Para penulis adalah orang yang depresi, tegas penyair cabul Charles Bukowski, dan ketika mereka berhenti jadi depresi mereka berhenti jadi penulis. Kau tak bisa jadi pengarang fiksi serius yang hebat, sebut pengarang fiksi ilmiah Kurt Vonnegut, jika kau enggak depresi. Nah, bukannya berbangga diri atau apa, tapi jika menyetujui kutipan dua penulis Amerika Serikat tadi, nampaknya saya punya kans untuk bisa jadi seorang penulis prosa yang baik–meski penulis skripsi yang celaka.
Memang, setiap manusia punya entitas unik dan kompleks, tiap individu berbeda. Setelah manusia lahir, lalu dibeda-bedakan berdasar suku bangsanya, agamanya, pandangan politiknya, serta embel-embel lainnya, saya enggak hendak berlaku diskriminatif, atau rasial. Tapi penggolongan kepribadian ini, untuk beberapa hal, saya pikir sesuatu yang berguna. Seenggaknya, lebih ilmiah ketimbang astrologi.
Katharine Cook Briggs dan putrinya Isabel Briggs Myers dalam merancang instrumen MBTI, meski banyak dikritik, adalah itikad baik agar masyarakat bisa tahu akan apa yang sebenarnya ia ingini, sehingga, kalau menurut Alain de Botton dalam video The School of Work: History of Ideas – Work, lewat insturem ini kita bisa menemukan pekerjaan yang mampu membuat kita mencapai kepuasan, fullfilment. Dan dalam MBTI ini, saya seorang INFP.
Dari Homer, John Milton, Jean-Jacques Rousseau, Soeren Kierkegaard, Edgar Allan Poe, Hans Christian Andersen, J.R.R. Tolkien, Franz Kafka, George Orwell, C.S. Lewis, Virginia Woolf, Bill Watterson, Antoine de Saint-Exupery, Albert Camus, sampai George R.R. Martin, dan Haruki Murakami. Semuanya dicap INFP, atau setidaknya dalam kuadran NF. Tentu, saya berbangga akan hal ini, mereka penulis-penulis hebat kesukaan saya.
Nah, berikut beberapa tips yang saya dapat dari Write with Personality: The INFP Writing Personality: Elegant Persuasion
- Bekerja baik di lingkungan yang tenang, yang tidak akan ada gangguan. Kita suka otonomi sehingga kita dapat menyempurnakan tulisan kita sesuai dengan standar tinggi kita sendiri tanpa harus mengikuti jadwal orang lain.
- Memilih untuk menulis tentang topik pribadi. Kita mungkin kehilangan gairah kreatif jika subjeknya tidak berarti bagi kita. Jika demikian, cobalah mengambil sudut yang memungkinkan kita untuk menulis tentang perasaan kita pada topik tersebut. Jika kita seorang penulis teknis INFP, mencari cara untuk terhubung dengan pembaca dengan mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan mereka.
- Memiliki wawasan yang tajam pada sesuatu. Prosa yang sering kita sampaikan merupakan gambaran mengejutkan tentang mood atau suasana daripada benda. Kita menikmati kompleksitas dan secara sabar dapat mengungkap materi padat. Kita mampu melihat banyak sisi dari sebuah argumen dan mungkin memiliki kesulitan mencapai kesimpulan. Selama proses penulisan, kita mungkin sering berhenti sejenak untuk mempertimbangkan alternatif atau untuk mencari hubungan antara hal-hal yang tampaknya terpisah.
Juga, tips dari Sylvia Plath:

Namun, ada beberapa kelamahan, titik buta yang perlu kita perhatikan:
- Menuntut keanggunan dalam bahasa dan keinginan untuk memoles pekerjaan terlalu cepat. INFP cenderung menulis panjang, berkelok-kelok draft pertama, sehingga kita mungkin akan perlu untuk mensintesis dan memotong bahan kemudian. Simpan pencarian untuk metafora sempurna sampai tahap revisi.
- Kemungkinan besar menulis dalam hal yang benar-benar abstrak. INFP mengkomunikasikan nilai-nilai dan visi pribadi melalui tulisan kita. Kita mencari makna di balik fakta-fakta, dan mungkin mempertimbangkan fakta-fakta sebagai sesuatu yang tak penting. Ini tidak benar untuk sebagian besar pembaca kita. Selama revisi, tambahkan rincian yang kongkret. Pertimbankan oleh kelima panca indera kita. Sertakan statistik. Gabungkan sudut pandang lain untuk mencapai keseimbangan. Pastikan riset kita menyokong kesimpulan kita.
- Cenderung sensitif terhadap kritik. Namun demikian, pertimbangkan untuk menunjukkan pekerjaan kita ke teman atau kolega yang terpercaya sebelum kita memulai rancangan akhir. Umpan balik akan sangat membantu dalam memfokuskan pekerjaan kita.
Ingat, enggak ada yang namanya benar salah dalam latihan menulis. Setiap orang itu unik, jadi jangan biarkan generalisasi ini membatasi kita. Lakukan apa yang terbaik menurutmu.
INFP sedunia, bersatulah… dalam kesunyianmu masing-masing, mungkin sendirian bengong di kedai kopi kayak Camus. Dan bereskan pekerjaanmu, jangan seperti Kafka. Kalian memang sialan!
beda depannya doang, saya ENFP. jadi mungkin sendirian bengong di kedai kopi malah ngantuk.
jadi inget kata temen. mungkin saya memang sedang bahagia, ha ha ha …. *entah patut disyukuri atau disesali ini menurut pak bukowski
Quotes terakhir itu nampol banget
trus gimana tuh orang-orang yang punya cita-cita pengen jadi penulis kayak saya ? apa saya harus jadi orang stres dulu ?
Hmm, itu cuma bacotan mereka aja sih, tapi karena mereka itu penulis kesukaan saya dan karyanya asyik-asyik, ya saya terpaksa setuju.
Kalau ga resah, lantas apa yg mau ditulis?
Hmmm, betol-betol-betol, brarti kalo gitu orang2 yang kritis itu orang2 yang resah ya bro’
Energi utamanya emang resah. Tapi, harap diingat, antara kritis dan sok tau itu tipis bedanya.
sepakat
Credit untuk Haruki Murakami, saya rasa Murakami lebih pas masuk ke INFJ. Berdasarkan pada rutinitas yang selalu ia tekuni tiap hari, bangun pagi jam 4, menulis, berolahraga, bersantai, dan tidur jam 9. Ia adalah pribadi yang begitu tertutup, enggan bersosialisasi, hidupnya begitu tertata rapi, bahkan ia sendiri sangat “sulit merasa bosan”, dia bisa jatuh cinta dengan hal-hal kecil seperti mug atau hiasan remeh-temeh di rumahnya tanpa perlu tergoda hasrat menggantinya. ia adalah manusia yang sangat setia dengan apapun. rasanya sulit bagi tipe INFP untuk bergaya hidup semacam itu dan berkeseharian dengan rutinitas se ketat itu.
kata kuncinya; kategori Perceiving (INFP) “biasanya” mengedapankan pada spontanitas, tidak suka sesuatu yang terstruktur dan terjadwal, mudah bosan, tidak nyaman dengan sistem dan tata cara, pembenci status QUO. Salam.
Iya Murakami itu penulis yg rajin. Yang pasti dia INF, antara P atau J masih jadi pertanyaan. Tapi kalau saya baca tokoh-tokoh utama dalam novelnya, sangat kental terasa INFP-nya: enggak bergairah, punya banyak masalah malah semedi dalam sumur, dan hidup seenak udelnya.
Dan bukankah alasan awal Murakami memutuskan untuk bikin novel itu gara-gara kepikiran begitu aja pas nonton pertandingan bisbol? Spontanitasnya nyeleneh banget kan? Dan adakalanya, demi menggapai sebuah tujuan tertentu, seorang INFP pun rela untuk hidup dalam keteraturan dan keterkungkungan.
Reblogged this on alfinawidiarta.