Hampir tiap subuh, selama bertahun-tahun, ibu saya mencuci pakaian kami sekeluarga dengan tangannya, dengan berjongkok. Air cucian bikin kakinya pecah-pecah. Ibu saya mulai tak kuat berlama-lama jongkok. Mesin cuci merk Korea bekas kemudian hadir di rumah kami. Meski enggak sampai meruntuhkan budaya patriarkis, setidaknya ia meringankan beban kerja domestik ibu saya. Mesin cuci, seperti mesin lainnya, datang bak juru selamat, menawarkan jalan yang lebih baik dan menyisakan kita pada romantisasi akan hari-hari lalu sebelum ia ada. Bunyi sikatan pada cucian, yang konstan, melodis dan menenangkan berganti jadi deru mekanis yang membosankan.
Mesin cuci adalah ia yang bertanggung jawab mematikan sebuah binatu komunal di satu kampung di Kebon Kawung. Seperti Kebon Kawung yang sekarang cuma ada satu dua pohon arennya, Kampung Dobi hanya tinggal nama, ditinggal para dobi, atau tukang cuci, yang sudah terlalu kemarin untuk bersaing melawan mesin. Sama nasibnya seperti sumber air di sana yang bernama Ciguriang, yang mungkin sudah ditinggal pergi sang guriang, atau penunggunya, karena makin seret.
Menyusur Kampung Dobi, Memeras yang Terkenang
Kampung Dobi menjadi tema ngaleut Minggu ini (9/12). Titik kumpul di Stasiun Bandung.
Stasiun yang dibuka pada 1884 ini punya kaitan erat dengan hadirnya tempat binatu komunal ini. Jalur Bandung-Batavia yang dipakai untuk mempercepat pengangkutan hasil perkebunan yang dimiliki para tuan tanah di Priangan, kemudian ikut menarik masuk para manusia dari lain kota. Mereka yang datang tentu perlu dijamu, maka tumbuh hotel dan penginapan. Agar para penginap nyaman, seprei-seprei misalnya, harus selalu diganti yang bersih. Dari sini bisa ditarik benang merahnya, tukang cuci amat diperlukan. Di saat itu, air Ci Kapundung masih bersih, penduduk sehari-hari mandi dan mencuci pakaian di tepiannya – sampai ada satu kampung bernama Pangumbahan, tempat mencuci. Aktivitas sehari-hari itu tak ada salahnya untuk dikomodifikasi, jadi jasa yang bisa menghasilkan duit. Memang, cuci mencuci aktivitas yang telah ada jauh sebelum stasiun dibuka, namun titik itu menjadi momen saat Bandung mulai menjadi sebuah kota. Dengan lokasi strategis di dekat pusat kota, ditambah ada sumber mata air terbuka, Kebon Kawung menelurkan Kampung Dobi.
Kisah soal Kampung Dobi dituliskan oleh Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya. Rute ngaleut secara kebetulan melewati sang kuncen Bandung itu. Saya diserahkan tugas untuk memandu ke rumahnya, dengan lupa-lupa ingat, saya harus menemukan Jalan H. Mesri. Terus susuri Jalan Kebon Kawung seberang stasiun kereta ke arah barat, ada beberapa jalan mungil yang memakai nama-nama orang. Rumah Haryoto Kunto, yang sekarang menyisakan koleksi buku-bukunya, terdapat di Jalan H. Mesri No. 3. Yang tadinya cuma diniatkan sekedar mampir selewatan, kami bisa memasuki rumahnya.
Menurut Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya, dengan membayar satu sen, para tukang dobi bisa menggunakan air sesukanya dari Ciguriang. Di malam hari, di bawah nyala obor, mereka rampungkan pekerjaannya sampai terbit subuh. Beberapa keluarga menekuni profesi tukang binatu secara turun-temurun. Di Kebon Kawung tumbuh pula industri rumah tangga bikin tong wadah air yang terbuat dari jati. Selain untuk menampung air, tahang kayu ini digunakan buat merendam cucian. Sesuai namanya, Kebon Kawung zaman baheula ditumbuhi pohon aren yang punya daya serap air tinggi. Air selalu ngocor untuk mencuci.
Lokasi Kampung Dobi tepat di belakang GOR Pajajaran. Dari Jalan H. Mesri, dari rumah Haryoto Kunto, untuk menuju Kampung Dobi, lurus terus mengikuti jalan ke arah utara, bakal ada gang sempit di sebelah kanan. Memasuki Kampung Dobi sungguh ajaib, seperti diterbangkan ke lain dunia, masih ada kampung di tengah kota. Entok masyuk berenang, kodok berloncat, sampai ada bocah yang nyemplung ke kolam karena dijahili temannya. Kolam ini, yang di sampingnya berdiri masjid, yang dinamakan Ciguriang. Dekat di situ, ada kompleks pemakaman kecil, yang di dalamnya terdapat kuburan H. Mesri. Senasib seperti kolam yang makin surut, kampung ini pun makin menyempit.
Satu kebetulan mengundang kebetulan lainnya. Kami bisa mendengar cerita dari cucu seorang tukang dobi. Ernawati Sutarna, mengaku saat masih bocah masih menyaksikan para tukang dobi bekerja, bahkan ikut membantu. Ia menjelaskan beberapa teknik mencuci, yang pernah saya lihat juga saat ibu sedang mencuci dulu. Ia mengingat ditugaskan untuk mengantarkan seprai-seprai habis cuci, yang dibungkus dengan kain, dengan ikatan seperti membungkus makanan ala Jepang. Jangan dijingjing atasnya, harus dipangku, kenangnya, masih ingat akan instruksi yang diberikan saat bocah dulu. Saat kami menyebut Basa Bandung Halimunan-nya Us Tiarsa, Teh Erna langsung menyahut kalau dia adalah keponakan sang penulis. “Orangtua Emang (Us Tiarsa) juga dobi,” timpalnya.
Di musim kemarau tahun 1982, untuk pertama kalinya sumber air Ciguriang kering. Medio 90an awal dobi mulai lenyap. Di seberang dunia sana, di Mumbai, India, ada Dhobi Ghat yang sama seperti kampung binatu di Kebon Kawung ini. Dhobi Ghat telah ada sejak 1890, dan masih ada sampai sekarang, bahkan diganjar penghargaan sebagai binatu luar ruangan terbesar di dunia, dan menjadi atraksi turis. Berbeda dengan Kampung Dobi di sini, yang mungkin bakal berakhir nahas seperti kampung-kota kebanyakan. Terdesak, dan seringnya lenyap.
Kalau pun lenyap, meski saya enggak berharap begini, semoga masih meninggalkan cerita yang tak pernah kering. Inilah mungkin kenapa saya menulis.
[…] pendahuluan buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis-nya Eka Kurniawan, dan catatan perjalanannya ke Kampung Dobi — sebuah binatu komunal di dekat pusat Kota Bandung yang, mencomot tulisan Kang Arip, […]
[…] Tautan Asli yeaharip.com […]