Sabtu itu, Erika dan aku bertemu di Shibuya dan nonton film Woody Allen yang berlatar di New York. Entah bagaimana aku punya perasaan kalau dia sangat menyukai film Woody Allen ini. Dan aku cukup yakin kalau Kitaru belum pernah mengajaknya nonton film seperti ini. Untungnya, ini adalah film yang bagus, dan kami berdua merasa senang ketika kami meninggalkan bioskop.
Kami jalan-jalan sebentar saat senja itu, sebelum akhirnya pergi ke restoran Italia kecil di Sakuragaoka untuk memesan pizza dan Chianti. Ini hanya restoran sederhana dengan harganya yang bersahabat. Pencahayaan yang redup, lilin di meja. (Sebagian besar restoran Italia pada waktu itu pasti terdapat lilin di atas meja dengan taplaknya yang kotak-kotak.) Kami mengobrol banyak hal, seperti halnya percakapan antara dua mahasiswa perguruan tinggi saat kencan pertama (dengan asumsi kalau ini benar-benar sebuah kencan). Membicarakan film yang kami lihat barusan, kehidupan perkuliahan kami, hobi kami. Kami menikmati obrolan tersebut lebih dari yang aku harapkan, dan dia bahkan tertawa keras beberapa kali. Aku tidak ingin terdengar seperti aku jago membual, tapi tampaknya aku memiliki suatu bakat untuk bisa membuat seorang perempuan tertawa.
“Aku mendengar dari Aki-kun kalau kau putus dengan pacar semasa SMA-mu belum lama ini ya?” Erika bertanya.
“Ya,” jawabku. “Kami sudah berpacaran selama hampir tiga tahun, tetapi tidak berhasil. Sayangnya.”
“Kata Aki-kun hal ini karena soal hubungan seks. Bahwa dia tidak… bagaimana aku harus mengatakannya ya? Memuaskanmu?”
“Itu cuma salah satu alasannya. Tapi tidak semua. Jika aku benar-benar mencintainya, aku pikir aku bisa bersabar. Jika aku yakin bahwa aku mencintainya, maksudku. Tapi aku tidak.”
Erika mengangguk.
“Bahkan jika kami terus melanjutkan hubungan tadi, semuanya akan berakhir sama,” kataku. “Aku pikir itu sudah semestinya begitu.”
“Apakah ini sulit bagimu?” Tanyanya.
“Sulit apanya?”
“Ketika harus sendirian lagi setelah lama berpacaran.”
“Kadang-kadang,” kataku jujur.
“Tapi mungkin dengan melalui keadaan sulit, mengalami kesepian diperlukan ketika kau masih muda? Bagian dari proses pendewasaan mungkin ya?”
“Kau pikir begitu?”
“Dengan adanya musim dingin yang keras membuat sebuah pohon tumbuh lebih kuat, cincin tahunan pohon di dalamnya dipaksa mengeras.”
Aku mencoba membayangkan cincin tahunan pohon dalam diriku. Tapi satu-satunya hal yang aku bisa bayangkan adalah sepotong kue Baumkuchen, jenis kue yang isinya seperti cincin tahunan pohon di dalamnya.
“Aku setuju bahwa manusia perlu menghadapi periode itu dalam hidupnya,” kataku. “Lebih baik lagi jika kita tahu kalau periode seperti ini bakal ada akhirnya.”
Dia tersenyum. “Jangan khawatir. Aku yakin kau akan bertemu penggantinya segera.”
“Aku harap begitu,” kataku.
Erika memikirkan sesuatu sementara aku menyantap pizza tadi.
“Tanimura-kun, aku ingin meminta saran darimu tentang sesuatu. Apakah boleh?”
“Tentu,” kataku. Ini adalah masalah lainku ketika berurusan dengan orang lain: orang yang baru saja aku temui ingin meminta saranku tentang sesuatu yang sangat penting. Dan aku cukup yakin bahwa apa yang akan Erika sampaikan padaku merupakan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.
“Aku bingung,” ia memulai.
Matanya melirik bolak-balik, seperti kucing yang mencari sesuatu.
“Aku yakin kau sudah tahu tentang ini, ya ini soal Aki-kun yang sudah dua tahun masih saja kursus persiapan untuk ujian masuk, ia tidak belajar serius. Dia juga sering bolos ikut ujian percobaan. Jadi aku yakin dia akan gagal lagi tahun depan. Jika ia memilih universitas yang lebih rendah, ia bisa saja mendapatkannya di suatu tempat, tapi dia memantapkan hatinya cuma ke Waseda. Dia tidak mendengarkanku, atau orang tuanya. Ini menjadi seperti obsesi baginya. . . . Tetapi jika ia sungguh-sungguh ingin masuk ke sana harusnya kan ia belajar keras agar ia bisa lulus ujian Waseda, namun dia tidak.”
“Mengapa dia tidak belajar sungguh-sungguh?”
“Dia benar-benar percaya bahwa dia akan lulus ujian masuk jika keberuntungan datang ke sisinya,” kata Erika. “Belajar adalah buang-buang waktu.” Dia menghela napas dan melanjutkan, “Di sekolah dasar dia selalu juara kelas. Tapi begitu dia masuk SMP nilai-nilainya mulai meluncur. Dia anak yang sedikit aneh-kepribadiannya tidak cocok untuk cara belajar yang normal. Dia lebih suka bolos kemudian melakukan hal-hal gila sendiri. Aku sebaliknya. Aku memang tidak terlalu pandai, tapi aku selalu bekerja keras dan selalu menuntaskan setiap pekerjaan.”
Aku tidak pernah belajar sungguh-sungguh namun bisa masuk ke perguruan tinggi pada percobaan pertama. Mungkin keberuntungan telah di sisiku.
“Aku sangat menyukai Aki-kun,” lanjutnya. “Dia punya banyak kelebihan. Tapi kadang-kadang sulit bagiku untuk memahami cara berpikirnya yang ekstrim. Misalnya tentang dialek Kansai itu. Mengapa seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Tokyo harus susah-susah belajar dialek Kansai kemudian menggunakannya sepanjang waktu? Aku tidak mengerti, aku benar-benar tidak habis pikir. Pada awalnya aku pikir itu cuma lelucon, tapi tidak. Dia benar-benar serius.”
“Aku pikir dia ingin memiliki suatu kepribadian yang berbeda, menjadi seseorang yang berbeda dari dirinya yang sekarang,” kataku.
“Itu sebabnya ia berbicara dengan dialek Kansai?”
“Aku setuju denganmu bahwa ini memang cara yang aneh.”
Erika mengambil sepotong pizza dan menggigit secuil seukuran perangko besar. Dia mengunyahnya sambil berpikir sebelum kemudian dia berbicara.
“Tanimura-kun, aku bertanya ini karena aku tidak memiliki orang lain untuk bertanya. Kamu tidak keberatan kan?”
“Tentu saja tidak,” kataku. Apa lagi yang bisa kukatakan?
“Secara umum,” katanya, “ketika seorang pria dan seorang wanita berpacaran untuk waktu yang lama dan telah mengenal satu sama lain dengan sangat baik, pria pasti punya ketertarikan fisik dengan gadis itu, kan?”
“Umumnya memang begitu, aku setuju.”
“Jika mereka berciuman, dia pasti ingin sesuatu yang lebih jauh kan?”
“Biasanya memang begitu.”
“Kamu merasa seperti itu juga kan?”
“Tentu saja,” kataku.
“Tapi Aki-kun tidak. Ketika kita berduaan, dia tidak ingin sesuatu yang lebih jauh.”
Butuh beberapa saat bagiku untuk memilih kata yang tepat. “Itu hal pribadi,” kataku akhirnya. “Orang-orang memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kitaru sangat menyukaimu-ini suatu anugerah-tapi hubungan kalian begitu dekat dan nyaman sehingga dia mungkin tidak berani untuk melanjutkan ke tingkat berikutnya, berbeda dengan kebanyakan orang memang.”
“Kamu pikir begitu?”
Aku menggeleng. “Sejujurnya, aku tidak benar-benar memahaminya. Aku sendiri tidak pernah mengalaminya. Aku hanya mengatakan bahwa itu bisa menjadi salah satu kemungkinan.”
“Kadang-kadang rasanya seperti ia tidak memiliki hasrat seksual padaku.”
“Aku yakin dia punya. Tapi mungkin sesuatu yang memalukan baginya untuk mengakuinya.”
“Tapi kami sudah berusia dua puluh, sudah sama-sama dewasa. Cukup dewasa untuk tidak merasa malu.”
“Beberapa orang mungkin sedikit lebih cepat dewasa ketimbang yang lain,” kataku.
Erika memikirkan hal ini. Dia tampaknya tipe orang yang selalu menangani beragam hal di kepala.
“Aku pikir Kitaru sedang mencari sesuatu,” aku melanjutkan. “Dengan caranya sendiri, dengan kecepatannya sendiri. Hanya saja aku berpikir dia tidak memahami betul apa yang ingin dicapainya itu. Itu sebabnya dia tidak dapat membuat kemajuan apapun. Jika kamu tidak tahu apa yang kamu cari, tentunya tidak mudah untuk mencarinya.”
Erika mendongakan kepalanya dan menatapku tepat di mata. Nyala lilin tercermin dalam matanya yang gelap, kecil, setitik cahaya yang berkilau. Itu begitu indah membuatku susah untuk berpaling darinya.
“Tentu saja, kamu mengenalnya jauh lebih baik daripada aku,” aku menegaskan.
Dia mendesah lagi.
“Sebenarnya, aku sedang suka pria lain selain Aki-kun,” katanya. “Seorang pria di klub tenisku yang setahun di atasku.”
Sekarang giliranku yang terdiam.
“Aku benar-benar mencintai Aki-kun, dan aku tidak berpikir aku bisa merasakan hal yang sama kalau dengan orang lain. Setiap kali aku jauh darinya aku merasakan sakit yang mengerikan di dadaku, selalu di tempat yang sama. Ini benar. Ada tempat di hatiku yang dicadangkan hanya untuk dia. Tapi pada saat yang sama aku punya dorongan kuat dalam diriku untuk mencoba sesuatu yang lain, untuk merasakan berhubungan dengan semua jenis orang. Sebut saja rasa ingin tahu, rasa haus untuk tahu lebih banyak. Ini adalah emosi alami dan aku tidak bisa menekannya, tidak peduli sekeras apapun aku mencoba.”
Aku membayangkan tanaman yang tumbuh melampaui pot tempatnya ditanam.
“Ketika aku mengatakan aku bingung, inilah yang kumaksud,” kata Erika.
“Berarti kamu harus memberitahu Kitaru tentang perasaanmu ini,” kataku. “Jika kau menyembunyikannya dari dia kalau kau sedang suka dengan orang lain, kemudian ia mengetahui ini, itu justru akan menyakitinya. Kamu tentunya tidak menginginkan hal ini.”
“Tapi bisakah dia menerima itu? Fakta bahwa aku kencan dengan orang lain?”
“Aku pikir dia akan mengerti bagaimana perasaanmu,” kataku.
“Kau pikir begitu?”
“Ya,” kataku.
Aku pikir Kitaru akan mengerti kebingungan pacarnya ini, karena ia pun merasa hal yang sama. Dalam hal ini, mereka benar-benar berada di gelombang yang sama. Namun, aku tidak sepenuhnya yakin bahwa Kitaru dengan tenang akan menerima apa yang benar-benar Erika lakukan (atau pikirkan). Kitaru tidak tampak seperti seseorang yang kuat bagiku. Tetapi akan lebih sulit baginya jika Erika terus merahasiakan ini darinya atau mungkin berbohong kepadanya.
Erika menatap nyala lilin yang berkedip-kedip oleh hembusan AC. “Aku sering mendapat mimpi yang sama,” katanya. “Aki-kun dan aku berada di sebuah kapal. Sedang melakukan perjalanan panjang di sebuah kapal besar. Kita berduaan di sebuah kabin kecil, itu larut malam, dan melalui jendela kapal kita bisa melihat bulan purnama. Tapi bulan ini terbuat dari es murni yang transparan. Dan bagian bawahnya tenggelam di laut. ‘Itu terlihat seperti bulan,’ Aki-kun memberitahuku, ‘tapi itu benar-benar terbuat dari es dan tebalnya hanya sekitar delapan inci. Jadi ketika matahari terbit di pagi hari itu semua bakal mencair. Kau harus melihatnya baik-baik sekarang, saat kau masih memiliki kesempatan.’ Aku sering bermimpi begini beberapa kali. Ini adalah mimpi yang indah. Selalu bulan yang sama. Selalu tebalnya delapan inci. Aku bersandar pada Aki-kun, hanya kami berdua, gelombang laut memukul-mukul lembut di luar sana. Tapi setiap kali aku bangun aku merasa sedih.”
Erika Kuritani terdiam beberapa lama. Lalu ia berbicara lagi. “Aku pikir betapa indahnya jika Aki-kun dan aku bisa melanjutkan pelayaran itu selamanya. Setiap malam kami akan meringkuk berdekatan dan menatap keluar jendela kapal untuk melihat bulan yang terbuat dari es itu. Pagi datang dan bulan akan mencair, kemudian pada malam akan muncul kembali. Tapi mungkin itu tidak terjadi. Mungkin satu malam bulan tidak akan muncul. Ini membuatku takut untuk membayangkannya. Aku mendapat ketakutan ini seperti aku benar-benar bisa merasakan tubuhku menyusut.”
***
Ketika aku bertemu Kitaru di kedai kopi pada hari berikutnya, ia menanyakan soal kencan kemarin.
“Kau menciumnya?”
“Tidak mungkin lah,” kataku.
“Jangan khawatir-aku tidak akan marah jika kau melakukannya kok,” katanya.
“Aku tidak akan melakukan hal seperti itu.”
“Kalau memegang tangannya?”
“Tidak, aku tidak memegang tangannya.”
“Jadi, apa yang kau lakukan?”
“Kami pergi nonton film, jalan-jalan, makan malam bersama, dan ngobrol,” kataku.
“Hanya itu?”
“Biasanya kau tidak mencoba untuk bergerak terlalu cepat pada kencan pertama.”
“Benarkah?” Kata Kitaru. “Aku tidak pernah berkencan seperti kebanyakan orang, jadi aku tidak tahu.”
“Tapi aku menikmati saat-saat bersamanya. Jika saja dia pacarku, aku tidak akan pernah melepaskannya.”
Kitaru memikirkan ini. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi berpikir lebih baik tidak. “Jadi, apa yang kau makan?” Tanyanya akhirnya.
Aku mengatakan pizza dan Chianti.
“Pizza dan Chianti?” Dia terdengar terkejut. “Aku tidak pernah tahu kalau dia menyukai pizza. Kami hanya pernah makan di semacam toko mie dan warung murah. Wine? Aku bahkan tidak tahu kalau dia minum.”
Kitaru sendiri tidak pernah menyentuh minuman keras.
“Mungkin ada beberapa hal yang kau tidak tahu tentang dia,” kataku.
Aku menjawab semua pertanyaan mengenai kencan kemarin itu. Tentang film Woody Allen (karena desakannya, aku memberi ulasan seluruh cerita filmnya), makanan (berapa bayarnya, apakah kita bayar sendiri-sendiri atau tidak), apa yang dia kenakan (gaun katun putih, rambut disematkan), celana dalam apa yang dikenakannya (mana aku tahu soal ini?), apa yang kita bicarakan. Aku tidak mengatakan apapun kalau dia pacaran dengan pria lain. Aku juga tidak menyebutkan mimpinya tentang bulan yang terbuat dari es itu.
“Kalian sudah memutuskan kapan akan melakukan kencan kedua?”
“Tidak, kami tidak membicarakannya,” kataku.
“Kenapa tidak? Kau menyukainya, kan?”
“Dia hebat. Tapi kita tidak bisa terus seperti ini. Maksudku, dia pacarmu, kan? Kau mengatakan boleh-boleh saja menciumnya, tapi tidak mungkin aku bisa melakukan itu.”
Kitaru semakin termenung. “Kau tahu?” Katanya akhirnya. “Aku telah memeriksakan diri ke terapis sejak akhir SMP. Orang tua dan guruku, mereka semua mengatakan kalau harus memeriksakan diri. Karena aku melakukan hal-hal aneh di sekolah dari waktu ke waktu. Kau tahu-sesuatu yang tidak normal. Tapi terapis sesungguhnya tidak membantu, sejauh yang aku lihat. Kedengarannya memang baik secara teori, tapi terapis hanya memberikan omong kosong. Mereka melihatmu seakan-akan mereka tahu apa yang terjadi, kemudian membuatmu berbicara terus menerus dan mereka hanya mendengarkan. Hey, aku juga bisa melakukan itu.”
“Kau masih memeriksakan diri ke terapis?”
“Ya. Dua kali sebulan. Hanya buang-buang uang saja, jika kau bertanya padaku. Apakah Erika tidak memberitahumu tentang hal ini?”
Aku menggeleng.
“Terus terang, aku tidak tahu apa yang begitu aneh tentang cara berpikirku. Bagiku, sepertinya aku hanya melakukan hal-hal biasa dengan cara yang biasa. Tapi orang mengatakan kepadaku bahwa hampir semua yang kulakukan adalah aneh.”
“Nah, memang ada beberapa hal tentangmu yang tidak normal,” kataku.
“Seperti apa?”
“Seperti dialek Kansai-mu itu.”
“Kau mungkin benar,” Kitaru mengakui. “Itu sesuatu yang sedikit tidak biasa.”
“Orang normal tidak akan melakukan hal sejauh itu.”
“Ya, kau mungkin benar.”
“Tapi, sejauh yang aku tahu, bahkan jika apa yang kau lakukan adalah tidak normal, asalkan itu tidak mengganggu siapa pun tentunya tidak masalah.”
“Untuk kali ini belum.”
“Jadi apa yang salah dengan itu?” Kataku. Aku mungkin sedikit kesal (pada apa atau siapa aku tidak bisa mengatakan). Aku bisa merasakan nadaku mulai meninggi. “Jika kau tidak mengganggu siapa pun, jadi kenapa? Kau ingin berbicara dengan dialek Kansai, maka silahkan saja. Teruskan. Kau tidak ingin belajar untuk ujian masuk? Maka jangan belajar. Merasa tidak ingin menempelkan tanganmu di celana dalamnya Erika Kuritani? Siapa yang mengatakan kau harus? Ini hidupmu. Kamu bebas melakukan apa yang kau inginkan dan mengacuhkan apa yang dipikirkan orang lain.”
Kitaru, dengan mulutnya yang sedikit terbuka, menatapku dengan tercengang. “Kau tahu Tanimura? Kau seorang pria yang baik. Meskipun kadang-kadang agak terlalu normal, kau tahu kan?”
“Apa yang akan kau katakan?” Kataku. “Kau tidak bisa mengubah kepribadianmu.”
“Tepat. Kau tidak dapat mengubah kepribadianmu. Ini memang yang ingin aku katakan.”
“Tapi Erika adalah gadis yang hebat,” kataku. “Dia benar-benar peduli tentangmu. Apa pun yang kau lakukan, jangan biarkan dia pergi. Kau tidak akan menemukan seorang gadis yang hebat sepertinya lagi.”
“Aku sudah tahu itu. Kau tidak perlu memberitahuku,” kata Kitaru. “Tapi hanya mengetahui tidak akan membantu.”
***
Sekitar dua minggu kemudian, Kitaru berhenti bekerja di kedai kopi. Aku katakan cuti, tapi dia tiba-tiba tak kelihatan lagi. Dia memutuskan hubungan, tidak menyebutkan apapun tentang mengambil cuti. Dan ini ketika musim tersibuk kami, sehingga pemilik cukup marah. Kitaru punya satu minggu gaji, tapi dia tidak datang untuk mengambilnya. Dia menghilang begitu saja. Aku harus mengatakan itu menyakitiku. Aku pikir kami adalah teman baik yang sulit untuk dipisahkan. Aku tidak punya teman lain di Tokyo.
Dua hari terakhir sebelum ia menghilang, Kitaru tak seperti biasanya jadi pendiam. Dia tidak banyak berkata ketika aku berbicara dengannya. Dan kemudian ia pergi dan menghilang. Aku bisa saja menelepon Erika Kuritani untuk memeriksa keberadaannya, tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Aku pikir bahwa apa yang terjadi di antara mereka berdua adalah urusan mereka, dan bukan hal yang baik bagiku untuk terlibat lebih jauh. Entah bagaimana aku harus menerima dunia kecil yang kumiliki.
Setelah semua ini terjadi, untuk beberapa alasan aku terus berpikir tentang mantan pacarku. Mungkin aku merasakan sesuatu, ketika melihat Kitaru dan Erika bersama-sama. Aku menulis sebuah surat yang panjang untuk meminta maaf akan perbuatanku dahulu. Aku bisa saja jauh lebih ramah padanya. Tapi aku tidak pernah mendapat balasan surat darinya.
***
Aku bisa mengenali Erika Kuritani dengan cepat. Aku memang hanya bertemu dengannya dua kali, dan enam belas tahun telah berlalu sejak saat itu. Tapi tidak salah lagi kalau aku mengenalinya. Dia masih menawan, dengan ekspresi sama yang hidup dan bersemangat. Dia mengenakan gaun hitam berenda, dengan sepatu hak tinggi hitam dan dua untaian mutiara di leher rampingnya. Dia juga mengingatku segera. Kami sedang berada di sebuah pesta mencicipi anggur di sebuah hotel di Akasaka. Ini adalah pesta dengan dresscode hitam-hitam, dan aku mengenakan jas dan dasi hitam untuk acara ini. Dia adalah seorang perwakilan dari perusahaan periklanan yang mensponsori acara tersebut, dan jelas telah bekerja keras untuk menangani acara ini. Ini memakan waktu yang lama untuk masuk ke alasan bahwa aku ada di sana.
“Tanimura-kun, kenapa kamu tidak pernah berhubungan denganku setelah kencan malam itu?” Tanyanya. “Aku berharap kita bisa bicara lagi.”
“Kau terlalu cantik untukku,” kataku.
Dia tersenyum. “Ah terdengar indah, bahkan jika kamu hanya menyanjungku.”
Tapi apa yang kukatakan bukanlah kebohongan atau sanjungan. Dia memang terlalu cantik bagiku untuk membuatku tertarik padanya. Saat itu, dan bahkan sekarang.
“Aku menelepon kedai kopi tempatmu bekerja, tetapi mereka mengatakan kamu tidak bekerja di sana lagi,” katanya.
Setelah Kitaru keluar, pekerjaan menjadi sangat membosankan, dan aku pun berhenti dua minggu kemudian.
Erika dan aku mengingat-ingat secara singkat kehidupan kami selama enam belas tahun terakhir. Setelah kuliah, aku dipekerjakan oleh sebuah penerbit kecil, tapi berhenti setelah tiga tahun dan telah jadi penulis sejak saat itu. Aku menikah saat usia dua puluh tujuh tahun tapi belum dianugerahi anak. Erika sendiri masih lajang. “Mereka membuatku bekerja begitu keras,” dia bercanda, “sampai-sampai aku tidak memiliki waktu untuk menikah.” Dia adalah orang pertama yang memunculkan topik tentang Kitaru.
“Aki-kun bekerja sebagai koki sushi di Denver sekarang,” katanya.
“Denver?”
“Denver, Colorado. Setidaknya, menurut kartu pos yang ia kirimkan padaku beberapa bulan yang lalu.”
“Kenapa Denver?”
“Aku tidak tahu,” kata Erika. “Kartu pos sebelumnya dari Seattle. Dia seorang koki sushi di sana. Itu sekitar setahun yang lalu. Dia mengirimiku kartu pos seenaknya. Sebagian malah kartu konyol dengan isi yang hanya beberapa garis putus-putus. Kadang-kadang ia bahkan tidak menulis alamat asalnya.”
“Koki sushi,” pikirku. “Jadi dia tidak masuk perguruan tinggi ya?”
Dia menggeleng. “Pada akhir musim panas itu, aku pikir dia masuk, tapi tiba-tiba ia mengumumkan bahwa ia akan mengakhiri belajar untuk ujian masuk dan dia memilih sebuah sekolah memasak di Osaka. Mengatakan kalau dia benar-benar ingin belajar masakan Kansai dan pergi ke pertandingan di Stadion Koshien, stadionnya Hanshin Tigers. Tentu saja, aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana kau bisa memutuskan sesuatu yang sangat penting tanpa meminta pendapatku dulu? Bagaimana denganku?'”
“Dan apa yang dia katakan itu?”
Dia tidak menanggapi. Dia hanya memegang bibirnya ketat, seolah-olah dia akan menitikkan air mata jika dia mencoba untuk berbicara. Aku segera mengganti topik.
“Ketika kita pergi ke restoran Italia di Shibuya, aku ingat kita memesan Chianti yang murah. Sekarang lihatlah kita, mencicipi anggur Napa premium. Sebuah takdir, yang aneh.”
“Aku ingat,” katanya, menarik diri bersama-sama. “Kita juga menonton film Woody Allen. Yang mana itu ya?”
Aku memberitahunya.
“Itu film yang hebat.”
Aku setuju. Itu memang salah satu karya terbesar dari Woody Allen.
“Apakah hubunganmu dengan pria di klub tenis yang kamu sukai itu berjalan baik?” Aku bertanya.
Dia menggeleng. “Tidak. Hubungan kami tidak berjalan baik seperti yang aku pikir. Kami berpacaran selama enam bulan dan kemudian putus.”
“Bolehkah aku mengajukan pertanyaan?” Kataku. “Ini sesuatu yang sangat pribadi.”
“Silahkan.”
“Aku tidak ingin kamu menjadi tersinggung.”
“Aku akan mencoba sebisaku agar tidak tersinggung.”
“Kau tidur dengan pria itu, kan?”
Erika menatapku dengan heran, pipinya memerah.
“Kenapa kau menanyakan ini sekarang?”
“Pertanyaan yang bagus,” kataku. “Ini ada dalam pikiranku untuk waktu yang lama. Tapi ini memang pertanyaan yang aneh. Maafkan aku.”
Erika menggelengkan kepalanya sedikit. “Tidak apa-apa. Aku tidak tersinggung. Aku hanya tidak mengharapkan menerima pertanyaan seperti itu. Itu semua masa lalu.”
Aku melihat ke sekeliling ruangan. Orang-orang dengan pakaian formal tercerai-berai. Gabus penutup dibuka satu demi satu dari tiap botol anggur mahal. Seorang pianis perempuan sedang memainkan “Like Someone in Love.”
“Jawabannya adalah ya,” kata Erika. “Aku tidur dengannya beberapa kali.”
“Keingintahuan, rasa haus untuk tahu lebih banyak,” kataku.
Dia memberikan sedikit senyum. “Betul. Keingintahuan, rasa haus untuk tahu lebih banyak.”
“Itulah cara kita mengembangkan cincin tahunan pohon kita.”
“Jika kau mengatakan begitu,” katanya.
“Dan aku menduga bahwa pertama kali kamu tidur dengannya itu setelah kencan kita di Shibuya kan?”
Dia membalik-balik halaman dalam buku rekor mentalnya. “Aku juga berpikir demikian. Sekitar seminggu setelah itu. Aku mengingat sepanjang waktu itu cukup baik. Ini adalah pertama kalinya bagiku.”
“Dan Kitaru cukup cepat mengerti,” kataku, menatap matanya.
Dia menunduk dan meraba mutiara di kalung satu-satu, seakan memastikan bahwa semua masih ada di tempatnya. Dia sedikit mendesah, mungkin mengingat-ingat sesuatu. “Ya, kau benar tentang itu. Aki-kun punya intuisi yang kuat.”
“Tapi selalu tidak berhasil dengan laki-laki lain.”
Dia mengangguk. “Sayangnya, aku tidak sepintar itu. Aku selalu mengambil jalan panjang. Aku selalu mengambil jalan yang berputar-putar.”
Itulah yang kita semua lakukan: tanpa henti mengambil jalan panjang. Aku ingin menceritakan ini, tapi diam. Melontarkan kata-kata mutiara seperti itu salah satu dari masalahku.
“Apakah Kitaru sudah menikah?”
“Sejauh yang kutahu, dia masih lajang,” kata Erika. “Setidaknya, dia belum mengatakan kepadaku bahwa dia menikah. Mungkin kami berdua adalah tipe orang yang tidak akan pernah melakukan pernikahan.”
“Atau mungkin kalian hanya sedang mengambil jalan panjang memutar untuk sampai ke sana.”
“Mungkin.”
“Apakah kamu masih bermimpi tentang bulan yang terbuat dari es itu?” Aku bertanya.
Kepalanya tersentak dan dia menatapku. Sangat tenang, perlahan, senyum tersebar di wajahnya. Senyum terbuka yang benar-benar alami.
“Kamu masih ingat mimpiku?” Tanyanya.
“Untuk beberapa alasan, aku mengingatnya.”
“Meskipun itu mimpi orang lain?”
“Mimpi adalah sesuatu yang bisa kau pinjam dan pinjamkan,” kataku.
“Itu ide yang bagus,” katanya.
Seseorang memanggil namanya dari belakangku. Sudah waktunya baginya untuk kembali bekerja.
“Aku tidak punya mimpi itu lagi,” katanya di perpisahan. “Tapi aku masih ingat setiap detailnya. Apa yang aku lihat, apa yang kurasakan. Aku tidak bisa melupakannya. Aku mungkin tidak akan pernah melupakannya.”
***
Ketika aku mengemudi dan lagu “Yesterday”-nya The Beatles diputar di radio, aku tidak bisa tidak mendengar kembali lirik gila Kitaru ketika bernyanyi di kamar mandi. Dan aku menyesal tidak menuliskannya saat itu. Liriknya begitu aneh namun aku mengingatnya untuk sementara, tapi secara bertahap ingatanku mulai memudar sampai akhirnya aku hampir lupa seluruhnya. Yang aku ingat sekarang hanya sebagian kecilnya, dan aku bahkan tidak yakin apakah ini benar-benar yang Kitaru nyanyikan. Dengan berjalannya waktu, memori, mau tidak mau, menyusun kembali ingatannya sendiri.
Ketika aku masih dua puluh atau lebih, aku mencoba beberapa kali untuk menulis buku harian, tapi aku tidak bisa melakukannya. Begitu banyak hal yang terjadi di sekitarku saat itu sehingga aku hampir tidak bisa bertahan dengan semua itu, apalagi untuk berdiri diam dan menuliskan semuanya dalam sebuah buku catatan. Dan sebagian besar hal-hal tadi tidak membuatku berpikir, Oh, aku harus menuliskan semua ini. Ini semualah yang hanya bisa kulakukan untuk tetap membuka mata di angin sakal yang kuat, menarik napas, dan terus melangkah maju.
Tapi anehnya, aku sangat ingat Kitaru dengan baik. Kami berteman selama beberapa bulan, namun setiap kali aku mendengar “Yesterday”, setiap adegan dan percakapan dengannya tersimpan dengan baik dalam pikiranku. Percakapan kami berdua saat ia berendam dalam bak mandi di rumahnya di Denenchofu. Pembicaraan tentang formasi menyerang Hanshin Tigers, hal-hal soal seks, betapa membosankannya belajar untuk ujian masuk, dan begitu kaya dan emosionalnya dialek Kansai. Dan aku mengingat betul kencan aneh dengan Erika Kuritani. Dan apa yang Erika ungkapkan-di bawah cahaya lilin di atas meja di restoran Italia itu. Rasanya seolah-olah hal itu terjadi baru kemarin saja. Musik memang memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali kenangan lama, kadang-kadang begitu seringnya menghadirkan luka.
Tapi ketika aku bercermin tentang diriku sendiri pada usia dua puluhan, apa yang paling aku ingat adalah kesendirian dan kesepian. Aku tidak punya pacar untuk menghangatkan tubuhku atau jiwaku, tidak ada teman yang bisa kuajak curhat. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan setiap hari, tidak punya visi untuk masa depan. Untuk sebagian besar, aku tetap tenggelam dalam diriku sendiri. Kadang-kadang aku dalam seminggu tidak berbicara dengan siapa pun. Kehidupan seperti ini terus kulakukan selama setahun. Tahun yang panjang, sangat panjang. Apakah periode ini adalah sebuah musim dingin yang menempa cincin tahunan pohon dalam diriku, aku tidak bisa mengatakan. Saat itu aku juga merasa seolah-olah setiap malam aku sedang memandang keluar jendela kapal, melihat bulan yang terbuat dari es. Yang transparan, delapan inci tebalnya, bulan yang membeku. Tapi aku melihat bulan itu sendirian saja, tidak dapat berbagi keindahan yang dingin itu dengan siapa pun.
Kemarin
Adalah dua hari sebelum besok,
Dan sehari setelah kemarin lusa.
***
Haruki Murakami (村上 春樹, lahir di Kyoto, 12 Januari 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang menggenggam banyak penghargaan di dunia kepenulisan. Ia menulis belasan novel, puluhan cerpen, beberapa buku nonfiksi, dan rajin menerjemahkan karya asing ke Bahasa Jepang. Karya fiksi Murakami seringnya bertema surealistik dan nihilistik, yang ditandai dengan cara pembawaan Franz Kafka lewat tema kesendirian dan pengasingan. Karya-karya pentingnya seperti A Wild Sheep Chase (1982),Norwegian Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore (2002), dan 1Q84 (2009–2010).
Berkat kiprahnya yang luar biasa di bidang kepenulisan, Murakami dianggap sebagai tokoh penting dalam sastra posmodern. The Guardian memujinya sebagai salah satu novelis terbesar di dunia yang masih hidup saat hidup.
Duuh jadi kangen baca2 sastra :’)
Keren pisan!
Makasih ya Rip! 😀