masih belum lancar menuangkan hasil pembacaan agar ngalir dibacanya. Tadinya cuma mau bahas sampe mitos Prabu Siliwangi doang, tapi malah negerembet ke soal ekologis ini. Pernah baca artikel-artikelnya, dan Derrick Jensen berada di sisi yg sama dalam menentang industrialisme dan kapitalisme. Yg paling menarik soal gagasannya bahwa “harapan” itu berbahaya, justru ketika berada dalam keputusasaan manusia baru benar-benar akan gerak.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *