Tenaga Kesehatan, Profesional Dong!

Hari ini. Yang menyembuhkan sakit anda bukanlah obat, tapi duit. Sehat sudah jadi barang dagangan.

Sial benar memang jadi warga negara dunia ketiga seperti Indonesia. TBC, tifus, campak, gizi buruk, dan penyakit khas negara miskin lainnya masih jauh dari kata punah. Dan parahnya orang miskin maupun orang di daerah terpencil jangan harap diberi belas kasihan sama pelayanan kesehatan, diperhatikan juga tidak. Rumah sakit alergi sama orang sakit tak berduit. Sistem pelayanan di Indonesia belum menjangkau dan berpihak kepada rakyat yang membutuhkan.

Pantas bersyukur saya dan anda yang masih diberi kesehatan finansial. Buat yang kantongnya tebal, kalau sekiranya kurang puas sama layanan kesehatan dalam negeri, tinggal hijrah ke negeri tetangga. Dan bagi mereka yang kantongnya dikuras untuk berobat, jika sudah habis silahkan boleh lari ke pengobatan alternatif. Tak jarang dari klinik beralih ke klenik.

Memang, ada yang salah dengan sistem kesehatan di negeri ini. Banyak malah. Sistem kesehatan Indonesia masih dalam kondisi jahiliyah. Dari sistem birokrasi pelayanan yang super ribet, ketersediaan sarana dan prasana yang tidak adekuat, tenaga kesehatan yang kurang dari segi kualitas maupun kuantitas, dan intinya, semua itu bersumber karena komitmen pemerintah masih lemah dalam sektor kesehatan. Hal ini terlihat baik dari sisi politik, anggaran, maupun regulasi yang belum pro terhadap sektor kesehatan.

Penguasa, dalam hal ini pemerintah Indonesia, memang sasaran paling pas buat dikambinghitamkan, pihak paling enak buat disumpah serapahi. Sudah konsekuensi pemerintah, harus siap menerima kritik dan caci maki jika gagal menjalankan amanah. Dan terbukti, mereka masih tak becus mengurus negeri multi masalah ini. Pergantian pimpinan terus terjadi, namun masalah kesehatan tetap berjalan di tempat. Bukan hanya kesehatan, semua sektor pun masih sama amburadul.

Selain itu, konsep kesehatan telah ditaklukan oleh permintaan pasar yang keliru. Pabrik-pabrik farmasi berlomba memproduksi obat-obatan sintesa kimia yang lebih ditujukan kepada menghilangkan gejala penyakit dan bukan pada penyebabnya. Ini disebabkan permintaan pasar yang menghendaki obat-obat yang instan. Kesehatan sudah dikapitalisasi, dan pemerintah yang punya kuasa dalam tata kelola malah ikut terpedaya arus kapitalisme pasar.

tenaga kesehatan
Sumber: gnb.ca

Tapi wahai kalian yang merasa kaum intelek, sungguh tak berguna menghabiskan energi hanya untuk mengeluh dan menyalahkan orang lain. Jujur, saya pun kalau diberi kesempatan jadi elit politik, mungkin sama tak becusnya seperti mereka. Negara digdaya Amerika Serikat saja masih punya masalah di sektor pendanaan kesehatannya, apalagi negera semelarat Indonesia. Memang pelik masalah Indonesia ini, tapi bukan berarti harus pesimis. Ada sebuah ungkapan, jadilah bagian dari solusi, bukan malah merunyamkan masalah.

Kita tidak bisa mengurus banyak hal secara bersamaan, harus fokus pada salah satu. Nah, berhubung saya seorang calon tenaga kesehatan, tentu saja isu tentang tenaga kesehatan di Indonesia lah yang paling saya kuasai. Proses pemecahan masalah, yang kalau dianalogikan dalam proses penanganan penyakit adalah awali dengan menentukan etiologi penyakitnya. Jadi mari kita analisa apa saja masalah tenaga kesehatan di negeri tercinta ini.

Sebuah rahasia umum, bahwa di Indonesia, untuk jadi seorang tenaga kesehatan harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk biaya pendidikannya, ditambah lagi harus mengikuti beragam pelatihan dalam rangka peningkatan keahlian dan kompetensi. Pemerintah terkesan jelas lepas tangan terhadap kondisi tenaga kesehatan Indonesia. Hanya dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuannya berdasarkan standar kualifikasi minimum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan, tanpa peduli bagaimana menyediakan fasilitas pendidikan dan pelatihan yang tidak menguras kantong tenaga kesehatan. Padahal kan nantinya hal ini akan dimanfaatkan untuk mendarmabaktikan seluruh pengetahuan profesi kita untuk mengabdi demi kesejahteraan masyarakat.

Kondisi dilematis bagi tenaga kesehatan yang ada. Bagaimana tidak, di satu sisi harus memenuhi tuntutan untuk terus memperbaharui juga meningkatkan keahlian dan kompetensi profesi, sementara di sisi lain dibatasi kewenangannya untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Terlihat jelas dalam pasal 23 (4) UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa dalam menyelenggrakan pelayanan kesehatan seorang tenaga kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. Lantas dari mana para tenaga kesehatan itu harus membayar biaya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi kami?

Saya seorang mahasiswa keperawatan di salah satu perguruan tinggi negeri. Dan merasa sangat bersyukur, berkat bantuan uang rakyat Indonesia, biaya pendidikan untuk jenjang sarjana jika diadu dengan institusi pendidikan keperawatan lainnya, maka saya bakal keluar sebagai pemenang untuk kategori biaya pendidikan termurah. Jadi merasa sangat berdosa kalau tidak bisa balas jasa pada rakyat. Untuk jenjang sarjana memang masih aman, tapi bagaimana dengan ketika melanjutkan mengambil program profesi dan spesialisasi. Kalau hanya bermodal S1 langsung terjun ke masyarakat, belum cukup mumpuni.

Masalah lainnya adalah isu keprofesian yang terbentur dengan kebijakan dan perundangan yang berlaku. Yang saya tahu, setiap profesi tenaga kesehatan memiliki masing-masing masalah sendiri soal ini. Berhubung seorang mahasiswa keperawatan, tentu saja yang paling saya ketahui tentang isu keprofesian sendiri. RUU Keperawatan adalah isu yang paling santer.

Sekalian meluruskan opini publik yang berkembang, RUU Keperawatan bukan hanya soal agar seorang perawat bisa membuka praktek seenanknya. Bukan juga agar profesi perawat sejajar dengan seorang dokter. Sungguh pandangan yang sangat keliru.

Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis juga profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Sebanyak 60% tenaga kesehatan di Indonesia terdiri atas perawat. Hampir semua bekerja di berbagai pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, tujuh hari seminggu serta juga melakukan kontak pertama dengan pasien.

Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Tujuan undang-undang keperawatan dibentuk dan dibuat adalah untuk melindungi secara maksimal tenaga keperawatan sebagai salah satu komponen utama pemberian pelayanan kesehatan. Substansi yang diatur dalam RUU Keperawatan ini antara lain adalah mengenai pendidikan keperawatan, kompetensi, registrasi dan juga lisensi. Dan juga akan dibahas mengenai praktik keperawatan, hak dan kewajiban, organisasi profesi perawat, kolegium, konsil keperawatan Indonesia serta pembinaan dan pengembangan tenaga keperawatan. Karena UU Keperawatan berperan sebagai payung hukum untuk melindungi tenaga perawat itu sendiri yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan.

Rasanya terlalu banyak saya membahas soal isu RUU Keperawatan ini. Maaf sebelumnya, lelah soalnya sudah berkali-kali aksi sampai ke Senayan, tapi RUU ini masih saja jauh dari kata disahkan. Pelampiasan paling mudah ya dengan aksi via tulisan ini.

Berkat permasalahan kesehatan di atas yang saya angkat, tidak jarang kita mendengar pada kehidupan sehari-hari, baik di Rumah Sakit, Puskesmas, maupun klinik-klinik pelayanan kesehatan, tentang buruknya praktek pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan kepada masyarakat. Adanya tenaga kesehatan yang tidak mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan, serta bukan isapan jempol juga adanya tenaga kesehatan yang mengerjakan sesuatu yang seharusnya bukan wewenangnya. Makin banyaknya pengaduan para pengguna pelayanan kesehatan, baik masyarakat dari kelas awam, berpendidikan, sampai kalangan tenaga kesehatan sendiri, terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Kesalahan memang suatu keniscayaan, dapat terjadi kapan dan dimana saja, baik pada negara maju, berkembang, maupun terbelakang, bahkan pada tempat-tempat tertentu kejadian ini telah mencapai angka yang cukup memprihatinkan. Tenaga kesehatan yang merupakan tenaga profesional, seyogyanya selalu menerapkan etika dalam sebagian besar aktifitas sehari-hari. Etika yang merupakan suatu norma perilaku atau biasa disebut dengan asas moral, sebaiknya selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat kelompok manusia. Perilaku ini memang agak sulit menanganinya, kecuali kesadaran sendiri masing-masing tenaga kesehatan dalam menerapkan, mengaplikasikan, menghayati, memahami, kode etik profesinya.

Ketika seseorang memilih jalan untuk menjadi seorang tenaga kesehatan, selain harus siap siklus sirkadiannya terganggu, harus siap mengeluarkan dana tidak sedikit, harus siap juga menghadapi betapa buruknya sistem kesehatan di negeri ini. Dan yang paling penting adalah bahwa anda harus mengabdikan jiwa dan raga untuk menyehatkan orang lain. Sangat salah jika tujuannya hanya untuk mencari kerja. Tujuan utama anda ketika memutuskan jadi seorang tenaga kesehatan adalah untuk melayani hajat hidup orang lain.

Arief Rachman menyatakan bahwa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat, seorang tenaga kesehatan wajib mempunyai 7 kompetensi andalan, yakni manajemen diri, keinginan untuk berprestasi, keterampilan hubungan antar manusia, keterampilan melayani, keterampilan teknis profesionalisme, keterampilan manajerial, dan berpikir dengan wawasan global. Idealnya seorang tenaga kesehatan menjadi orang yang berperan aktif dalam meningkatkan sektor kesehatan Indonesia. Dengan tetap bekerja ikhlas, maksimal dan profesional, meski sistem kesehatan masih amburadul. Dan dengan terus berdoa agar pemerintah dimasuki orang-orang yang amanah, sehingga becus mengurus bukan hanya kesehatan, tapi beragam sektor lainnya.

Sistem kesehatan Indonesia memang masih buruk, tapi bukan alasan untuk saya dan anda yang merupakan calon atau bahkan tenaga kesehatan untuk bekerja tidak maksimal. Apa tidak malu dengan para tenaga kesehatan di daerah terpencil, yang meski dihadapkan pada beragam keterbatasan, tak pernah lelah untuk terus mewakafkan waktu, tenaga, bahkan materi untuk kepentingan masyarakat.

Percayalah, menurut penelitian, orang yang bekerja dalam kegiatan alturisme dijamin menjadi orang yang bahagia. Tenaga kesehatan yang sehari-hari berhubungan dengan sesama manusia menjadi profesi paling membahagiakan. Saya bisa berbangga, karena menurut hasil riset, perawat masuk dalam salah satu profesi teratas paling membahagiakan. Seorang perawat, berhubungan langsung dengan klien. Interaksi ini membuatnya bisa mengumbar kreatifitas, menciptakan canda, di tengah pemberian pelayan tetap yang utama. Sehingga sangat salah apabila ada perawat yang judes. Memang, kebahagian itu tergantung dari individunya sendiri. Tapi berusahalah untuk terus bekerja secara ikhlas dan profesional.

Selain itu penting juga terciptanya kolaborasi interdisiplin antar profesi tenaga kesehatan. Dokter, perawat, bidan, apoteker, nutrisionis, dan tenaga kesehatan lainnya tentu punya peran dan fungsi masing-masing. Tak ada yang namanya lebih tinggi atau lebih rendah. Semuanya sama, memiliki tujuan utama untuk menyehatkan masyarakat. Kompak adalah kunci utamanya.

Pengakuan, prestasi, gaji, status, fasilitas, dan pengembangan merupakan faktor yang berperan dalam baik buruknya perilaku seseorang. Nah, semoga ketika sudah melakukan pekerjaan kita sebaik mungkin, hak-hak tadi pun secara tidak langsung akan kita terima. Yang paling penting selalu yakin jika bekerja maksimal untuk kebaikan hajat hidup orang lain, ada hadiah pahala bagi kita. Jangan merasa mubazir untuk terus meningkatkan keahlian dan kompetensi kita.

Diharapkan, semoga yang menyembuhkan sakit nantinya bukanlah obat, bukan juga duit, tapi berkat andil para tenaga kesehatan lah. Tanpa menafikan, bahwa kondisi sehat sakit kita adalah hak prerogatif Tuhan Yang Maha Kuasa.

+

+

ners arif abdurahman

+

Arif Abdurahman. Mahasiswa Keperawatan semester 5. Calon praktisi Community Mental Health Nursing.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1786

22 Comments

  1. Mau gimana lagi yah … wong para dokter jarang banget yang rangkap profesi jadi pengusaha kaya … mau nggak mau mereka harus membuat dapur mereka tetap mengepul dengan cara itu … ini mah wujud pembelaan sih … hehe. padahal juga sering jadi korban…. eh*

    • Bisnis mengeruk uang dari mereka yg sakit. Dan emang sektor paling nguntungin buat dijadiin ladang bisnis.

  2. Bener banget!
    Hari ini yang nyembuhin penyakit bukan obat, tapi duit dulu. Ga ada duit, ga ada pelayanan kesehatan. Mirisnya negara ini.

    Tapi bener, salut sama mereka manusia yang punya kemauan tinggi nolongin seksama meski bukan tenaga kesehatan. 😀

  3. Memang agak susah memahami pola pikir orang yang berkeinginan untuk menjadi tenaga kesehatan tapi kurang dalam kepeduliannya menolong seseorang dengan ikhlas. Intinya masih banyak yang mengutamakan tarif daripada kesehatan individu lain.

  4. paling jengkel kalau berobat ditanya: “siapa yg bertanggup jawab membayar biaya?” sebelum diperiksa, periksa dulu. keselamatan lebih utama.

    sial! dunia medis harus lebih profesional.

  5. memang agak susah posisi perawat kesehatan, dari sosonya memang hanya dibekali untuk palayanan dalam gedung, dari memberi pertolongan pertama hingga perawatan penderita rawat inap. Diagnosa menentukan jenis obat dan dosisnya termasuk diet penderita hampir tidak diberikan bekal. Disisi lain ada tenaga profesional yang memiliki kewenangan untuk diagnosa, menentukan obat dan dosisnya serta menentukan diet. Padahal kerja perawat dan dokter berhadapan langsung dengan sasaran yang sama yaitu penderita. Jadi kalau teman-teman kecilnya mengeluh atau sampai timbul rasa iri, saya rasa tidak pada tempatnya. Saya sarankan teman-teman berinovasi membedah peluang pekerjaan dikaitkan dengan kurikulum pendidikan perawat. Terus terang saja bahwa tidak semua perawat bekerja di rumah sakit. Tapi ada yang di Puskesmas atau Puskesmas Pembantu. Kalau Puskesmasnya Puskesmas Perawatan yaaa masih nyangkut, tapi kalau non perawatan atau di Pustu dengan bekal pengetahuannya apa yang bisa diperbuat. Salah-salah di Puskesmas non perawatan hanya mbantu dokter panggil pasien atau kerja administrasi, pada hal administrasi kesehatanpun tidak dibekali dari bangku kuliah. Jadi sebelum terlambat coba dikembangkan Perawat Kesehatan Masyarakat. itu peluangnya malah besar dan Puskesmas sangat perlu kompetensi tenaga itu.
    .

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *