Linux punya beragam varian atau spesies yang disebut distro, Debian dan Arch Linux adalah nama distro terbesar.
Dua distro ini seperti dua saudara dengan sifat yang berbeda banget. Debian si sabar yang stabil dan terencana, sementara Arch itu si gesit yang selalu up-to-date.
Nah, Valve, sang kreator Steam, memutuskan untuk meninggalkan Debian, yang menjadi dasar SteamOS sebelumnya, dan beralih ke Arch Linux untuk SteamOS 3.0. Kenapa bisa begitu, sih?
Debian vs Arch Linux: Dua Filosofi yang Beda Jauh
Debian adalah salah satu distro Linux tertua. Ia punya jadwal rilis yang teratur dan Long Term Support (LTS) hingga 10 tahun. Model updatenya cenderung terkumpul: banyak pembaruan kecil dikemas jadi satu, lalu dirilis sebagai versi besar yang sudah dites matang.
Distro ini cocok banget untuk server atau sistem yang butuh stabilitas ekstra. Prinsip "kalau nggak rusak, jangan diperbaiki" sangat kental di sini.
Di sisi lain, Arch Linux menganut sistem rolling release. Artinya, update dilakukan secara terus-menerus, sedikit-sedikit, langsung ke versi terbaru tanpa perlu menunggu rilis besar. Hasilnya? Kita akan selalu dapat software terkini, tapi butuh sedikit lebih banyak perhatian karena perubahan bisa terjadi kapan saja.
Valve butuh distro yang bisa mengikuti ritme pengembangan Steam Deck yang super dinamis. Lawrence Yang, desainer Valve, menjelaskan alasan utamanya:
"Salah satu alasan utama beralih ke Arch adalah rolling update-nya. Ini memungkinkan pengembangan yang lebih cepat untuk SteamOS 3.0. Kami melakukan banyak pembaruan dan penyesuaian khusus untuk Steam Deck, dan Arch ternyata pilihan yang lebih cocok."
Bayangkan saja saat peluncuran, Steam Deck butuh banyak update kecil untuk menyempurnakan performa, kompatibilitas game, driver grafis, atau bahkan kernel Linux itu sendiri. Debian, dengan sifatnya kurang fleksibel untuk hal-hal yang perlu diubah cepat.
Belum lagi lapisan Proton, teknologi ajaib yang membuat game Windows bisa jalan di Linux, sering butuh pembaruan besar. Dengan Arch, Valve bisa langsung mendorong update tanpa harus nunggu siklus rilis Debian yang lama.
BTW I Use Arch
| Foto: @Frieren4Scale |
Selain kecepatan update, Arch juga dikenal lebih ramah untuk desktop dan sistem dengan kebutuhan spesifik. Komunitas Arch sangat aktif, dokumentasinya lengkap dan sistemnya yang minimalis memungkinkan Valve membangun SteamOS dari dasar yang bersih.
Memang, Arch Linux terkenal karena instalasinya manual, mirip pasang PC rakitan sendiri. Tapi Valve nggak akan nyuruh kamu pasang Arch dari nol. Yang Valve ambil dari Arch cuma mesin updatenya yang gesit dan basis software-nya yang up-to-date.
Tampilan, cara pakai, dan pengalaman gaming di SteamOS tetap dirancang agar seramah mungkin, bahkan buat kamu yang cuma tahu install game, main, selesai.
SteamOS pada dasarnya adalah PC gaming dengan lingkungannya sendiri. Butuh kustomisasi tinggi, dari antarmuka Steam Big Picture sampai optimasi daya dan grafis.
Perpindahan dari Debian ke Arch bukan karena Debian buruk, tapi karena kebutuhan yang berbeda. Debian tetap jadi pilihan terbaik untuk server atau sistem yang harus stabil selama bertahun-tahun. Sementara Arch, dengan kelincahannya, jadi mitra ideal bagi Valve yang ingin bergerak cepat, bereksperimen, dan merespons feedback pengguna Steam Deck secara real-time.
Jadi, buat yang menanti Steam Machine, bersiaplah merasakan meme "BTW I use Arch" dalam SteamOS dengan sistem yang selalu fresh, responsif, dan siap mendukung gaming experience terbaik di Linux.

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah sebelum komentar dilarang. Jika kolom komentar enggak muncul, hapus cache browser atau gunakan versi web.