Sebelum istriku menjadi vegetarian, aku selalu menganggapnya sangat biasa dalam segala hal. Jujur, pertama kali aku bertemu dengannya aku bahkan tidak tertarik padanya. Tinggi menengah; potongan rambutnya tidak panjang tidak juga pendek; kulitnya seperti orang yang punya penyakit kuning; tulang pipi agak menonjol; sikap malu-malunya, juga betapa pucatnya dia sudah cukup mengatakan semua yang perlu kutahu. Saat ia datang ke meja tempatku menunggu, aku tidak bisa apa-apa selain melihat sepatunya—sepatu hitam sederhana yang sangat biasa. Serta cara berjalannya—tidak cepat juga tidak lambat, tidak dengan langkah panjang juga tidak pendek yang tergesa.
Namun, meski tidak ada keistimewaan menarik apapun, juga karena tidak ada kekurangan tertentu yang berarti, oleh sebab ini tidak ada alasan untuk kami berdua untuk tidak menikah. Kepribadian pasif wanita yang bisa kudeteksi ini bukan karena kekurangajaran bukan juga untuk menampilkan pesona tertentu, atau apapun yang menawan, begitu cocok denganku.
Tidak perlu susah-susah menampilkan kecerdasan intelektual untuk memenangkan hatinya, atau khawatir bahwa ia bakal membandingkanku dengan para lelaki cemerlang yang berpose di majalah mode, dan dia tidak peduli jika aku kebetulan terlambat saat kami janjian bertemu. Perut buncit yang mulai muncul di pertengahan usia dua puluhan, kaki dan lengan kerempeng yang menolak untuk membesar sehebat apapun aku berupaya, serta rasa rendah diri akan ukuran penisku—aku bisa yakin bahwa aku tak harus terlalu khawatir tentang hal-hal tersebut jika aku bersamanya.
Aku cenderung selalu memilih jalan tengah dalam hidup. Saat sekolah aku memilih untuk main perintah di sekitar mereka yang dua atau tiga angkatan di bawahku, dan dengan siapa aku bisa bertindak sebagai pemimpinnya, ketimbang mengambil kesempatanku dengan orang-orang seusiaku sendiri, dan kemudian aku memilih jurusan kuliah berdasarkan peluang paling besar aku bisa memperoleh beasiswa untuk kebutuhanku. Pada akhirnya, aku mendapat pekerjaan di mana aku diberi gaji bulanan yang layak sebagai imbalan atas tugas-tugas yang kuselesaikan secara disiplin, bekerja di sebuah perusahaan yang ukurannya menengah berarti mereka akan menghargai kemampuan biasa-biasaku.
Dan sangat alamiah jika aku akan menikah dengan wanita paling biasa di dunia. Adapun wanita yang cantik, cerdas, memikat secara sensual, anak dari keluarga kaya—mereka hanya akan hadir untuk mengganggu ketentraman eksistensiku. Sesuai dengan ekpektasiku, dia benar-benar istri biasa yang berlaku tanpa perlu hal-hal tidak menyenangkan. Setiap pagi dia bangun pukul enam pagi untuk mempersiapkan nasi dan sup, biasanya ditambah ikan. Sejak masih remaja ia memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarganya melalui berbagai pekerjaan paruh waktu. Dia mendapat pekerjaan sebagai asisten instruktur di kursus komputer grafis yang dia ikuti selama satu tahun, serta dikontrak oleh penerbit manhwa untuk bekerja menulisi percakapan pada balon bicara, yang bisa dia kerjakan dari rumah.
Dia seorang wanita yang irit bicara. Sangat jarang baginya untuk menuntut apa-apa dariku, dan setelat apapun aku pulang dia tidak pernah meributkannya. Bahkan ketika ada hari libur kami yang terjadi bertepatan, dia tidak akan menyarankan agar kami pergi berlibur ke suatu tempat bersama-sama. Sementara aku malas-malasan saat siang hari, dengan remote TV di tangan, dia akan mengurung diri di kamarnya. Kemungkinan besar dia akan menghabiskan waktu dengan membaca, satu-satunya hobi yang ia punya. Untuk beberapa alasan, membaca adalah sesuatu yang bisa benar-benar membenamkan dirinya—membaca buku-buku yang tampak begitu membosankan yang bahkan aku tidak bakal tahan hanya dari melihat sampulnya saja. Hanya pada waktu makan dia akan membuka pintu dan diam-diam muncul untuk menyiapkan makanan. Yang pasti, dengan istri semacam itu, dengan gaya hidup semacam itu, bukan berarti bahwa aku tidak mungkin bisa mendapat hari yang begitu bergairah. Di sisi lain, jika aku punya istri yang ponselnya terus berdering sepanjang hari karena panggilan dari teman atau rekan kerjanya, atau istri yang suka mengomel bahkan cekcok hingga berteriak dengan suaminya, aku akan bersyukur ketika istri semacam itu capek sendiri.
Satu-satunya yang membuatku segan pada istriku adalah bahwa dia tidak suka pakai bra. Ketika aku masih muda yang baru saja keluar dari masa remaja, saat istriku dan aku kencan, aku kebetulan meletakkan tanganku di punggungnya dan mendapati bahwa aku tidak bisa merasakan tali bra di balik sweaternya, dan ketika aku menyadarinya aku menjadi cukup terangsang. Dalam rangka untuk menilai apakah dia mungkin bakal mencoba untuk mengatakan sesuatu, aku menunggu satu dua menit memandangnya dengan tatapan berbeda, mempelajari sikapnya. Hasil dari pengamatanku adalah bahwa pada kenyataannya dia tidak mencoba untuk mengirim isyarat apa pun. Jadi jika bukan karena bentuk kemalasan, apakah itu hanya kurangnya perhatian belaka? Aku tidak bisa mendapat kepastian. Yang pasti, itu bukan karena dia punya payudara indah yang mungkin “enak dilihat tanpa bra.” Aku lebih suka agar dia pergi keluar mengenakan bra yang tebal serta empuk, sehingga aku bisa menyelamatkan muka di depan kenalanku.
Bahkan di musim panas, ketika aku berhasil membujuknya untuk memakai bra untuk sementara waktu, ia memilih untuk melepasnya hanya dalam satu menit setelah meninggalkan rumah. Bekas kait yang terlepas itu jelas terlihat di balik atasan tipis berwarna terangnya, tapi dia tidak terlalu peduli. Aku mencoba menegur dia, menceramahinya untuk memakai kaus dalam ketimbang bra kalau merasa gerah. Dia mencoba untuk membenarkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia tidak tahan mengenakan bra karena itu mengekang payudaranya, dan karena aku tidak pernah memakai bra sehingga aku tidak bisa mengerti bagaimana rasanya terkekang seperti itu. Namun demikian, mengingat aku tahu pasti bahwa banyak juga perempuan lain yang, tidak seperti dia, tidak tersiksa karena bra, aku mulai memiliki syak wasangka atas hipersensitivitasnya itu.
Di samping semua itu, tentu saja kehidupan pernikahan kami berjalan lancar. Kami memasuki usia lima tahun pernikahan, dan karena kita tidak pernah jatuh cinta menggebu-gebu pada awalnya sehingga kami mampu untuk menghindari jatuh ke dalam tahap kelelahan dan kebosanan yang dinyatakan dapat mengubah kehidupan pernikahan menjadi kesengsaraan. Satu-satunya masalah adalah karena kami memutuskan untuk menunda memiliki anak sampai kami telah berhasil punya tempat tinggal sendiri, yang terealisasi pada musim gugur lalu, sehingga aku kadang bertanya-tanya apakah aku akan bisa mendengar suara meyakinkan dari anak yang bergumam “dada,” yang berarti buat diriku. Sampai satu hari di Februari kemarin, ketika aku mendapati istriku berdiri di dapur saat waktu subuh hanya dalam pakaian tidur, aku tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan bahwa kehidupan kita bersama mungkin akan mengalami perubahan mengerikan.
“Apa yang sedang kau lakukan berdiri di sana?”
Aku hendak menyalakan lampu kamar mandi ketika aku bangun. Itu sekitar empat pagi, dan aku terbangun dengan rasa haus yang hebat karena minum satu setengah botol soju saat makan malam, yang juga berarti kesadaranku lebih lama pulih dari biasanya.
“Halo? Aku bertanya apa yang sedang kau lakukan.”
Saat itu cukup dingin, tapi melihat istriku rasanya bahkan lebih dingin. Rasa kantuk akibat alkohol cepat menguap. Dia berdiri, diam tak bergerak, di depan lemari es. Wajahnya tenggelam dalam kegelapan sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi kemungkinan lain yang bisa dibayangkan membuatku takut. Rambut hitam tebal alaminya itu acak-acakan, dan ia mengenakan baju tidur panjang sampai pergelangan kaki berwarna putihnya.
Pada malam seperti itu, istriku biasanya akan buru-buru memakai cardigan dan sandal bulunya. Sudah berapa lamakah dia sudah berdiri di sana seperti itu—tanpa alas kaki, dengan pakaian tidur musim panas yang tipis, berdiri kaku sempurna tak menyadari pertanyaan berulangku? Wajahnya membelakangiku, dan dia berdiri di sana dengan begitu tak wajar seolah-olah dia semacam hantu, berdiri mematung dalam diam.
Apa yang sedang terjadi? Jika dia tidak bisa mendengarku maka kemungkinan besar berarti ia sedang tidur berjalan.
Aku mendekatinya, menjulurkan leherku untuk melihat wajahnya.
“Kenapa kau berdiri di sana seperti itu? Apa yang sedang terjadi . . .”
Ketika aku meletakkan tanganku di bahunya aku terkejut karena dia tak bereaksi sedikit pun. Aku tidak punya keraguan bahwa aku benar-benar waras dan semua ini benar-benar terjadi; aku telah sepenuhnya sadar akan segala sesuatu yang telah kulakukan sejak muncul dari ruang tamu, bertanya padanya apa yang dia lakukan, dan bergerak ke arahnya. Dia berdiri sendiri di sana benar-benar tidak merespon, seolah-olah tenggelam dalam dunianya sendiri. Rasanya seperti suatu ketika, saking diserap dalam sebuah drama TV larut malam, ia sampai tak sadar kalau aku telah tiba di rumah. Tapi apa yang bisa begitu menyerap perhatiannya dari pintu kulkas putih yang berkilau pucat itu, di dapur yang gelap gulita di pukul empat pagi?
“Hei!”
Sosoknya makin jelas dalam kegelapan. Aku memperhatitkan matanya, berbinar tanpa gelisah, saat itu bibirnya perlahan bergetar.
“. . . Aku bermimpi.”
Suaranya begitu jelas secara mengejutkan.
“Mimpi? Apa yang kau bicarakan? Apa kau tahu jam berapa sekarang ini?”
Dia berbalik sehingga tubuhnya menghadapku, lalu perlahan-lahan berjalan pergi melewati pintu yang terbuka ke ruang tengah. Saat ia memasuki ruangan ia mengulurkan kakinya dan dengan tenang mendorong pintu. Aku ditinggalkan sendirian di dapur yang gelap, menatap tak berdaya saat sosoknya perlahan hilang melewati pintu.
Aku menyalakan lampu kamar mandi dan masuk ke dalam. Cuaca dingin terus berlangsung selama beberapa hari kebelakang, secara tetap sekitar -10°C. Aku mandi hanya beberapa jam yang lalu, jadi plastik sandal mandiku masih terasa dingin dan basah. Kesepian musim kejam ini mulai turun, merembes dari lubang ventilasi di atas bak mandi, merembes keluar dari ubin putih yang menutupi lantai dan dinding.
Ketika aku kembali ke ruang tamu istriku sedang berbaring, kakinya ditekuk ke dadanya, keheningan begitu terasa seakan aku sedang seorang diridi ruangan itu. Tentu saja, ini hanya khayalanku. Jika aku berdiri diam, menahan napas dan fokus mendengarkan, aku bisa mendengar suara samar hembusan napas datang dari tempat ia berbaring. Namun hal itu tidak terdengar seperti napas dalam teratur seseorang yang telah jatuh tertidur. Aku mengulurkan tangan ke arahnya, dan tanganku telah menemukan hangat kulitnya. Tapi untuk beberapa alasan aku menemukan diriku tidak dapat menyentuhnya. Aku bahkan tidak ingin mengganggunya lewat ucapan.
Untuk beberapa saat setelah aku membuka mataku keesokan harinya, ketika realitas belum raih, aku berbaring dengan selimut membungkus diriku, tanpa sadar menaksir kualitas sinar matahari musim dingin yang masuk ke dalam ruangan melewati tirai putih. Di tengah keniskalaan ini aku tak sengaja melirik jam dinding dan bangkit secepatnya saat aku sadar sudah pukul berapa, menerjang pintu sampai terbuka dan bergegas meninggalkan ruangan. Istriku sedang berada di depan lemari es.
“Kau gila? Kenapa kau tak membangunkanku? Jam berapa . . .”
Sesuatu tergencet di bawah kakiku, menghentikan kalimatku.
Aku tidak percaya pada apa yang kulihat.
Dia berjongkok, masih mengenakan pakaian tidurnya, rambutnya kusut acak-acakan, menghalangi wajahnya.
Di sekelilingnya, lantai dapur tertutup dengan kantong plastik dan wadah kedap udara, yang digelar di seluruh lantai sehingga tak ada tempat bagiku untuk bisa meletakkan kakiku tanpa menginjaknya. Daging sapi untuk shabu-shabu, perut babi, dua kerat daging sapi shin hitam, beberapa cumi-cumi dalam kantong kedap udara, irisan belut kiriman ibu mertuaku dari pedesaan yang sudah lama, ikan kering diikat dengan tali kuning, pangsit beku dalam kemasan yang belum dibuka dan berbundel-bundel barang tak dikenal dibongkar keluar dari dalam lemari es. Terdengar suara gemerisik; istriku sedang sibuk menempatkan beragam isi kulkas di sekelilingnya satu per satu ke dalam kantong sampah hitam. Akhirnya aku kehilangan kendali.
“Apa yang kau lakukan?” Aku berteriak.
Dia terus menempatkan paket daging ke dalam kantong sampah, yang tampaknya tidak sadar akan keberadaanku sama seperti kejadian tadi malam. Daging sapi dan babi, ayam potong, setidaknya 200.000-won senilai belut laut.
“Apakah kau sudah sinting? Kenapa kau membuang semua hal ini?”
Aku buru-buru menyambar kantong plastik dan meraih pergelangan tangannya, mencoba untuk merebut kantong itu dari cengkeramannya. Tertegun karena mendapati dia begitu keras menarik-narik kembali melawanku, aku hampir berhenti selama beberapa saat, tapi kemarahanku segera memberiku kekuatan untuk mengalahkan dia. Memijat pergelangan yang memerah, dia berbicara dalam nada tenang yang sama seperti suara yang dia gunakan sebelumnya.
“Aku mendapat sebuah mimpi.”
Kata-kata itu lagi. Ekspresi saat ia menatapku begitu kalem. Saat itu ponselku berdering.
“Sial!”
Aku mulai meraba-raba saku mantelku, yang telah kulemparkan ke sofa ruang tamu malam sebelumnya. Akhirnya, di dalam saku terakhir yang kuperiksa, jari-jariku merasakan telepon yang terus berdering itu.
“Maaf. Ada sesuatu yang terjadi, urusan keluarga yang mendesak, jadi. . . Saya sangat menyesal. Saya akan ke sana secepat mungkin. Tidak, saya akan pergi sekarang. Hanya saja . . . tidak, saya tidak mungkin membiarkan Anda yang melakukan itu. Harap tunggu sebentar lagi. Saya sangat menyesal. Ya, saya benar-benar tidak bisa bicara sekarang. . . “
Aku menutup teleponku dan berlari ke kamar mandi, di mana aku bercukur dengan tergesa sehingga melukai diriku.
“Apakah kau sudah menyetrika kemeja putihku?”
Tidak ada Jawaban. Aku memercikkan air pada diriku sendiri dan mengacak-acak keranjang cucian, mencari kemeja kemarin.
Untungnya tak terlalu berkerut. Tidak sekali pun istriku repot-repot untuk mengintip keluar dari dapur saat aku bersiap-siap, mengalungkan dasi ke leherku seperti syal, mengambil kaus kakiku, dan menyiapkan notebook dan dompetku bersama-sama. Dalam lima tahun kita menikah ini adalah pertama kalinya aku harus pergi bekerja tanpa dia menyodorkan bantuan buatku dan melihatku.
“Kau gila! Kau sudah benar-benar sinting.”
Aku memaksakan kakiku ke dalam sepatu yang baru saja kubeli, yang terlalu sempit dan tak nyaman menjepit, menerjang pintu depan dan berlari keluar. Aku memeriksa lift yang ternyata semua bergerak ke lantai atas, dan kemudian berlari menuruni tangga tiga lantai. Baru kali ini aku berhasil melompat ke kereta bawah tanah yang baru melaju meninggalkan aku sampai ada waktu untuk memeriksa penampilanku, tercermin dalam jendela kereta yang gelap. Aku menyisir rambut dengan jariku, membetulkan dasiku, dan berusaha merapikan lipatan di bajuku. Wajah tak wajar istriku yang tenang, suara tegas anehnya, muncul dalam pikiranku.
Aku mendapat sebuah mimpi—ia telah dua kali menyebut itu sekarang. Di luar jendela, di terowongan gelap, wajahnya melintas—wajahnya, namun asing, seolah-olah aku baru melihatnya untuk pertama kali. Namun, meski aku punya tiga puluh menit untuk menyusun alasan kepada klienku agar membenarkan keterlambatanku, serta menyusun draft proposal untuk pertemuan hari ini, tidak ada waktu untuk merenungkan perilaku aneh dari istri anehku.
Karena itu, aku mengatakan kepada diri sendiri bahwa entah bagaimana aku harus meninggalkan kantor lebih awal hari ini (apalagi dalam beberapa bulan sejak aku beralih ke posisi baru, aku belum pernah satu hari pun pulang sebelum tengah malam), dan menguatkan diri untuk berdebat.
Hutan gelap. Tidak ada orang. Daun runcing di pohon-pohon, kakiku yang robek terluka. Tempat ini, hampir ingat, tapi aku tersesat sekarang. Ketakutan. Dingin. Di seberang jurang beku, ada sebuah bangunan merah seperti gudang. Jerami anyaman terkepak-kepak di pintu. Membukanya dan aku ada di dalam, itu ada di dalam. Sebuah tongkat bambu panjang yang digantung dengan daging merah, darah masih menetes ke bawah. Mencoba untuk mendorong masa lalu tetapi daging, tidak ada akhir untuk daging, dan tidak ada jalan keluar. Darah di mulutku, pakaian berlumuran darah tersedot ke kulitku.
Entah bagaimana ada jalan keluar. Berlari, terus berlari melalui lembah, lalu tiba-tiba masuk ke hutan. Pepohonan berdaun lebat, cahaya pucat musim semi ini. Keluarga yang sedang piknik, anak-anak kecil berlarian, dan bau itu, bau yang lezat. Begitu nyata menyakitkan. Suara mengoceh, orang-orang menggelar tikar terburu-buru agar bisa segera duduk, memakan kimbap. Memanggang daging, suara nyanyian dan tawa bahagia.
Namun ketakutan. Pakaianku masih basah dengan darah. Sembunyi, sembunyi di balik pepohonan. Mendekam, jangan biarkan siapa pun melihat. Tanganku yang penuh darah. Mulutku yang penuh darah. Di gudang itu, apa yang telah kulakukan? Mendorong daging merah mentah ke dalam mulutku, merasa lumeran dalam gusiku, dalam langit-langit mulutku, licin dengan darah merah.
Mengunyah sesuatu yang terasa begitu nyata, tetapi tidak bisa, tidak bisa. Wajahku, sorot mataku. . . wajahku, tidak diragukan lagi, tetapi tidak pernah terlihat sebelumnya. Atau tidak, bukan milikku, tapi begitu lazim. . . ada yang masuk akal. Lazim dan tidak. . . begitu jelas, aneh, perasaan luar biasa yang mengerikan.
*
Di atas meja makan, istriku telah menata selada dan pasta kedelai, sup rumput laut polos tanpa daging sapi atau kerang, serta kimchi.
“Apa apaan ini? Jadi karena mimpi konyol itu, kau buang semua daging?”
Aku bangkit dari kursi dan membuka freezer. Di dalamnya hampir kosong—hanya ada bubuk miso, bubuk cabai, cabai segar beku, dan sebungkus bawang putih cincang.
“Tolong buatkan aku telur goreng. Aku benar-benar lelah hari ini. Aku bahkan tak makan siang.”
“Aku membuang telur.”
“Apa?”
“Dan aku juga membuang susu.”
“Ini tak bisa dipercaya. Kau menyuruhku untuk tidak makan daging juga?”
“Aku tidak bisa membiarkan daging-daging itu ada di kulkas. Ini tidak benar.”
Bagaimana bisa dia begitu egois? Aku menatap matanya yang tertunduk, ekspresi dirinya begitu dingin. Gagasan bahwa ada sisi lain dalam dirinya, sisi egois dia yang sesuka hati, itu sangat menakjubkan. Siapa sangka dia bisa begitu tak masuk akal?
“Jadi kau mengatakan bahwa mulai sekarang, tidak akan ada lagi daging di rumah ini?”
“Nah, kau biasanya hanya makan sarapan di rumah. Dan aku pikir kau sering makan siang dan makan malam dengan daging, jadi. . . kau tak akan mati jika kau tak makan daging hanya untuk sekali saja.”
Jawabannya sangat metodis, seolah-olah dia berpikir bahwa keputusan konyolnya ini adalah sesuatu yang sangat rasional dan tepat.
“Oh baik, aku paham. Dan bagaimana denganmu? Kau menegaskan bahwa kau enggak akan makan daging sama sekali dari sekarang?”
Dia mengangguk.
“Oh benarkah? Sampai kapan?”
“Aku pikir . . . untuk selamanya.”
Aku kehilangan kata-kata, meskipun pada saat yang sama aku menyadari bahwa memilih menjadi vegetarian bukan sesuatu yang aneh karena sudah ada sejak zaman dulu. Orang beralih menjadi vegetarian untuk segala macam alasan: untuk mencoba dan mengubah kecenderungan genetik mereka karena alergi tertentu, misalnya, atau yang lain karena mereka memandang lebih ramah lingkungan untuk tidak makan daging. Tentu saja, pendeta Buddha yang telah mengambil sumpah tertentu secara moral berkewajiban untuk tidak berpartisipasi dalam kehancuran hidup, tapi yang pasti tidak mungkin seorang gadis muda akan sama berlaku seperti itu. Sejauh yang kutahu, satu-satunya alasan yang masuk akal mengapa seseorang mengubah kebiasaan makan adalah keinginan untuk menurunkan berat badan, upaya untuk meringankan penyakit fisik tertentu, dirasuki oleh roh jahat, atau setelah tidurmu terganggu oleh gangguan pencernaan. Dalam kasus lain, itu hanyalah sikap keras kepala belaka seorang istri untuk melawan keinginan suaminya seperti yang pernah terjadi padaku.
Jika kau mengatakan bahwa istriku selalu agak mual oleh daging, maka aku bisa memahaminya, namun pada kenyataannya justru sebaliknya—sejak kami menikah dia telah membuktikan dirinya seorang juru masak yang kompeten, dan aku selalu terkesan dengan caranya menyajikan masakan. Penjepit di satu tangan dan gunting besar di tangan yang lain, dia membalik daging iga yang mendesis dalam wajan sementara memotongnya menjadi potongan-potongan seukuran gigitan, gerakannya cekatan dan terlatih. Keharuman, lelehan perut babi gorengnya tercipta lewat pengasinan daging dalam sirup jahe cincang dan pati ketan. Hidangan andalannya adalah daging sapi setebal irisan kue wafer dengan bumbu lada hitam dan minyak wijen, kemudian dilapisi dengan tepung beras ketan yang sama kau lakukan ketika membuat kue beras, dan dicelupkan ke dalam kaldu shabu-shabu. Dia membuat bibimbap dengan toge, daging sapi cincang, dan tumis beras yang direndam minyak wijen panas. Pernah juga membuat sup kental ayam dan bebek dengan potongan besar kentang, dan kaldu pedas dalam campuran kerang dan remis lembut, yang membuatku bahagia karena bisa menghabiskan tiga porsi dalam sekali duduk.
Apa yang disajikan padaku sekarang adalah masakan yang harus dimaafkan. Kursinya ditarik kembali ke sudut, istriku menyendok sup rumput laut, yang jelas hanya akan terasa air dan tidak ada yang lain. Dia meletakan nasi dan pasta kedelai pada daun selada, kemudian membundelnya dan memasukan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya perlahan.
Aku tidak bisa mengerti dirinya. Untuk kemudian aku menyadari: Aku benar-benar tidak memiliki petunjuk soal wanita ini.
“Tidak makan?” Tanyanya dalam pikiran kosong, seperti seorang wanita setengah baya yang menanyai anaknya.
Aku duduk dalam diam, tetap tak tertarik pada hidangan ini, hanya mengunyah kimchi dalam beberapa waktu yang lama.
Musim semi datang, dan istriku masih belum menyerah. Dia memegang kata-katanya—aku tak pernah melihat sekerat daging pun melewati bibirnya—tapi aku sudah lama berhenti mengeluh.
Ketika seseorang melakukan perubahan drastis, tak ada hal lain yang dapat dilakukan kecuali duduk dan membiarkan mereka melanjutkannya.
Dia jadi lebih kurus dari hari ke hari, begitu tirus sehingga tulang pipinya benar-benar kelihatan menonjol. Tanpa riasan diri, kulitnya menyerupai seorang pasien rumah sakit.
Jika kasusnya hanya karena seorang wanita tak makan daging untuk menurunkan berat badan maka tidak perlu khawatir, tapi aku yakin bahwa ini tak sesederhana vegetarian biasa. Tidak, ini soal mimpi yang telah dia sebutkan; yang pasti ini alasan utamanya. Meskipun, pada kenyataannya, dia juga praktis berhenti tidur.
Tidak ada yang bisa menggambarkan istriku sebagai seorang yang penuh perhatian—seringnya ketika aku pulang telat aku menemukan bahwa dia sudah tertidur. Tapi sekarang saat aku pulang tengah malam, dan bahkan setelah aku mandi, mengatur tempat tidur, dan berbaring untuk tidur, dia masih tidak akan datang untuk bergabung denganku di ruang tengah. Dia tidak sedang membaca buku, mengobrol di internet, atau menonton TV kabel dini hari. Satu-satunya hal yang dapat kupikirkan adalah bahwa ia bekerja mengisi balon percakapan manhwa, tapi tentunya tidak ada kegiatan apa pun yang bakal begitu banyak menyita waktu.
Dia tidak datang ke tempat tidur sampai sekitar pukul lima pagi, dan bahkan kemudian aku tidak bisa mengatakan dengan pasti apakah dia benar-benar menghabiskan satu jam berikutnya dengan tidur atau tidak. Wajahnya kuyu dan rambutnya kusut, dia akan mengamatiku dari seberang meja sarapan lewat mata menyipit merahnya. Dia tidak terlihat mengangkat sendok, tidak pernah peduli apakah benar-benar makan atau tidak.
Tapi yang lebih menggangguku adalah bahwa dia sekarang tampak menghindari seks. Dulu, ia umumnya bersedia mematuhi tuntutan fisikku, dan bahkan beberapa waktu justru ia yang membuat langkah pertama. Tapi sekarang, meskipun dia tidak meributkan hal itu, jika tanganku hendak membelai bahunya dia akan menghindar dengan tenangnya. Suatu hari aku memilih untuk mendiskusikan hal ini.
“Ada masalah apa, sebenarnya?”
“Aku lelah.”
“Kalau begitu, itu berarti kau perlu makan daging. Itu sebabnya kau tidak memiliki energi lagi, kan? Kau tidak harus sampai seperti ini.”
“Sebenarnya. . . “
“Apa?”
“. . . itu soal bau.”
“Bau?”
“Bau daging. Tubuhmu bau daging.”
Ini terlalu konyol.
“Apa kau tidak melihat kalau aku sudah mandi? Jadi, dari mana bau ini berasal, hah?”
“Dari tempat yang sama keringatmu keluar,” jawabnya, benar-benar sungguh-sungguh.
Sekarang dan selanjutnya, semua ini menurutku bukan lagi konyol tapi sudah sangat tidak menyenangkan. Bagaimana jika, secara kebetulan, ini gejala tahap awal kegilaan? Jika ada tanda-tanda histeria, delusi, saraf lemah dan sebagainya, yang kupikir bisa kudeteksi, akankah berakhir mengarah ke sesuatu yang lebih buruk?
Semua sama, aku merasa sulit untuk percaya bahwa ia mungkin benar-benar akan kembali seperti semula. Biasanya memang dia seorang pendiam, namun tetap menjaga rumah agar selalu teratur. Pada akhir pekan dia menyiapkan hidangan sayuran bagi kami untuk makan selama seminggu, dan bahkan membuat tumis soun dengan jamur bukannya daging biasa. Itu semua tidak begitu aneh jika kau memperhitungkan ketika akan mengadopsi gaya hidup vegetarian. Namun ketika ia tidak bisa tidur, ketika cekungan di wajahnya yang bahkan terlihat lebih jelas daripada biasanya, seolah-olah dia telah mengempis, dan di pagi hari aku akan bertanya ada masalah apa untuk kemudian hanya mendengar jawaban “Aku bermimpi.” Aku tidak pernah bertanya soal mimpi itu. Aku hanya perlu mendengarkan sekali soal omongan gila tentang gudang di hutan gelap, wajah tercermin dalam genangan darah dan semua kisah sisanya, dan sekali sudah lebih dari cukup.
Semua karena mimpi menyakitkan ini, saat itulah aku memilih berdiam diri, tidak punya cara untuk mengetahui dan terlebih lagi tidak mau tahu, dia terus merana. Pada awalnya ia menjadi makin kurus sampai mirip lekukan tubuh seorang penari, dan aku berharap hanya sampai di situ saja, tapi sekarang tubuhnya menyerupai tidak lebih dari bingkai kerangka penyandang cacat.
Setiap kali aku menemukan diriku bermasalah dengan pikiran-pikiran seperti itu, aku mencoba meyakinkan diri dengan mengingat-ingat keluarganya. Ayahnya bekerja di penggergajian di sebuah kota kecil, dan ibunya mengelola sebuah toko kecil, sementara kakak ipar dan suaminya, keduanya orang-orang biasa, dan cukup terpandang—jadi, setidaknya, tidak akan ada kelainan mental yang bersembunyi di garis keturunan istriku.
Aku tidak bisa memikirkan keluarganya tanpa juga mengingat bau daging mendesis dan bawang putih yang terbakar, suara gelas berdenting dan percakapan bising wanita yang berasal dari dapur. Mereka semua—terutama ayah mertuaku—menikmati yuk hwe, semacam daging sapi tartar. Aku pernah melihat ibu mertuaku mengeluarkan isi perut ikan hidup, dan istriku dan adiknya berdua benar-benar kompeten ketika mencincang ayam potong dengan pisau tukang daging. Aku selalu menyukai vitalitas bersahaja istriku, cara dia menangkap kecoa hanya dengan memukul dengan telapak tangannya. Dia benar-benar wanita paling biasa di dunia.
Bahkan mendapati kondisi labilnya, aku tidak membuat pertimbangan untuk membawanya melakukan konsultasi medis, apalagi menjalani pengobatan. Tidak ada yang salah dengan dia, aku berkata pada diriku sendiri, hal semacam ini bahkan bukan penyakit nyata. Aku menolak godaan untuk ikut terlibat dalam masalahnya.
Situasi aneh ini tidak ada hubungannya denganku.
Terjemahan secuil novel The Vegetarian yang memenangkan Man Booker International Prize 2016. Premis ceritanya Kafkaesque banget: Yeong-hye terbangun dari mimpi buruk dan memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian, satu keluarga pun menjadi kacau-balau.
Han Kang (27 November 1970) merupakan penulis perempuan asal Korea Selatan kelahiran Gwangju. Mempelajari Sastra Korea di Universitas Yonsei, dan sekarang menjadi pengajar kelas penulisan kreatif di Seoul Institute of the Arts.
Ceritanya baguuuus… Gw jadi penasaran baca nominator lainnya deh. Huehehehe…
Salah satunya Eka Kurniawan, dua lainnya penulis yg udah dapet hadiah nobel.
Nah itu. Gw penasaran sama bukunya Eka. Baru baca yang cantik itu luka.
Semoga ada cerpen cerpen terjemahan lainnya,,, ditunggu 😀
Saya setuju nih sama yg komen paling atas. Ceritanya bagus, dan penasaran sama karya2 nomintaor yg lain.
Ngga ada niatan buat terjemahin karya Orhan Pamuk nih?? Hoehehe..
Keren keren
Ga pernah nyangka istrinya jd vegetarian sampe segitunya. Kasian juga..
Jadi ini teh cuma cuplikan dari novelnya? Aduh gimana novelnya dan kelanjutannya ya? Keren abis ini cerita.. penasaran sekali saya.