Ketika datang kemalangan disebabkan oleh keadaan di luar kendali kita, apakah itu dari hubungan dengan orang lain, dalam ikatan romantis, misalnya, atau entah apa, kita sering dinasihati untuk “memaafkan.”
Sebagai kata kerja, memaafkan telah jadi konsep yang terlalu cair, kelewat banal, dan kebanyakan jadi sebatas jargon. Padahal, ia melibatkan beberapa komponen utama yang membentuk citra diri kita, seperti tanggung jawab, karakter, dan moralitas. Maka, ketika kita diberi wejangan untuk memaafkan berarti kita disuruh bertindak dengan cara tertentu, seolah-olah, dalam melakukan hal itu, kita tidak hanya memerdekakan orang yang bersalah dalam hidup kita, tetapi juga diri kita sendiri.
Lewat beragam nasehat bijak populer, yang sering diulang-ulang dalam self-help, kita diberi tahu kalau memaafkan kesalahan bahkan pengkhianatan apa pun yang pernah kita alami punya semacam jaminan untuk membebaskan kita dari masa lalu, dari rasa sakit kita, dan dari kenangan apa pun yang mengganggu kita. Namun, ketika kita menemukan diri terjun bebas ke jurang emosi dan dibuat menderita yang berasal dari siapa pun atau apa pun yang mengkhianati kita, percaya bahwa satu-satunya penyelesaian yang mungkin adalah dengan memaafkan justru membuka jalan yang berbahaya: Jika kita merasa kita tidak dapat memaafkan sepenuh hati, kita makin dibebani rasa bersalah dan malu, merasa salah karena tidak tahu bagaimana caranya untuk memaafkan, yang akhirnya malah makin membuat kita putus asa.
Tampaknya, dalam beberapa situasi, kita tidak perlu memaafkan, terutama karena memaafkan adalah fenomena psikologis yang kompleks, yang melibatkan faktor situasional dan individual.
Dari sudut pandang yang kurang deterministik, memaafkan sangat situasional. Contoh terbaik dari hal ini adalah betapa lebih mudahnya memaafkan ketika orang yang bersalah betul-betul menunjukkan penyesalannya. Alasannya, mungkin bersifat evolusioner: Penyesalan menunjukkan bahwa seseorang mengakui kesalahannya. Pengakuan itu sendiri hanyalah bukti keselamatan: Dengan mengenali secara sadar tindakan menyakitkan, dan meminta maaf karenanya, orang yang bersalah mengakui peran dan tanggung jawabnya yang telah menyakiti orang lain.
“Maafkanlah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang telah mereka lakukan,” adalah kata-kata yang konon diucapkan oleh Yesus sebelum penyaliban. Contoh welas asih ini menunjukkan bahwa pengampunan dimungkinkan melalui empati, menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mengetahui konsekuensi dari tindakan mereka, atau rasa sakit yang diakibatkan, pengampunan diperlukan.
Bagi banyak orang, mungkin sulit untuk mengenali bahwa seseorang yang dekat dengan kita bisa saja bertindak jahat terhadap kita, menikmati rasa sakit kita, dan terus menyakiti meskipun tidak mendapatkan apa pun selain kepuasan diri. “Saya tahu saya harus memaafkan …” atau “Saya tidak tahu bagaimana saya bisa memaafkan,” menjadi semacam apologi bahwa memaafkan justru membebani, padahal orang-orang toxic tak seharusnya dimaafkan. Kata-kata tadi sangat kuat karena di dalamnya terdapat konsep yang menyerang kehendak individu yang terluka, termasuk konsep-dirinya, harga diri, dan pemahaman tentang dunia, orang-orang, bahkan, diri mereka sendiri.
Apakah memaafkan itu perlu? Mungkin tidak, ada kebutuhan untuk memahami, dan untuk menerima, dan ada kebutuhan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kesalahan, bahkan jika dengan menyalahkannya ia harus berbicara dengan terapis atau teman, atau bahkan diberi hukuman setimpal; Ada kebutuhan untuk mendukakan ide tentang apa yang bisa atau seharusnya terjadi; ada kebutuhan untuk mencintai diri yang lebih muda yang telah mengalami kesulitan; dan ada kebutuhan untuk membuat rencana untuk bergerak maju.
Memaafkan adalah fenomena emosional dan psikologis yang kemungkinan membawa bobot evolusi, memungkinkan kita berfungsi dalam masyarakat yang dibangun di atas kepercayaan. Dalam kebanyakan kasus, memaafkan itu sehat, direkomendasikan, dan dibutuhkan. Namun, kadang-kadang, ada lebih banyak kekuatan yang muncul dengan tidak memaafkan.