Di setiap sudut kota yang terus membesar, ada yang hilang dan ada yang terpinggirkan. Bandung Selatan menjadi cerminan dari tatanan kota yang digerakkan oleh logika pasar, bukan oleh harapan manusia yang bermukim di sana.
Dalam pusaran urbanisasi yang semakin brutal, orang-orang perlahan terdesak, memilih menjauh dari pusat, bukan karena keinginan, melainkan karena keterpaksaan. Harga rumah di tengah kota telah melesat terlalu jauh, menjadi mimpi yang kian jauh.
Mereka yang memilih tinggal di Kabupaten, terutama di selatan Bandung, seolah terseret arus yang tak bisa dilawan.
Mencetak Rumah dari Setumbak Sawah
Di lahan yang dulunya sawah hijau membentang, kini berdiri perumahan-perumahan dengan tembok seragam dan atap genteng merah. Banyak yang mendadaninya dengan embel-embel modern minimalis atawa industrial.
Sawah-sawah itu, yang pernah menjadi bagian dari keindahan malam Bandung Selatan, telah menjadi barisan tembok, pagar-pagar besi, dan atap genteng merah. Lagu itu, “Bandung Selatan di Waktu Malam” karya Ismail Marzuki, kini terasa seperti mimpi lama yang terusir oleh kenyataan yang tak terhindarkan.
Sawah itu dulunya adalah penghidupan, tempat sebatang padi melambai tertiup angin. Tapi, lambaiannya kini terhenti di bawah bayang-bayang alat berat milik para developer. Kapital menuntut tanah lebih banyak, dan sawah-sawah itu dijual. Apa yang tersisa dari kesuburan tanah yang dulu memberi makan?
Kehidupan di perumahan itu mungkin nyaman bagi sebagian orang, tapi kenyamanan itu datang dengan harga yang tak terlihat. Bagi banyak penghuninya, banjir sudah menjadi tamu tahunan.
Saat hujan deras mengguyur, air meluap, merendam jalanan dan rumah. Yang dulu adalah sungai kecil, kini berubah menjadi lautan keruh. Sawah yang dulu menyerap air, kini tak ada lagi. Air tak lagi tahu ke mana harus pergi, selain masuk ke rumah-rumah yang berdiri di atas bekas ladang padi.
Orang-orang harus bertahan, entah bagaimana, mengeringkan rumah, membersihkan lumpur, sementara di luar sana kemacetan mengular di batas kota.
Pergi Subuh, Pulang Larut, Cicilan Tak Surut
Orang-orang terjebak di antara perumahan baru yang terus tumbuh seperti jamur, dan jalanan sempit yang tak pernah dirancang untuk menampung begitu banyak kendaraan. Perjalanan ke tempat kerja yang dulu terasa mudah kini menjadi perjuangan setiap hari, menyisakan tubuh lelah saat sampai di kantor.
Mereka yang bekerja di pusat kota berangkat subuh, pulang larut, menghabiskan waktu di jalan lebih lama daripada di rumah. Apalagi dengan bututnya, atau lebih tepatnya ketiadaan, transportasi publik Bandung yang layak. Rumah yang mereka beli dengan susah payah, di lahan yang dulu memberi penghidupan bagi seorang petani yang kini tak lagi punya tempat tinggal.
Tapi, tetap mereka bertahan. Hidup memang penuh resiko, dan bagi mereka yang terpinggirkan ke selatan, inilah harga yang harus dibayar untuk memiliki sepotong atap di bawah langit yang sama. Kehidupan bergulir di antara harapan-harapan kecil, barangkali anak-anak mereka tak perlu melalui hal yang sama.
Fenomena ini bukan sesuatu yang baru. Di masa kolonial, Bandung sudah terbagi. Daerah utara yang sejuk dan nyaman dipersembahkan untuk orang-orang Eropa, sementara selatan yang lebih datar dan sering tergenang adalah tempat untuk pribumi.
Jejak-jejak sejarah itu terus berlanjut, bahkan dalam kehidupan modern. Perbedaan yang dipaksakan oleh kekuasaan kolonial berlanjut dalam wujud lain—pemilik modal yang mendikte di mana orang-orang harus tinggal, ke mana harus pergi, dan bagaimana mereka menjalani hidup.
Bandung Selatan, bahkan di waktu malam sekalipun, tak lagi seperti dalam lagu Ismail Marzuki.
Bandung Selatan, yang dulu menjadi tempat bernaung bagi banyak petani untuk menghidupi dirinya, kini menjadi simbol dari penyingkiran. Dalam kota yang terus berkembang, ada yang terendam, ada yang terpinggirkan. Tapi hidup terus berjalan, entah ke arah mana.