Jika ada satu monumen dalam pantheon kuliner modern Indonesia yang mampu menyatukan presiden dan pelajar, konglomerat dan seniman, itu bukanlah rendang yang rumit atau soto yang filosofis, melainkan sebuah artefak industri yang elegan dalam kesederhanaannya: Indomie.
Namun, janganlah terkecoh oleh kemasannya yang polos dan harganya yang demokratis. Seperti manuskrip abad pertengahan yang menunggu untuk ditafsirkan, sebungkus Indomie menyimpan kosmos makna, kontradiksi, dan kenikmatan yang hanya dapat diurai oleh seorang ars magna sapienti—seorang ahli dalam seni kebijaksanaan besar.
Teorema Kenikmatan Orang Lain
Mari kita mulai dengan paradoks pertama, yang saya sebut "Teorema Kenikmatan Orang Lain" (Delectatio per Alium). Adalah sebuah aksioma, yang dapat dibuktikan melalui eksperimen empiris maupun refleksi fenomenologis, bahwa semangkuk Indomie yang dimasak oleh tangan orang lain, entah itu ibu, rekan kos, atau penjual warung, selalu lebih nikmat daripada yang kita racik sendiri. Mengapa demikian?
Proses memasak sendiri adalah sebuah narasi yang sudah kita ketahui akhirnya. Kita adalah sutradara, penulis naskah, dan aktor utama dalam drama kuliner ini. Kita menyaksikan setiap tahapannya: dari air yang mendidih, mi yang melunak, hingga bumbu yang tercampur. Tidak ada ruang untuk kejutan.
Sebaliknya, Indomie yang disajikan orang lain tiba-tiba saja ada sebagai sebuah hadiah, sebuah objek trouvée, sebuah karya seni yang sudah jadi. Ia datang dengan aura misteri kecil: "Apakah dia memasaknya dengan cara yang sama seperti saya? Mungkin ada sedikit siraman kecap tambahan yang tak terduga?" Kenikmatannya bukan lagi hanya pada rasanya, tetapi pada pengalaman menerima sebuah anugerah yang telah disiapkan, sebuah interupsi yang menyenangkan dalam narasi ego kita.
Varian Rasa Indomie Paling Agung
Kemudian, kita tiba pada perdebatan dogmatis: varian mana yang paling agung? Di tengah gempuran varian limited edition yang berusaha meniru rasa laksa Penang atau bakso Malang, sang "Orisinalitas yang Abadi" (Originalitas Perennis) justru berdiri tegak.
Indomie Goreng Orisinal bukanlah sekadar rasa; ia adalah arkhe, fondasi, bentuk ideal Plato dari semua mi goreng instan. Rasa lainnya hanyalah cabang-cabang, komentar-komentar, atau bahkan penyimpangan-penyimpangan dari teks suci ini. Rasanya yang seimbang, antara manis, gurih, sedikit asin, adalah sebuah soneta yang sempurna. Ia tidak mencoba menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Ia adalah mi instan yang dengan bangga menyatakan keinstanannya, dan dalam kejujuran itulah terletak keagungannya.
Namun, teks utama saja tidak cukup bagi seorang penafsir yang serius. Diperlukan "Glosa dan Marginalia" untuk memperkaya pengalaman. Dalam hal ini, glosa tersebut adalah telur (diceplok atau direbus) dan sawi hijau.
Telur menambahkan protein dan kekayaan tekstur, sebuah catatan kaki yang substantif pada tubuh teks utama. Sawi, dengan kerenyahannya dan nuansa sedikit pahit yang aristokrat, berfungsi sebagai kritik yang menyeimbangkan, ini mengingatkan kita bahwa ada dunia lain di luar MSG dan karbohidrat, dunia sayuran dan kesehatan. Kombinasi ini menciptakan dialektika yang sempurna antara kenikmatan dan (ilusi) kebenaran.
Guilty Pleasure Mi Campur Nasi
Lalu, adakah dosa yang lebih manis daripada memakannya dengan nasi? Inilah puncak dari "Guilty Pleasure" itu sendiri: sebuah tindakan hybris kuliner yang begitu absurd namun begitu memuaskan.
Memakan karbohidrat (mi) dengan karbohidrat (nasi) adalah sebuah paradoks yang menentang semua logika nutrisi modern. Itu seperti menulis komentar tentang sebuah buku di atas kertas yang sama dengan buku tersebut, menumpangkannya, mengaburkan batas antara teks dan tafsiran.
Tindakan ini adalah sebuah perlawanan terhadap orthodoksi diet, sebuah perayaan atas kemubaziran yang disengaja. Ini adalah felix culpa. yakni dosa yang membahagiakan, di mana kita dengan sadar memilih kenikmatan naratif (kombinasi tekstur dan rasa yang luar biasa) di atas narasi kesehatan yang membosankan.
Jadi, apa cara terbaik menikmati Indomie? Ia adalah sebuah ritus. Carilah seorang "imam" (orang lain) untuk menyiapkan "hosti" (mi orisinal) yang telah diterangi dengan "glosa" (telur dan sawi), dan santaplah ritual ini dengan "keyakinan" penuh (bahkan dengan nasi), mengakui bahwa ini adalah sebuah "dosa" yang kita lakukan dengan sukarela.
Karena pada akhirnya, menikmati Indomie bukanlah sekadar soal memuaskan rasa lapar, melainkan sebuah pertunjukan kecil tentang ironi, kenikmatan, dan penerimaan kita akan hal-hal sederhana yang, justru karena kesederhanaannya, menjadi begitu sempurna.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah sebelum komentar dilarang. Jika kolom komentar enggak muncul, hapus cache browser atau gunakan versi web.