Wagner, Inses, dan Game of Thrones

ross-incest-wagner-got

Saat Arthur Schopenhauer membaca libretto “Die Walküre,” sekuel kedua dari “Ring”-nya Wagner, dia mendapati dirinya tidak nyaman dengan adegan dalam Babak I, di mana saudara kembar Siegmund dan Sieglinde, anak-anak dewa Wotan yang terpisah, saling jatuh cinta. “Kamu mempelai dan saudari dari saudaramu,” seru Siegmund. Musik yang mengalun secara ekstatis di bar-bar penutup menunjukkan bahwa pengakhiran sudah dekat, dengan sang pahlawan Siegfried sebagai yang ditakdirkannya. Di sebelah arahan adegan di akhir—”Tirai jatuh dengan cepat”—Schopenhauer secara sarkastik menulis, “Denn es ist hohe Zeit“—”Karena memang sudah saatnya.”

Narasi mistik dan fantasi secara mencolok selalu tertarik pada tema inses. “Game of Thrones,” seri HBO yang ditonton oleh separuh planet ini, adalah contoh kasusnya. Tidak hanya menampilkan hubungan sedarah, antara Cersei Lannister dan saudara kembarnya Jaime, tapi juga hubungan antara Daenerys sang mamah naga dan si jagoan bandel Jon Snow, yang tanpa sepengetahuan mereka, adalah bibi dan keponakan. Hubungan terakhir ini cocok dengan romansa yang bikin alis terangkat lainnya dalam “Ring”—cinta Siegfried dan Brünnhilde. Siegfried adalah cucu Wotan; Brünnhilde adalah putri dari Valkyrie. Belum jelas apakah George R. R. Martin, pencipta “Game of Thrones,” memiliki kecenderungan Wagnerian, namun perkembangan kesamaan elemen pada “Ring”—naga, kurcaci, burung gagak, pedang ajaib, peralihan wujud—memberi kesan, seperti yang sebelumnya pada J. R. R. Tolkien, dia mungkin berutang pada kisah penyihir Bayreuth.

Sekumpulan pemikir tangguh telah membahas cerita inses dalam literatur kuno dan modern. Sigmund Freud, Carl Jung, Claude Lévi-Strauss, dan Jacques Lacan semua meneliti pelanggaran utama Oedipus dan Jocasta, menghubungkannya dengan munculnya tabu inses dan peraturan dalam bermasyarakat. Lévi-Strauss, yang menganggap Wagner sebagai “pencetus analisis struktural mitos,” melebarkan penyelidikannya untuk memasukkan inses yang ada dalam “Ring”: nasib para dewa dan keturunan mereka terkait dengan negosiasi mendasar antara alam dan budaya, transisi dari tribalisme primitif menuju sebuah tatanan beradab. Lévi-Strauss mungkin bakal berminat pada “Game of Thrones.” Jika analogi “Ring” itu dipertahankan, tidak satu pun dari empat karakter utama yang terlibat dalam hubungan seks intrafamili kemungkinan akan mengatasi kontradiksi sosial Westeros yang inheren. Kurcaci kurus, bagaimanapun, memiliki cara untuk bertahan dari malapetaka.

“Ring” lebih dari sekedar mitos yang didesain ulang; Sejak awal, Wagner menginginkan serangan alegoris pada masyarakat kapitalis modern. Oleh karenanya, hubungan tabu mengasumsikan karakter yang berbeda: mereka menyuarakan pembangkangan pembatasan kaum borjuis terhadap seksualitas. Dalam adegan penting dalam Babak II “Die Walküre,” Wotan memperdebatkan kebiasaan merubah adat istiadat dengan istrinya, Fricka. Dewa itu mencoba menciptakan jagoan yang bertindak bebas yang bisa memenangkan Cincin itu kembali dari naga Fafner tanpa melanggar peraturan-peraturan yang dibuat sebelumnya. Fricka berpendapat bahwa perkawinan si kembar memperlihatkan akibat korup dari rencana tadi. Wotan menjawab: “Aturan kolot / adalah semua yang dapat kamu pahami.” Dia tidak diragukan lagi berbicara untuk penyusunnya, yang punya skandal, yang gandrung pada kain satin, dan menyambut lelaki gay ke dalam lingkarannya. Pembelaan Wotan terhadap cinta yang memberontak dalam menghadapi moralitas yang dingin bergaung dengan pendengar yang harus menekan dorongan alami mereka dan menyesuaikan diri dengan norma, seringkali dengan cara memalsukan perkawinan. Para pegiat awal dalam hak gay menganggap Wagner sebagai sekutu, jika bukan salah satu dari mereka sendiri.

Cinta Brünnhilde dan Siegfried membawa pesan yang sangat kuat. Sementara pasangannya pasti memiliki kekhasannya—Lévi-Strauss mengatakan bahwa Brünnhilde adalah “mama super” bagi Siegfried, yang melindunginya sejak lahir—kedalaman perasaannya berbeda dengan kontrak pernikahan yang diperhitungkan dalam “Götterdämmerung,” di mana Brünnhilde menjadi seorang objek pertukaran. Wagner bukanlah seorang feminis, namun ia memiliki banyak penggemar feminis, yang mendapat inspirasi dari karakter wanita yang tidak dapat dikendalikan seperti Brünnhilde, Isolde, dan Kundry, dalam “Parsifal.” Penyanyi soprano Wagner di perpindahan abad bernama Lillian Nordica, seorang pengkampanye untuk hak perempuan, pernah mengatakan bahwa dunia panggung adalah “satu-satunya tempat di mana pria dan wanita berdiri dalam persamaan sempurna di mana ada persahabatan sejati.” Di akhir “Ring,” Brünnhilde menyelesaikan sesuatu yang lebih besar: saat ia membuat Valhalla terbakar, dia adalah agen utama transformasi dunia.

Pada saat yang sama, fiksasi Wagner tentang inses dianggap sebagai gejala dekadensinya. Dalam novel 1884 karya Eclémir Bourges, “The Twilight of the Gods,” sebuah keluarga bangsawan sedang dalam kemunduran, dan satu tanda degenerasinya adalah gabungan dua saudara tiri, Hans Ulric dan Christiane. Penyanyi soprano Wagnerian yang licik telah menjadi nyonya ayah mereka, dan menyusun sebuah rencana untuk menghancurkan anak-anak, yang menghalangi jalannya. Dia mengusulkan pertunjukan amatir “Die Walküre,” bersama Hans Ulric dan Christiane yang bermain sebagai si kembar. Mereka tidak dapat menahan keinginan untuk tetap dalam karakter tersebut, dengan hasil yang mengerikan: seseorang menembak dirinya sendiri, yang lain masuk biara. Thomas Mann mengambil tema yang sama dalam kisahnya yang terkenal “Blood of the Walsungs,” dari tahun 1905, yang menggambarkan pasangan Yahudi kaya yang begitu tergila-gila dengan Wagner sehingga mereka menamai anak kembar mereka Siegmund dan Sieglind. Setelah pertunjukan “Walküre,” si kembar memanjakan diri dalam tindakan “esek-esek” di karpet kulit binatang. Cerita tersebut menyebabkan skandal karena Mann telah menikahi keluarga Pringsheim, yang secara tidak jelas menyerupai karakter fiksi Aiganhold. Katia, istri Mann, punya saudara kembar bernama Klaus, yang kepadanya Mann juga merasakan ketertarikan.

Semua ini menyoroti aspek narasi inses yang paling meresahkan, yang merupakan daya tarik mereka terhadap sudut gelap fantasi seksual. Bila fantasi semacam itu masuk ke kehidupan nyata, hal itu sering terjadi dalam konteks pelecehan psikologis dan fisik. (Catatan harian Mann menunjukkan bahwa dia menatap dengan kerinduan pada anak laki-lakinya Klaus yang berusia remaja.) Sensualitas musik Wagner yang terengah-engah dalam lagu “Die Walküre” mendorong tindakan tersebut ke zona yang tidak jelas antara mitologi dan pornografi. Ada gejala “Game of Thrones” terancam karena dimensi simbolisnya terhapus sama sekali; Tidak ada jatuhnya tirai. Bagaimanapun, ini berarti bahwa Cersei dan Jaime tampaknya bertindak tanpa pamrih, seolah-olah semua penghalang lainnya telah ditutup.

Baik “Ring” dan “Game of Thrones” pada akhirnya bukan soal seks tapi kekuasan. Memang, pada Wagner, kekuatan tertinggi didapat hanya melalui penolakan cinta. Hal yang penting tentang “Ring” adalah bahwa ia tidak memiliki penjahat betulan, terlepas dari konspirasi kotor Alberich dan putranya Hagen. Kekuatan itu sendiri, yang menjelma dalam Cincin, adalah musuh. “Lord of the Rings” dan “Game of Thrones,” dua saga Wagnerian kekinian, tidak menawarkan yang sangat radikal: Sebaliknya, kejahatan dialihkan dalam entitas supranatural, Sauron dan Night King. Fantasi seorang musuh bebuyutan yang berdiri di luar faksi-faksi yang berperang dalam masyarakat adalah kelompok yang regresif. Jika, sebanyak yang disarankan, invasi zombie beku dalam “Game of Thrones” menyinggung ancaman perubahan iklim global, harus ada beberapa keterkaitan bahwa umat manusialah yang bertanggung jawab atas krisis tersebut. Sejauh ini, belum jelas. “Ring,” dalam bagiannya, tidak membiarkan satu pun lolos untuk disalahkan pada malapetaka yang bersifat ekologis, seperti produksi 1976 yang luar biasa oleh Patrice Chéreau di Bayreuth benar-benar membuat jelas. “Aku merindukan hatiku untuk mendapatkan kekuatan,” kata Wotan dalam monolog Babak II yang memikat dirinya sendiri. “Aku bertindak tidak adil.” Dia menghadapi Ohnmacht, ketakberdayaan. Pada akhirnya, Brünnhilde mengisyaratkan, dia telah menemukan kedamaian.

Dahulu kala, pada tahun-tahun sekitar 1900, “Ring” bukan hanya merupakan mahakarya sejarah dunia Shakespearean namun juga epik pedang dan sihir, yang menghasilkan banyak imajinasi remaja. Sebuah rak menarik dari koleksi perpustakaan Wagner yang nyaris tak terbatas diisi oleh apa yang bisa disebut buku Wagner dewasa muda, di mana para penulis mencoba untuk membawa opera sesuai dengan adat istiadat Victoria. “Wagner Opera Stories” dari Grace Edson Barber meloncati keseluruhan babak pertama “Die Walküre”, hanya mengatakan bahwa Brünnhilde telah membela “teman pemberani” yang tidak disebutkan namanya yang “tidak tunduk terhadap segala aturan.” Anna Alice Chapin dalam “The Story of the Rheingold” dengan cekatan mengaitkan ikatan si kembar dengan mengklaim bahwa “mereka saling mencintai layaknya mereka benar-benar saudara laki-laki dan perempuan.” Segera, penggemar muda Wagner menemukan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Pelajaran mitos yang paling utama adalah bahwa maknanya tidak dapat dikendalikan: Nazi membuktikannya dengan mengurangi narasi filosofis Wagner yang rumit terhadap kultus kedewasaan bangsa Arya. Semakin manjur mitos, semakin rapuh alegori.

*

Diterjemahkan dari artikel The New Yorker berjudul Wagner, Incest, and Game of Thrones.

Alex Ross adalah seorang kritikus musik Amerika, menulis di The New Yorker sejak 1993, dan menjadi staf pada 1996. Dia juga menulis di New Republic, Slate, dan media lainnya. Buku karyanya: The Rest Is Noise: Listening to the Twentieth Century (2007) dan Listen to This (2011).

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1825

5 Comments

    • Selain Sangkuriang, ada juga kisah Prabu Watugunung. Kalau Sangkuriang mah ga sampe kawin, maka raja di Gilingwesi itu sampe punya 28 anak dengan ibunya.
      Mungkin ada lagi kisah inses lain di nusantara, tapi belum tau juga.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *