Terlepas dari popularitas global video game buatan Jepang, sebagian besarnya secara tradisional awalnya dibuat dan terutama bagi konsumen domestik mereka. Akibatnya, mungkin ada yang pernah kebingungan oleh gim semacam Mystical Ninja Starring Goemon saat masih kecil dulu.
Saat kita bermain gim Jepang, kita mendapatkan pengalaman yang khas budaya ini. Beberapa motif tematik dan visual yang mungkin kita lihat di permainan Jepang yang kamu mainkan saat tumbuh dewasa, atau yang kita mainkan hari ini, dapat mengajarkan kita sesuatu tentang Jepang.
Di bawah ini adalah contoh terkecil dari hal-hal yang dapat diungkapkan oleh video game Jepang tentang budaya yang menghasilkannya.
Shinto dan Cerita Rakyat
Agama etnis Jepang Shinto sebagian besar tak terputus selama ribuan tahun, dan dengan demikian tetap menjadi inti dari budaya Jepang dan sejarahnya. Secara alami, ini memanifestasikan dirinya dalam budaya pop Jepang modern, termasuk video game.
Dalam video game berlatar di Jepang kuno seperti Nioh atau Okami, kita akan menemukan diri kita bertarung bersama sekutu dan melawan musuh secara langsung berdasarkan pada tokoh dan dewa mitos.
Okami menyuruh kita bermain sebagai dewi matahari Amaterasu dalam bentuk serigala yang menggunakan pedang. Karya Hideki Kamiya ini menafsirkan beberapa mitologi Jepang dengan nada mesum yang menghibur.
Seperti pendekar pedang legendaris Susano bereinkarnasi sebagai pemabuk tolol hingga Issun yang cabul, yang diambil dari kisah terkenal tentang samurai satu inci, Isshun-boshi.
Serial asli Shin Megami Tensei mengambil inspirasi dari mitos di seluruh dunia, tetapi Persona 4 mengakarkan persona karakter utamanya berdasarkan dewa dan pahlawan Shinto.
Baca juga: Dua Dekade Persona
Protagonis di Persona 4 memiliki persona utama Izanagi, yang merupakan tokoh dalam mitos penciptaan Jepang. Sedangkan saudara perempuannya yang kemudian jadi istrinya, Izanami, secara kebetulan menjadi bos terakhir dalam permainan ini.
Tidak mengherankan kalau pengaruh Shinto juga hadir di game Nintendo, meskipun kadang-kadang dalam bentuk yang paling tidak disangka-sangka.
Kita akan sulit sekali berpikir kalau Star Fox ada hubungannya dengan mitos Jepang sampai kamu menyadari bahwa Kyoto juga merupakan rumah bagi Fushimi Inari-taisha, kuil utama bagi Inari, roh rubah Jepang, dan 10.000 gerbang Torii digambarkan dari bangunan melengkung yang kamu lewati di Corneria.
Bahkan The Legend of Zelda, sebuah permainan yang lebih sering dikaitkan dengan fantasi tinggi Barat, memiliki berbagai referensi Shinto.
Terlihat jelas di Breath of the Wild, ketika kamu tidak hanya menemukan deretan patung-patung berhala tempat kamu dapat menawarkan buah, pemandangan umum di Jepang, tetapi biasanya akan menemukan Korok yang bersembunyi di sana.
Korok ini tidak diragukan lagi terinspirasi oleh Kodama, atau arwah hutan, dalam cerita rakyat Jepang, yang secara kebetulan juga muncul di Nioh – dan juga merupakan pengaruh di belakang Kokiri di gim Zelda sebelumnya.
Maskot, Robot, dan Animisme dalam Video Game Jepang
Dengan beberapa ekstensi, keunggulan berhala dalam budaya Jepang juga dapat menjelaskan popularitas maskot, yang ada di hampir semua aspek kehidupan Jepang, dari kantor pos hingga militer (maksudnya, ‘Pasukan Bela Diri’) hingga olahraga dan toko kelontong.
Jika kamu memainkan JRPG, kamu hampir selalu memiliki semacam teman imut dalam perjalanan, dari Moogles di Final Fantasy sampai Morgana di Persona 5.
Demikian pula, robot diterima dengan tangan terbuka di masyarakat Jepang. Salah satu jagoan manga awal adalah Astro Boy, sebuah android yang bekerja untuk kebaikan manusia.
Sekali lagi, Shinto dan kepercayaan animisme – gagasan bahwa semua objek memiliki arwah, termasuk benda mati buatan manusia – adalah teori populer mengapa ini terjadi, dan penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana hanya Jepang yang dapat membuat idola virtual seperti Hatsune Miku, yang punya daya hidup dari campuran perangkat lunak musik yang cerdas.
Ini sangat berbeda dengan ketakutan Barat, yang paling dicontohkan oleh visi apokaliptik Terminator, ada lebih banyak kemauan untuk mengeksplorasi kemungkinan kemanusiaan robot.
Ia menjadi titik fokus dalam permainan seperti Persona 3, robot Aigis bahkan menjadi pusat perhatian dalam perpanjangan epilog ‘The Answer’, sampai gim Nier: Automata.
Secara kebetulan, saya belajar sesuatu yang sangat menarik tentang penampilan robot Jepang di kuis kelas di Persona 5 tentang Rasio Perak. Yang tidak seperti Rasio Emas yang lebih dikenal, dianggap proporsi paling indah di Jepang dalam arsitektur dan seni. Jika kamu benar-benar ingin tahu tentang hal-hal sepele Jepang, perhatikan kelas-kelas di Persona.
Sebagai catatan tambahan, guru berkomentar bahwa rasio ini juga digunakan untuk membuat maskot terlihat imut dengan wajah chibi bundar besar mereka, seperti Morgana misalnya.
Namun sekarang setelah kamu memikirkannya, pasti itulah yang membuat maskot paling terkenal dari semuanya, Super Mario, tukang ledeng Italia yang gemuk, ciptaan khas Jepang, bukan? Lihat saja wajahnya, atau bahkan hidungnya.
Ritual dalam Video Game Jepang
Shinto sangat fokus pada praktik ritual, dan Jepang pada gilirannya adalah masyarakat ritualistik, bahkan dalam hal-hal paling sederhana seperti salam membungkuk atau frasa yang digunakan untuk menyambut atau berbicara dengan pelanggan di toko atau restoran.
Ritualisme ini hadir dalam seni yang telah hilang dari cara save manual game, tetapi juga ada dalam isyarat audio dan animasi.
Alasan JRPG memasukkan selingan musik yang sama ketika kamu bermalam di penginapan, atau di Shenmue ketika Ryo tidur.
Di Monster Hunter, kita makan untuk berburu, tetapi ada sekuens animasi kecil saat kucing memasak dan kemudian saat kita menikmatinya.
Perbedaan Selera Gamer Jepang dan Barat
Ada beberapa perbedaan umum antara selera pemain Jepang dan Barat yang terkadang terasa jomplang dalam beberapa tahun terakhir.
Final Fantasy XIII yang linear diterima dengan baik di Jepang tapi tidak di Barat, sutradara Motomu Toriyama bahkan menyalahkan skor ulasan yang rendah karena para pengulas mengambil ‘sudut pandang Barat’.
Sebaliknya, Minecraft, yang menawarkan tingkat kebebasan yang menakutkan, memiliki dampak seismik yang lebih kecil di Jepang; Dragon Quest Builders menerapkan konsep Jepang dengan tidak hanya membungkus premis di salah satu waralaba terbesar di negara itu, tetapi juga memasukkan struktur berbasis cerita dan pencarian yang mirip dengan RPG tradisional.
Wawancara Glixel dengan Jordan Amaro, salah satu dari hanya dua pengembang non-Jepang di Nintendo, menyentuh gagasan bahwa segala sesuatu di Jepang “dibuat khusus”, terutama dalam kasus Splatoon dan keterbatasannya dengan rotasi peta dan mode:
“’Saya membeli game ini. Mengapa saya tidak bisa menikmati permainan ini seperti yang saya inginkan?’ Bukan itu yang kami pikirkan di sini. Ya, Anda memang membeli gamenya. Tapi kami yang membuat game ini. Dan kami cukup yakin tentang bagaimana permainan ini harus dinikmati.”
Memahami dan menghormati jadwal juga penting dalam permainan seperti Animal Crossing, ketika toko-toko hanya buka pada waktu tertentu sesuai dengan jam dunia nyata – meskipun setidaknya dengan New Leaf, pemain memiliki waktu luang untuk mengubah waktu buka agar lebih sesuai dengan jadwal pribadi mereka.
Sementara itu, gim Persona dari 3 hingga 5 adalah tentang memberimu banyak kegiatan, tetapi dengan waktu yang terbatas setiap hari untuk melakukannya.
Area lain ketika selera dan sikap budaya yang berbeda, tentu saja, soal representasi perempuan. Jenis-jenis permainan Jepang tertentu tidak pernah gagal menemukan cara untuk melakukan pelecehan terhadap karakter perempuan.
Siapa yang akan menduga melawan robot pembunuh di daerah pasca-apokaliptik Nier: Automata memiliki begitu banyak waktu untuk meningkatkan peluang mengintip celana dalam karakternya?
Bahkan penggemar Yakuza yang paling bersemangat pun akan kesulitan memaafkan beberapa aktivitas sampingan di Kamurocho sebagai bagian dari kenyelenehan seri ini, ambil contoh Battle Bug Beauties.
Jepang emang unik, gabungan tradisi yang terjaga dengan teknologi yang sangat maju.
Iya, justru ga perlu takut kecanggihan teknologi bakal ngorbanin budaya.
Yg paling tampak penggambarannya di anime atau video game itu meski latarnya masa depan tapi tetap ada pedang katana, juga simbol2 tradisi Jepang lain.
[…] Baca juga: Yang Video Game Jepang Ajarkan Tentang Budaya Jepang […]
[…] Baca juga: Yang Video Game Jepang Ajarkan Tentang Budaya Jepang […]