Dalam gemuruh pagi yang tenang di Bandung, deretan sepeda warna biru dari BOSEH Bike Sharing tampak seperti titik-titik yang bergerak lambat di antara riuh rendah kota.
Pagi itu, kami berkumpul di halaman Hotel Homann, hotel tua yang usianya lebih dari seratus tahun, seolah menyimpan rahasia setiap napas kota yang pernah lewat di bawah langitnya.
Komunitas Aleut memandu dalam tur yang bertajuk “Tour de Grand Hotel Homann”—sebuah ajakan untuk menyusuri lorong waktu melalui arsitektur art deco yang berdiri kokoh di sekitar kami.
Bandung, dengan segala gemilang art deco-nya, tampak berbeda ketika dilihat dari sadel sepeda.
Deretan Art Deco di Jalan Braga
Dari Hotel Homann, kami memulai perjalanan melewati Jalan Braga, sebuah koridor waktu di mana bangunan tua berdiri seperti saksi bisu, memandang generasi yang datang dan pergi.
Jalan Braga seperti galeri hidup, sebuah pameran sejarah tanpa bingkai yang menyimpan beribu cerita di balik pintunya yang tertutup rapat.
Taman Pemkot Bandung
Rute kami menuju Gedung Pemkot Bandung.
Hotel Preanger dan Royal Palace
Setelah dari Taman Pemkot, lalu dilanjut ke Hotel Royal Palace di Jalan Lembong. Lantas, kami menuju Hotel Preanger, di mana sejarah dan masa kini bercampur, menciptakan harmoni di antara yang baru dan yang lampau.
Di setiap gedung yang kami singgahi, arsitektur art deco berbicara dalam bahasa batu dan semen, sebuah kisah yang tak akan pernah habis diceritakan.
Tur Hotel Homann
Ketika kembali ke Hotel Homann, kami dibawa ke kamar yang konon pernah digunakan oleh Soekarno saat Konferensi Asia Afrika. Ada sensasi aneh berdiri di ruangan itu, seolah-olah sejarah menunggu untuk disentuh, namun tetap berada dalam bayang-bayang yang tak terlihat.
Setiap sudut ruangan memancarkan keheningan yang mengingatkan kita bahwa tempat ini pernah menjadi saksi bisu pertemuan-pertemuan besar yang mengubah wajah dunia.
Tur ini berakhir di rooftop Hotel Homann, tempat di mana kami berdiri di bawah langit yang sama seperti puluhan tahun lalu, memandang cakrawala Bandung yang terus berubah.
Di atas sana, angin sepoi-sepoi membawa bisikan masa lalu, seakan-akan memanggil kami untuk terus mengingat, bahwa kota ini bukan hanya milik hari ini, tapi juga milik setiap jiwa yang pernah melangkah di jalanan yang kita kayuh dengan sepeda hari ini.