Sudah sepuluh tahun saya ngeblog, mengisi berbagai celah waktu dengan tulisan-tulisan kecil yang bermakna bagi saya. Ngeblog awalnya adalah ruang personal yang tak pernah saya pikirkan secara komersial, sekadar wadah untuk menulis tanpa beban.
Hingga pandemi datang, ketika banyak hal berubah, termasuk hubungan saya dengan dunia blogging. Tiba-tiba, SEO—yang selama bertahun-tahun saya hindari—masuk ke dalam radar saya.
Saya, yang hanya ingin menjadikan ngeblog sebagai hobi sampingan dengan pekerjaan tetap dan stabil di luar dunia tulis-menulis, kini terpaksa menghadapi kenyataan bahwa jika ingin dilihat, blog saya harus lebih dari sekadar catatan harian. Panduan keyword, meta description, backlink, menjadi bagian dari keseharian saya yang baru.
Ternak Blog: Mimpi dan Realitas Media Digital
Semua bermula dari sebuah webinar. Sang narasumber membocorkan kalau dirinya punya 150 blog. Bayangkan, 150 buah blog untuk berbagai niche!
Teknik link building, atau membangun tautan, yang melibatkan blog-blog tersebut untuk saling mengangkat dalam SEO, ternyata adalah bagian dari praktik yang sering disebut “Ternak Blog.” Apalagi dengan pendapatan AdSense yang kecil untuk Indonesia, satu blog tak cukup.
Untuk produksi tulisan, ada yang sampai buat PT dan mempekerjakan karyawan. Sebagian besar juga dengan membayar jasa tulis freelance. Saya pernah juga mencoba beli artikel SEO, standar rentang harganya 10-15 ribuan. Beberapa bahkan menggunakan AGC (Auto Generated Content), semacam bot untuk mengisi kontennya, tentu saja dengan copas otomatis sana-sini.
Banyak blog berarti banyak pula tulisan berbayar yang bisa dimuat, baik sebagai advertorial atau yang ingin backlink. Bayaran biasanya 100-300 ribuan, kelihatan kecil kalau cuma buat satu blog, tapi bagaimana kalau punya 10 blog?
Sebenarnya sudah lama saya menyadari bahwa blog, yang dulu sekadar ruang pribadi, memang bisa menjadi ladang industri digital yang sangat menguntungkan.
Ternak blog ini terasa mirip dengan sistem yang dijalankan grup media besar, sebut saja Kompas Gramedia atau Pikiran Rakyat. Bedanya, mereka memiliki kapital besar, dapat merekrut puluhan penulis (dan mudah pula membuang apalagi setelah Omnibus Law), dan dalam sehari bisa memproduksi ribuan artikel.
Tetapi saya melihat sisi yang harus dikritisi: kontributor-kontributornya sering kali hanya pekerja kontrak atau freelance, bahkan banyak konten dihasilkan dari UGC (User Generated Content), yang lebih menguntungkan perusahaan daripada penulisnya. Dalam ekosistem semacam ini, konten terus menghasilkan revenue meski penulisnya sudah tak lagi dilibatkan.
Menyesaki Ruang Digital
Terinspirasi dari grup media Valnet, yang meliputi situs-situs seperti CBR, Screenrant, dan Collider, saya mulai membayangkan diri saya sebagai Hassan Youssef-nya Indonesia, CEO Valnet tadi. Saya melihat potensi di dunia pop culture, niche yang bisa dibilang sangat akrab dengan saya, untuk bisa menghasilkan sesuatu yang serupa di sini.
Sebenarnya niche ini pun sudah terlalu sesak. Coba saja cek portal berita yang menulis soal anime atau manga, kalau ditelusuri kebanyakan terjemahan dari tulisan-tulisan dari grup media Valnet tadi.
Meski begitu, dari sanalah saya mulai mengubah blog utama saya, Kearipan ini, sambil bereksperimen dengan Kopi Bandung untuk niche spesifik tentang kota yang saya cintai dan meski butut enak untuk dikomersialisasi, serta Anime Poetica, proyek blog berbahasa Inggris yang menyoroti pop culture Jepang.
Ini juga semacam mimpi ingin membangkitkan kembali kejayaan Megindo, grup media cetak asal Bandung yang merilis majalah Animonster, Cinemags dan Gamestation. Seakan ingin menjadikan Bandung jadi pusat informasi pop culture lagi. Karena dulu pernah terbayang, kok bisa cuma modal nonton dan main video game bisa dapat duit lewat tulisan, dan sayangnya media cetak keburu masuk liang lahat.
Namun, setelah saya mencoba praktik “ternak blog” ini, kenyataan jauh dari ekspektasi. Bukan hanya sulit untuk mempertahankan ritme konsisten dalam membuat konten, tapi juga menyadari bahwa ekosistem digital yang besar ini tidak sesederhana teori di webinar.
Grup media seperti Valnet atau Kompas Gramedia punya modal besar dan tim yang solid, sementara saya masih sendirian, berupaya menghidupi dan membesarkan ketiga blog saya dengan segala keterbatasan waktu dan tenaga.
Meski begitu, perjalanan ini bukan tanpa makna. Dalam setiap upaya membangun, saya terus belajar tentang kekuatan kata, arsitektur konten, dan ironisnya, tentang arti kebebasan dalam menulis yang perlahan terkikis di tengah tuntutan algoritma.