Cara Menikmati Es Krim a la Umberto Eco

Saat saya masih kecil, ada dua jenis es krim yang dibeli anak-anak, yang dijual dari gerobak berkanopi terbuat dari alumunium: antara es krim dengan corong seharga dua sen atau es krim kue pai seharga empat sen. Yang corong dua sen sangat kecil, pada kenyataannya begitu pas di genggaman tangan anak-anak, dan ini dibuat dengan mengeduk es krim dari kontainer dengan sebuah sauk khusus dan menempatkan di atas corong. Nenek selalu menasihati agar saya hanya memakan sebagian corongnya, lalu membuang bagian ujungnya, sebab sudah dipegang si penjualnya (meski memang ini bagian terbaiknya, enak dan renyah, dan ini selalu dimakan sembunyi-sembunyi, setelah pura-pura membuangnya). 

Es krim pai dibuat oleh mesin kecil khusus, juga dari alumunium, yang menggencet dua piringan biskut manis ke sebuah es krim berbentuk silinder. Pertama kau harus memercayakan lidahmu untuk bisa menyisir celah antara biskuit sampai bisa meraih pangkal es krim; lalu, sedikit demi sedikit, kau memakan semuanya, permukaan biskuit akan melembek karena terembes krim kental. Nenek tak punya nasihat apapun kali ini: secara teori kue pai tadi hanya tersentuh oleh mesin; pada prakteknya, si penjual telah memegang dengan tangannya saat memberi kepada kita, tapi sangat mustahil untuk menentukan mana area yang telah terkontaminasi.

Bagaimanapun, saya iri oleh beberapa teman-teman saya, yang orangtuanya membelikan mereka bukan sebuah pai empat sen tapi dua buah yang corong empat sen. Anak-anak yang beruntung itu dengan bangganya bisa memegang satu di tangan kanannya dan satu lagi di tangan kirinya; dan dengan ahlinya meliukkan wajah dari sisi ke sisi, mereka menjilat yang satu, lalu ke satunya lagi. Ritual begini membuat saya sangat iri, sehingga sangat sering saya meminta agar diperbolehkan merayakan yang semacam ini. Tapi sia-sia. Orangtua saya sangat keras: satu es krim empat sen, boleh; tapi dua buah es krim corong, sama sekali jangan.

Seperti yang bisa dilihat semua, bahkan secara matematis dan ekonomi juga secara dietetis tak akan ada yang bisa membenarkan penolakan ini. Bukan juga secara higienis, dengan asumsi bahwa soal penyajian kedua es krim corong itu dikesampingkan. Satu-satunya pembenaran konyol yang penuh dusta adalah bahwa seorang bocah yang sibuk mengalihkan matanya dari satu corong ke yang lainnya cenderung akan tersandung batu, tangga, atau retakan trotoar. Saya juga merasakan bahwa ada pembenaran tersembunyi lainnya, secara pedagogis, tapi saya belum bisa memahaminya.

Hari ini, warga kota dan korban dari sebuah masyarakat konsumen, sebuah peradaban yang serba kelebihan dan penuh kemubaziran (yang mana masyarakat pada tahun 30an tidak termasuk), saya menyadari bahwa orang-orang terkasih tadi dan para tetua yang sekarang sudah meninggal itu benar. Dua es krim corong dibanding satu yang empat sen itu tidak menandakan kesia-siaan, kalau dilihat secara ekonomi, tapi secara simbolis mereka memang benar. Ini alasan saksamanya, yang bisa saya serap dari mereka: sebab dua es krim menampilkan sikap berlebih-lebihan. Dan inilah mengapa mereka melarang saya: karena mereka melihat sikap angkuh, penghinaan terhadap kemiskinan, sebuah tampilan dari hak istimewa khayali, sebentuk kesombongan atas kekayaan. Hanya anak-anak manja yang memakan dua es krim sekaligus, anak-anak tersebut yang dalam kisah dongeng dibenarkan untuk mendapat hukuman, seperti Pinokio saat tak terima akan kulit dan cara geraknya. Dan orangtua yang menganjurkan kelemahan semacam ini, memperuntukkan terciptanya orang kaya pongah, yang membesarkan anak-anaknya dalam teater bodoh bahwa “aku mau saja tapi aku tak bisa.” Mereka menyiapkan anak-anaknya agar menjadi semacam turis yang berlibur dengan sebuah tas Gucci palsu yang dibeli dari pedagang asongan di pantai Rimini.

Dewasa ini para moralis pura-pura sibuk berselisih soal moral, dalam sebuah dunia di mana masyarakat konsumen sekarang, bahkan orang dewasa pun ingin dimanjakan, dan dijanjikan bahwa mereka ingin mendapat sesuatu yang lebih, dari hadiah jam tangan dari kotak deterjen sampai hadiah gelang dari majalah, dalam sebuah amplop plastik. Seperti para orang tua dari para pelahap yang pandai menggunakan dua tangannya yang begitu membuat saya iri tadi, masyarakat konsumen memberanikan diri agar mendapat lebih, tapi sebenarnya mendapat, yang seharusnya empat sen, yang sesuai dengan empat sen. Kau akan membuang radio transistor lawas lalu membeli yang terbaru, yang ada fitur alarm, tapi ada cacat yang tak bisa dijelaskan dalam mekanismenya yang membuat radio hanya bertahan setahun. Mobil baru yang murah punya jok kulit, dua kaca di dalamnya, dan sebuah dashboard berpanel, tapi ini tidak setangguh Fiat 500 tua, yang mana, ketika mogok, bisa dijalankan lagi dengan sebuah tendangan.

Moralitas di masa silam membuat kita menjadi Spartan, sementara moralitas hari ini membentuk kita semua menjadi Sybarites*.

*

(*) Sybarites: salah satu bangsa Yunani kuno yang digambarkan merupakan orang-orang pencari kesenangan dan kenikmatan.

Diterjemahkan dari How to Eat Ice Cream (1989) dalam buku How to Travel With a Salmon & Other Essays.

Umberto Eco (1932-2016), seorang novelis, esais, kritikus sastra, dan filsuf asal Italia. Juga profesor dalam masalah semiotik dan budaya populer di Universitas Bologna.

10 pemikiran pada “Cara Menikmati Es Krim a la Umberto Eco”

  1. Gilak! Itu es krim yang paling kiri bikin mupeng banget! -____-
    Ateuhlah Akang. :’
    Terlepas dari cara menikmati es krim yang biasa dilakuin orang-orang, gue paling seneng kalo es krimnya digigit bukan dijilat. Hahhaa.

    Balas
  2. Kritiknya akan masyarakat yang konsumtif mengena ya. Perumpamaannya sederhana tapi bekasnya dalam :hehe. Jadi mikir sendiri sih, saya seperti anak kecil pemboros yang memegang es krim di kedua tangan itu tidak, ya? Yang mengabaikan kebutuhan dan mengutamakan keinginan, yang hanya kepengen tampak hebat padahal itu sama sekali tak ada gunanya? :haha.
    Cerita yang menggugah :)).

    Balas

Tinggalkan komentar