Yang Tergali dari Gunung Lalakon

Dipati Ukur dipotong-potong layaknya kue, dan mati menjadi mitos. Berbagai bagian tubuhnya diklaim dikuburkan di beberapa tempat. Konon, tubuh bagian bawah Dipati Ukur dimakamkan di puncak Gunung Lalakon, sementara sisanya di Gunung Kidang Pananjung dekat Cililin. Gunung Lalakon terletak di sebelah Jalan Terusan Soreang-Cipatik, butuh sekitar dua jam dari Kampung Badaraksa untuk sampai puncak gunungnya. Namun, hari ini, di puncak gunung, hanya ada gardu listrik dengan dua tiang tinggi.

Bentuknya yang mirip piramida sempat menjadi isu populer bahwa gunung itu hasil cipta manusia. Untuk meragukan pendapat ini, silahkan daki sampai puncak gunung, dan kita bisa melihat lanskap Kabupaten Bandung, dan karenanya bisa tahu kalau selain Gunung Lalakon yang membentuk morfologi kerucut, dapat dijumpai gunung lain yang bentuknya serupa piramida juga.

Melakoni Gunung Lalakon

Gunung Lalakon hanya satu dari banyak bukit di antara Soreang dan Cimahi yang merupakan produk aktivitas magmatik selama Kala Pliosen, sekitar 4 juta tahun yang lalu. Sepanjang perjalanan ke puncak, kita bakal melewati banyak lahan perkebunan, yang setidaknya membuktikan kesuburan tanahnya hasil aktivitas gunung api.

gunung lalakon soreang cipatik kabupaten bandung
Lanskap yang terlihat dari puncak Gunung Lalakon, tampak barisan bukit yang berbentuk kerucut.

Dari isu piramida tersebut, kita bisa melihat sebuah fenomena bahwa manusia kontemporer pun masih suka memproduksi mitos — dari hal klenik sampai dalam pemasaran barang bermerk. Jika sekarang manusia membikin mitos untuk glorifikasi, maka orang dahulu menciptakan mitos untuk menjawab apa yang tak diketahuinya, karena ketiadaan perangkat nalar ilmiah. Dongeng dan amsal terus berkembang, terpelihara lewat tradisi lisan, diwarisi dari mulut ke mulut. Cerita rakyat menjadi pokok budaya ekspresif yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu, termasuk di Gunung Lalakon.

Robert Wessing dalam jurnal Spirits of the Earth and Spirits of the Water: Chtonic Forces in the Mountains of West Java meneliti soal kaitan antara kosmologi lokal suatu masyarakat dan bagaimana mereka mempersepsikan lingkungan sekitarnya, dengan fokus pengkajian di Pameuntasan.

Sebagai desa persawahan, Pameuntasan secara ideal terletak di areal datar di selatan Bandung, yang dikelilingi barisan perbukitan. Pameuntasan berlokasi di persimpangan sungai Citarum dan Ciwidey.

Fokus utama penelitian ini adalah Gunung Lalakon. Wessing mengumpulkan beragam kisah, yang bisa dibagi dalam dua kategori;

  1. Para penguasa dan pelindung yang ada di puncak Gunung Lalakon,
  2. Gua, siluman dan ular, serta yang berkaitan di daerah bawah Gunung Lalakon.
Perjalanan menuju puncak Gunung Lalakon.
gunung lalakon

Di puncak Gunung Lalakon diyakini ada makam. Selain mitos soal Dipati Ukur, beberapa lainnya menyebutkan kalau di sana adalah makam Prabu Surialagakusumah. Masih belum jelas apakah dia seorang manusia atau makhluk gaib. Ada yang menyebutkan Prabu Surialagakusumah adalah anak dari Adipati Galunggung, dan beberapa anaknya juga dikuburkan di sekitar sana: Eyang Santoan Kobul di dekat Gunung Lalakon dan Eyang Agung di Mahmud, di seberang sungai dari Pameuntasan.

Apakah itu Dipati Ukur atau Surialagakusumah yang terkubur di puncak Gunung Lalakon, yang pasti kita bisa mengetahui soal sistem kepercayaan setempat bahwa ada roh atau arwah yang bersemayam di sana. Siapa yang terkubur tak penting, bahkan mungkin tak ada yang dikubur di sana, dan makam hanya sebagai penanda atau titik untuk mengakses kekuatan kosmik.

Wessing pernah menyaksikan ritual ngabungbang, ketika sekelompak besar orang mengunjungi makam sakral dan mengalunkan ayat-ayat Quran di sana, di puncak Gunung Lalakon. Ritual dari kepercayaan lama, yang disinkretiskan dengan ajaran Islam. Di malam Muludan, orang-orang datang ke Buni Buana, dan secara simbolis menggambarkan persinggungan manusia dengan kekuatan kosmik.

ngaleut gunung lalakon

Gunung, secara alami, menjadi batas antara area huni dengan yang liar. Batas ini juga yang memisahkan antara peradaban dan dunia manusia yang terprediksi dengan alam non-manusia yang berbahaya dan tak terprediksi.

Pusat gunung menjadi batas antara semesta manusia dengan wilayah supernatural yang berhubungan dengan langit dan dunia bawah. Pusat gunung sering menjadi tempat orang-orang penting dikuburkan, mereka berfungsi sebagai nenek moyang yang menawarkan perlindungan dari kejahatan dan hukuman bagi yang melanggar.

Entitas lain yang ada di Gunung Lalakon adalah Embah Batu Gajah, yang bersemayam di sebuah gua di kaki gunung. Embah Batu Gajah diyakini sebagai siluman, dan sebagian lainnya mempercayai kalau dia seseorang yang ngahiang. Biasanya orang menziarahi makam leluhur untuk meminta nasihat dan perlindungan, sementara ke tempat yang dihuni siluman untuk meminta kekayaan. Embah Batu Gajah dikunjungi oleh alasan kedua-duanya. Embah Batu Gajah juga sering didatangi orang untuk menggaet wanita, meminta nomor togel dan meraih jabatan.

embah eyang janusi / pasir odah

Yang terakhir adalah Embah Sanusi, sesosok siluman. Di Gunung Lalakon konon ada ayam liar, milik Embah Sanusi. Jika ingin mendapat kekayaan dan kekuasaan, silahkan memberi sesajen dan saling kompromi apa yang mau dikorbankan. Embah Sanusi akan marah jika sembarang menebang pohon tanpa pamit padanya terlebih dahulu. Sesosok siluman sering dimanifestasikan dalam wujud ular.

Saya jadi teringat The Book of Imaginary Beings-nya Jorge Luis Borges. Sebuah ringkasan, deskripsi dan cerita singkat tentang hewan-hewan fantastis dari banyak teks dan sumber lawas, termasuk buku-buku Eropa abad pertengahan dan zaman klasik, mitos Cina dan India, cerita rakyat beragam negara. Buku ini seperti peta labirin tak berujung imajinasi manusia. Misalnya makhluk mitos naga, meski terdapat perbedaan detail, baik di Barat atau Timur sama-sama mengimajinasikannya. Kita acuh soal makna naga, sebut Borges, seperti halnya kita acuh soal makna alam semesta. Ada semacam fenoman yang bisa digali dari imajinasi manusia.

Kembali ke Gunung Lalakon, semua cerita yang bermukim di sana justru saya ketahui dari seorang asing bernama Wessing. Cerita rakyat dari hasil wawancara itu secara jelas membangun tradisi antropologis dalam hal mengumpulkan sejarah kehidupan untuk lebih memahami bagaimana budaya telah berubah dari waktu ke waktu. Mitos sebagai subjek memiliki cakupan yang luas, membentang di sepanjang sejarah manusia untuk mencakup beragam disiplin akademis — mulai dari psikologi dan sastra komparatif hingga antropologi dan filsafat.

Folklore layaknya pop culture memengaruhi manusia kiwari. Manusia menciptakan mitos, namun seringnya mitos yang justru membentuk manusia. Makna sebenarnya mitos, seperti ditegaskan Claude Levi-Strauss, terletak di bawah permukaan naratifnya. Jika ditelisik, setiap cerita rakyat dapat berfungsi dalam mempelajari apa artinya menjadi manusia.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1790

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *