Dibuka dengan suara redup Kaisar Hirohito terdengar lewat siaran radio yang mengumumkan penyerahan tanpa syarat Jepang pada 15 Agustus 1945. Latar hitam kemudian diterangi oleh cahaya lilin yang mengungkapkan sebuah keluarga Taiwan yang sedang harap-harap cemas mempersiapkan kelahiran di tengah keadaan mati lampu. Ketika listrik kembali pulih, erangan derita dari sang ibu pecah menjadi suara tangis bayi. Sang bayi diberi nama Kang-ming, yang berarti cahaya. Adegan ini seakan merupakan sebuah metafora.
Namun, apakah setelah berakhirnya Perang Dunia II, dunia langsung menjadi cerah? Sebaliknya, kekejaman terus berlanjut, bahkan lebih-lebih.
A City of Sadness menceritakan kehidupan sekeluarga Lin bersaudara selama empat tahun yang penuh gejolak antara penarikan mundur Jepang dari Taiwan setelah 51 tahun pendudukan, hingga pemisahan Taiwan dari daratan Cina pada tahun 1949. Nada harapan dan optimis yang ditampilkan di awal film tersebut tampaknya terbukti tak bisa dipertahankan.
Potret Keluarga dalam Pusaran Konflik Taiwan Medio 1945-1949
Plot film ini berpusat pada keluarga Lin di Taiwan setelah menyerahnya Jepang pada 1945. Taiwan telah menjadi koloni Jepang selama lima puluh tahun sebelumnya sampai pemerintahan Kuomintang atau Partai Nasionalis Tiongkok mulai mengambil alih pulau itu setelah Perang Dunia II.
Anak tertua dari empat bersaudara di keluarga Lin mengubah bar miliknya yang bergaya Jepang menjadi bergaya Shanghai. Saudara laki-laki Lin kedua menghilang selama perang di Filipina. Saudara ketiga, setelah kembali dari Shanghai dan pulih dari gangguan mental, bergabung dengan penyelundup narkoba. Namun, ketika si sulung mengetahui tentang bisnis ini, ia menyita sejumlah obat-obatan dan melarang saudara ketiga untuk melanjutkan keterlibatannya dengan orang daratan.
Ini membuat orang Shanghai menggunakan koneksi militer mereka untuk menjebak saudara ketiga, dengan menuduhnya sebagai kolaborator Jepang selama perang sehingga berakhir dipenjara. Setelah si sulung berdamai dengan para gangster dari Shanghai, ia akhirnya dibebaskan, kembali dari penjara dengan cacat fisik dan mental. Sang adik bungsu, Lin Wen-ching, tunarungu dan tak bisa berbicara, menghidupi dirinya dari studio foto. Wen-ching dan lingkaran teman-temannya yang masih muda yakin bahwa sosialisme akan menjadi alat pamungkas bagi Taiwan untuk mengusir pasukan kolonial dari luar. Ini adalah posisi yang menjadikan mereka target rezim baru Kuomintang tadi.
Menghadirkan konsekuensi tragis yang dihasilkan dari pola penyalahgunaan kekuasaan yang terus meningkat oleh otoritas daratan, A City of Sadness dengan penuh belas kasih mengartikulasikan keputusasaan dari orang yang berulang kali menjadi korban ketika mereka mencari inklusi dan identifikasi budaya. Melalui perspektif yang terasing, film ini mencerminkan warisan demoralisasi, pengabaian, pengucilan, isolasi, dan pengkhianatan kontemporer Taiwan pada tangan-tangan bermotif politis dari kekuatan-kekuatan eksternal yang mengganggu.
Dengan memusatkan perhatian pada hal yang personal dan subtil, A City of Sadness menyampaikan kekecewaan dan keputusasaan para korbannya, yang jauh lebih efektif ketimbang bila ia memamerkan adegan-adegan orang jahat yang menembaki kerumunan warga. Fokusnya pada orang-orang biasa, bukan tokoh dan peristiwa bersejarah raksasa, yang menjadikan A City of Sadness sebagai karya yang indah dan kuat.
Kemunculan Gelombang Baru Sinema Taiwan di Kala Teror Putih
A City of Sadness adalah salah satu karya Hou Hsiao Hsien yang paling ambisius dan merupakan film Taiwan pertama yang meraih hadiah internasional bergengsi. Jika semua film sebelumnya sering dikritik karena terlalu personal, A City of Sadness berkelana ke dalam sejarah dengan membawa gaya sinematik yang mengarah pada epik kelahiran sebuah bangsa.
Ini adalah film Taiwan pertama yang memulai pembicaraan tentang pengalaman paling traumatis dalam sejarah bangsa, Insiden 28 Februari. Sebuah pembantaian yang terjadi tahun 1947 yang dilancarkan Kuomintang atau Partai Nasionalis Tiongkok yang mengakibatkan 18.000 hingga 28.000 kematian.
Menggunakan keluarga sebagai matriks yang melaluinya untuk menyaring peristiwa-peristiwa bersejarah pada saat pendirian sebuah bangsa, Hou menyajikan kembali sejarah Taiwan dalam perspektif mikro dan makro. Ketika film ini keluar, Kuomintang masih berkuasa, dan tidak ada yang diizinkan untuk berbicara di depan umum tentang peristiwa ini, apalagi bikin film.
Jauh sebelumnya, pada 1947, Kuomintang, melembagakan hukum darurat perang di Taiwan yang bertujuan menekan agitasi kiri yang akan tetap berlaku selama 40 tahun. Selama Teror Putih ini, sinema Taiwan tunduk pada sensor pemerintah dan pembatasan penggunaan dialek Taiwan dalam dialog. Film laga dan melodrama romantis menggantikan film artistik yang politis selama era ini, dan hampir tidak ada film yang mendapat pengakuan di luar dunia berbahasa Cina.
Namun, pada 1980-an, Taiwan memasuki era demokratisasi, dan industri filmnya mengalami fase yang disebut Gelombang Baru. Ketika para sutradara muda mulai membuat film yang memberikan gambaran kehidupan Taiwan yang lebih realistis dan terlokalisasi. Hou adalah salah satu sutradara muda ini, dan A City of Sadness adalah yang pertama dari film-film Gelombang Baru ini yang mendapatkan pengakuan internasional.
Pada akhirnya, lewat obyektivitas yang jauh dan pemutusan sentimental barulah adegan pembukaan dalam A City of Sadness yang menegaskan kehidupan kelahiran Kang-ming dapat ditelisik. Bukan sebagai metafora yang ironis untuk menyimbolkan penyatuan kembali pascaperang dengan China daratan, tetapi sebagai keputusan Taiwan yang menyakitkan secara emosional dan traumatis untuk memutus ikatan leluhur yang berakar dengan ibu pertiwi. Seperti hubungan anak-ibu yang kadang bisa jadi toksik.
*
Referensi:
- Huang, Tai-lin (20 May 2005). White Terror exhibit unveils part of the truth. Taipei Times.
- Linden, Sheri (March 28, 2015). Taiwanese director Hou Hsiao-hsien captures life’s big, small moments. Los Angeles Times.
- Rayns, Tony. A City of Sadness. Time Out.
Menarik. Saya jadi ikut penasaran dan ingin nonton filmnya, dan baru tahu soal Teror Putih. *Siap-siap menjelajah Google
ini kayanya yg pernah bokap tonton.. Ini film jadul kan yah?? tahun 1900an kalau nggk salah.. hahah sotoy lu bay
Mungkin film yg diperanin Tony Leung kali ya, soalnya dia aktor Hong Kong yg maen di banyak film. Film Taiwan ga tau pernah tayang di tv Indonesia, yg saya tau paling cuma drama Meteor Garden di tahun 2000an.
Setelah baca dua paragfar, kayak merasa pernah baca judulnya. Pas iseng cari di IMDB, ternyata memang udah masuk didaftar tonton. Agak lupa nemunya dimana, tapi kall ngga salah baca di arsip majalah Tempo. Noted lah. Mau nonton ini sesegera mungkin.
Garin Nugroho pernah nulis di Tempo soal sinema Asia 1990-an, dan nyebut sutradara dan film ini. Sutradara Hou Hsia-hsien emang terkenal, jadi wajar sering jadi rujukan.
Semacam Orde Baru kalau di sini, yg ngritik pemerintah, apalagi yg kiri langsung disikat. Pengen banget ada film Indonesia yg kayak gini, film sejarah yg ga melulu soal heroisme.
Aku baru tau film ini soalnya film jadul mandarin yang kutau kebanyakan Jackie Chan atau jetli
Tapi ini setting waktunya Mirip sama kabut cinta hau shang hau shiang
Pas invasi jepang cuma ini di Taiwan
Btw ngomongin Taiwan asyik juga
Tetep dicap tiongkok sebagai provinsi yang membangkang
Coba aku liat ah filmnya
Film Mandarin yg sering masuk ke sini emang banyaknya dari Hong Kong sama Cina daratan. Jackie Chan orang Hong Kong sementara Jet Li kelahiran Cina daratan tapi sering main di film Hong Kong. Di film ini ada Tony Leung aktor Hong Kong.
Nah, Kabut Cinta produksi kerjasama Taiwan sama Cina daratan. Suka pusing juga ngebedain Taiwan, Hong Kong sama Cina daratan.
Hau Shang Hau Shiang emang lagu legenda, jadi kangen Lu Yi Ping.
Ohiya, ingat. Yang nulis memang Garin. Dalam tulisannya ada beberapa judul film lain. Saya sering nyatat atau masukin ke watchlist tiap nemu referensi film