Wibu rohis tampaknya sebuah istilah yang mengundang senyum dan kerutan dahi sekaligus.
Julukan ini merujuk pada individu yang tampak culun, sering kali memiliki ketaatan beragama yang kuat, dan biasanya terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis). Namun, di sisi lain, mereka juga memendam kegemaran mendalam terhadap anime.
Dua hal yang sekilas tampak bertolak belakang: agama dan anime. Mengapa fenomena ini ada, dan apa yang mendorongnya? Pertanyaan ini mengajak kita, dan saya yang tampaknya masuk golongan ini, untuk menelusuri lebih jauh, melintasi batas-batas identitas dan kontradiksi.
Psikologi di Balik Kontras yang Tak Terelakkan

Secara permukaan, agama dan anime tampak saling berseberangan. Di satu sisi, agama sering kali dikaitkan dengan pengendalian diri, aturan moral, dan pandangan dunia yang transenden. Sementara itu, anime menawarkan eskapisme – dunia fantasi penuh warna dengan berbagai tema, dari perjuangan heroik hingga hiburan ringan, yang kadang-kadang memuat elemen sensual bahkan problematis.
Namun, psikologi manusia tidak bekerja secara hitam-putih. Dalam banyak kasus, wibu rohis menjadikan anime sebagai pelarian dari tekanan dunia nyata, termasuk ekspektasi ketat yang datang dari lingkungan agama mereka. Dunia anime, dengan segala kebebasan imajinatifnya, menawarkan ruang di mana mereka bisa menikmati sesuatu tanpa merasa benar-benar melanggar nilai-nilai inti mereka.
Dari sisi psikologis, wibu rohis mungkin mengalami apa yang disebut sebagai kompensasi sublimasi. Dalam teori psikoanalitik, sublimasi adalah mekanisme pertahanan di mana dorongan atau keinginan yang dianggap tidak sesuai diarahkan ke aktivitas yang lebih diterima. Dalam hal ini, menonton anime menjadi katarsis yang aman, dibandingkan dengan mengeksplorasi pelarian yang lebih destruktif.
Fenomena wibu rohis juga tak bisa dilepaskan dari budaya otaku. Kebanyakan wibu rohis adalah para nerd – individu yang menghabiskan waktu untuk mendalami hobi atau minat tertentu secara obsesif. Dalam hal ini, anime menjadi bagian dari budaya otaku yang memberikan rasa komunitas sekaligus ekspresi diri.
Ada alasan historis yang memperkuat fenomena ini. Beberapa tahun ke belakang, anime hanya dapat diakses melalui situs-situs ilegal. Hal ini membuat hanya orang-orang yang memiliki keahlian teknologi, seperti kemampuan mencari dan mengunduh konten secara online, yang dapat menikmatinya. Kebetulan, banyak wibu rohis – bersanding dengan “kokoh-kokoh culun” – memiliki kemampuan ini. Mereka adalah individu yang melek komputer dan mampu memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hiburan mereka.
Selain itu, keterkaitan identitas ganda juga menjadi faktor penting. Dalam dunia modern, identitas manusia sering kali terfragmentasi. Seseorang bisa menjadi seorang yang taat beragama sekaligus penggemar anime karena kedua identitas ini memenuhi kebutuhan yang berbeda. Ketaatan agama memberikan struktur moral dan makna, sedangkan anime memberikan hiburan dan kelegaan emosional.
Paradoks Wibu Rohis, Antara Dosa dan Pelarian
Anime sering dikritik sebagai hiburan yang penuh potensi dosa: dari membuang waktu hingga eksposur terhadap konten yang kurang pantas (baca: fanservice, ecchi dan hentai).
Namun, menarik untuk melihat bahwa bagi sebagian wibu rohis, menonton anime justru menjadi bentuk pelarian yang menjauhkan mereka dari dosa yang lebih besar. Misalnya, dalam tekanan pergaulan yang bisa mengarah ke perilaku merusak, menonton anime adalah pilihan yang relatif aman. Dalam arti ini, anime menjadi semacam zona abu-abu moral, di mana seseorang tetap merasa “tidak terlalu jauh menyimpang.”
Fenomena wibu rohis menantang asumsi bahwa identitas seseorang haruslah seragam dan konsisten. Realitasnya, manusia adalah makhluk yang kompleks, dan kontradiksi adalah bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Agama dan anime, meskipun berbeda dalam banyak aspek, dapat hidup berdampingan dalam diri seseorang yang mampu menavigasi batas-batas itu dengan bijak.
Dalam perspektif ini, wibu rohis bukanlah sebuah anomali, melainkan gambaran dari bagaimana manusia mencari keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan kebutuhan akan hiburan. Anime mungkin tidak membawa nilai-nilai religius secara eksplisit, tetapi dalam esensinya, ia menawarkan refleksi tentang perjuangan, pengorbanan, dan pencarian makna – tema-tema yang, jika ditelaah lebih dalam, tidak jauh dari inti agama itu sendiri.
Wibu rohis adalah bukti bahwa identitas manusia tidak pernah bisa dirangkum dalam kategori-kategori sederhana. Mereka adalah individu yang menemukan cara untuk mengintegrasikan dua dunia yang tampak berseberangan, menciptakan harmoni di tengah kontradiksi.
Dalam dunia yang semakin kompleks, mungkin sudah waktunya bagi kita untuk merangkul keragaman ini, melihatnya sebagai kekayaan, bukan keanehan. Karena pada akhirnya, setiap manusia, termasuk wibu rohis, sedang menempuh perjalanan yang sama: mencari kebahagiaan dan makna di tengah dunia yang penuh paradoks.