friedrich nietzsche – Kearipan https://www.kearipan.com Jurnal otaku, bacot pop culture dan segala yang tak usai. Fri, 02 Dec 2022 14:15:24 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://i0.wp.com/www.kearipan.com/wp-content/uploads/2020/10/cropped-arip-favicon-1.jpg?fit=32%2C32&ssl=1 friedrich nietzsche – Kearipan https://www.kearipan.com 32 32 183987870 Nasihat Cinta dari Nietzsche dan Sartre https://www.kearipan.com/nasihat-cinta-dari-nietzsche-dan-sartre-2/ https://www.kearipan.com/nasihat-cinta-dari-nietzsche-dan-sartre-2/#respond Mon, 13 Aug 2018 14:25:35 +0000 http://yeaharip.com/?p=42285 paris-bridge-1024

Memagut bibir dan mengunci jemari tidak terlalu berbahaya, tetapi mengunci ke dalam cinta adalah hal yang sangat berbahaya — baik secara kiasan maupun secara harfiah. Pecinta di abad dua puluh satu begitu erat dengan metafora tadi, yang mana pada tahun 2015, Pont des Arts di Paris harus dilepaskan dari beban empat puluh lima ton gembok yang begitu memberatkan, yang dipasang oleh para pecinta itu. Kunci-kuncinya, yang dilemparkan ke bawah, menjadi sampah di Sungai Seine. Sementara gembok cinta Paris dilelang untuk mengumpulkan uang buat amal, gembok-gembok macam begini masih menutupi beragam memorial di seluruh dunia — dari jembatan lain di Paris, ke Jembatan Brooklyn, ke pagar di Hawaii dan Australia. Para perencana kota kini menjadi jagoan-jagoan kebetulan dalam perang suci melawan obsesi ini, meskipun fenomena ini tetap ada walau upaya terbaik mereka untuk menggagalkannya telah dikerahkan.

Friedrich Nietzsche mungkin kecewa, tetapi tidak terkejut, mengetahui bahwa kita masih terobsesi dengan kunci gembok untuk melambangkan cinta. Cinta, pikirnya, bisa menjadi “naluri yang paling suci” dan “stimulus terbesar kehidupan.” Tetapi seringnya, cinta bermanifestasi sebagai keinginan untuk memiliki yang rakus dan dekaden. Seperti yang dipikirkan Nietzche, pecinta terlalu sering bertindak seperti “sang naga yang menjaga timbunan emasnya” dan memperlakukan seekor kekasih seperti burung eksotis— “sebagai sesuatu yang harus dikurung untuk mencegahnya terbang menjauh.” Rantai bisa menyamankan, seperti lengan kekasih, tetapi Nietzche adalah pendukung untuk membebaskan diri kita dari belenggu kecil mitologi romantis ini, terutama ideal untuk mengamankan cinta. Cinta adalah sebuah perasaan, dan tidak masuk akal untuk berpikir — apalagi bersumpah — bahwa kita akan terus memiliki perasaan tersebut sampai kematian memisahkan kita.

Jean-Paul Sartre, yang membaca (dan mengejek dengan kejam) Nietzsche di perguruan tinggi, menghabiskan sebagian besar waktunya meminum minuman beralkohol di kafe Saint-Germain-des-Prés yang hanya beberapa langkah dari Pont des Arts, mencoret-coret di buku catatan, dan mengejar perempuan muda yang cantik. Sebagai jago kebebasan eksistensial, Sartre berpendapat bahwa untuk menerima pandangan orang lain tentang bagaimana Anda seharusnya hidup merupakan semacam penipuan diri yang ia labeli ‘itikad buruk’, mauvaise foi. Tak berteman dengan norma-norma borjuis, ia berpendapat bahwa masing-masing dari kita bertanggung jawab atas pilihan hidup kita sendiri. Seseorang yang bebas seharusnya tidak mengunci dirinya dalam suatu hubungan yang bisa menjadi kandang yang tak nyaman. Buang kunci itu, dan Anda membuang kebebasan Anda. Bersikap bebas adalah memiliki kemungkinan untuk mengubah arah, mendefinisikan kembali diri Anda sendiri, dan menjungkirbalikkan gambaran orang lain tentang apa yang seharusnya Anda lakukan.

Menurut Sartre, cinta hanya ada dalam tindakannya. Jadi jika membeli gembok kuningan dan meninggalkannya, bersama dengan ribuan lainnya, untuk memberatkan monumen bagi Anda merupakan tindakan cinta yang istimewa, indah, dan bermakna, Sartre mungkin tidak akan menghentikan Anda. Namun, dia akan meragukan keotentikan sebuah tindakan macam begitu. Gembok cinta bukanlah tradisi kuno tetapi sebuah tren yang dimulai di Roma pada tahun 2006 setelah popularitas buku (dan film adaptasinya) I Want You, oleh Federico Moccia. Dalam cerita itu, dua kekasih mengunci rantai di sekitar tiang lampu di Ponte Milvio di Roma dan melemparkan kunci ke Sungai Tiber. Hal itu melambangkan gagasan bahwa mereka akan selalu menjadi milik satu sama lain.

Simbol kunci gembok mungkin tampak sangat bertentangan dengan pandangan cinta eksistensial. Begitu kunci telah dibuang, tidak ada jalan keluar. Namun Sartre menggunakan metafora yang sama secara berbeda, menunjukkan bahwa kekasih dapat bertindak bukan sebagai gembok tetapi sebagai kunci untuk membuka kehidupan batin Anda. Tanpa seseorang yang meneliti, melibatkan diri, dan menghargai Anda, mungkin ada aspek-aspek diri Anda yang akan tetap selamanya tak terlihat. Keintiman seorang kekasih dapat mengungkapkan keinginan dan sikap tersebut.

Bagi Sartre, sukacita cinta adalah ketika kita merasa aman dalam kepemilikan kita satu sama lain dan menemukan makna hidup kita di dalam dan melalui orang lain. Masalahnya adalah ini hanya ilusi. Tidak ada yang aman tentang cinta romantis. Karena kekasih bebas memilih untuk menjalin hubungan, mereka juga bebas untuk pergi, dan ini membuat cinta terus-menerus rentan. Menurut Sartre, hal ini mendorong para pecinta ke lingkaran setan dari permainan kekuatan sadomasokistik. Mereka mencoba untuk mengendalikan satu sama lain dan menuntut jenis kepemilikan yang diindikasikan oleh gembok. Hasilnya adalah para pencinta akhirnya mencoba untuk merampas kebebasan mereka satu sama lain tanpa pernah sepenuhnya mencapai kepemilikan yang mereka inginkan, itulah mengapa Sartre menyimpulkan bahwa cinta adalah konflik.

Tidak ada yang salah dengan berharap cinta itu akan bertahan. Bahkan, harapan yang bertahan akan membedakan romansa dari nafsu birahi. Bagi Sartre, kekasih mendefinisikan diri mereka dengan memilih untuk saling mencintai baik sekarang maupun di masa depan. Namun itulah paradoks dari cinta: kita tidak dapat mengetahui seperti apa kita di masa depan, dan sebanyak yang dapat kita pilih dengan bebas untuk melakukannya, untuk mengikat masa depan diri adalah penolakan kebebasannya sendiri.

Orang mungkin bertanya-tanya: Bisakah kita melepaskan keinginan untuk menjadi bal dan rantai bagi satu sama lain? Simone de Beauvoir tentu saja bertanya-tanya tentang hal itu dan berpendapat bahwa hubungan terbaik pasti otentik. Dalam hubungan yang otentik, kekasih menghormati kebebasan satu sama lain dan terus melatih dirinya sendiri. Beauvoir dan Sartre memiliki sebuah hubungan terbuka, sesuatu yang radikal dari konvensi sewaktu itu. Namun, mereka menuntut jaminan bahwa mereka adalah partner utama bagi masing-masing, yang mungkin telah menolak kebebasan tertentu dari mereka.

Sikap posesif sangat mendasar bagi pengalaman cinta, pikir Sartre, bahwa untuk mengatasi hasrat memiliki sang kekasih adalah mengatasi cinta itu sendiri. Namun dalam banyak hal, ia kurang menganjurkan gembok dan lebih memilih untuk menjadi kunci: Cinta itu seperti melemparkan diri dari jembatan ke Sungai Seine. Dibutuhkan keberanian untuk melompat ke dalam suatu hubungan, dan Anda tidak tahu di mana dan kapan Anda akan menetap, jika keadaan memungkinkan. Sartre tetap melakukannya — dan akan menyarankan agar kita juga melakukannya.

*

Diterjemahkan dari artikel di The Paris Review berjudul Advice on Love from Nietzsche and Sartre. Skye C. Cleary adalah penulis Existentialism and Romantic Love dan mengajar di Universitas Columbia, Barnard College, dan City College di New York.

]]>
https://www.kearipan.com/nasihat-cinta-dari-nietzsche-dan-sartre-2/feed/ 0 42285
Apa yang Dapat Saya Bicarakan Soal Saya dan Ngaleut https://www.kearipan.com/apa-yang-dapat-saya-bicarakan-soal-saya-dan-ngaleut/ https://www.kearipan.com/apa-yang-dapat-saya-bicarakan-soal-saya-dan-ngaleut/#comments Fri, 20 May 2016 02:59:10 +0000 http://yeaharip.com/?p=22438 Hal terpenting yang kita pelajari di sekolah ialah fakta bahwa hal paling penting enggak dapat dipelajari di sekolah, tulis Haruki Murakami. Dalam What I Talk About When I Talk About Running-nya, ada beragam kalimat aduhai yang bisa dipinjam kalau-kalau ingin ditulis di caption Instagram, dan yang tadi adalah kalimat favorit saya.

Karena memang, sesuai pengalaman hidup saya sejauh ini, Google justru lebih banyak mengajarkan saya ketimbang sekolah selama bertahun-tahun yang menguras kantong orangtua. Tentu saja, kita enggak bisa menampik, sekolah sangat penting, minimal untuk mendapat segenggam ijazah pun gelar.

Meniru Lao Tze, juga Kabayan, saya sebenarnya pemalas akut, juga skeptis dalam menjalani hidup, namun beruntungnya orang-orang selalu berpikir saya adalah seorang bijak bestari—memang dari nama mencerminkan itu. Tapi jika kau bertanya bagaimana cara belajar kebijaksanaan hidup, Google yang serba tahu pastinya bisa menjawab. Atau, menurut bacotan filsuf edan bernama Friedrich Nietzsche: Segala pikiran besar terkandung dengan berjalan kaki.

ngaleut the beatles

Sialnya, selain membaca, budaya paling enggak diminati orang Indonesia adalah berjalan kaki. Padahal tanpa perlu susah-susah menekuri, atau bahkan mengenali nama-nama seperti Socrates, Confucius, Ibnu Sina, Descartes, Kierkegaard, Schopenhauer, Tagore, Camus, Sartre, Foucalt, St. Sunardi, Yasraf atau Alain de Botton, cukup dengan hanya berjalan kaki mengamati sekitarmu, kau tetap bisa mengambil pelajaran yang enggak ternilai harganya. Agar lebih pandai membaca ayat kauniyah, beragam pertanda di sekitar kita, berjalanlah bersama para pecinta kearifan lainnya, lebih baik lagi kalau kau bisa berjalan berdampingan dengan orang bernama Arif, hehe—untuk catatan, saya jutek sama yang belum akrab, tapi aslinya baik hati, lho.

Lihat: Ngaleut Sebagai Piknik Sokratik

Di suatu Minggu pagi saat bulan sedang September 2014, Taman Balaikota Bandung sudah dikunjungi beragam manusia, meski para muda-mudi penari yang mereplikasi para grup idola Korea belum hinggap. Sebagai orang baru, tentu saya datang pagi-pagi betul, enggak mau telat. Ingatlah ini baik-baik, salah satu momen paling berhargamu di Komunitas Aleut! adalah apabila ketika ngaleut perdanamu disambut oleh Ajay, apalagi jika kamu perempuan cantik. Begitulah, ngaleut pertama saya bertajuk Bandung Kota Pendidikan. Saat itu saya tengah gandrung mempelajari fotografi dan videografi, berkat baru kesampaian memegang sebuah kamera DSLR, Nikon D3100 tercinta, hasil dari hadiah lomba esai tingkat nasional (meski sampai sekarang pun, saya masih menganggap diri saya ini esais yang payah). Utamanya street photography atawa fotografi jalanan, saya saat itu sedang getol-getolnya mengagumi Henri Cartier-Bresson, Robert Frank, Vivian Maier, Daido Moriyama, Kai Man Wong dan streettog lainnya. Bahkan, ada pikiran kalau saya bisa masuk agensi fotografi bergengsi macam Magnum Photos atau National Geographic. Boleh dibilang sindrom-pertama-punya-DSLR lah, tapi saya masih menyuntuki fotografi hingga sekarang, lebih ke arah filosofis ketimbang praktisnya, lebih-lebih setelah belakangan mengenal fotografer cum penulis semisal Susan Sontag dan Teju Cole. Untuk sekarang, saya lebih sering mempercayakan kamera saya pada Ajay—saya baru menyadari kalau saya lebih suka jadi model ketimbang fotografer.

Saya pikir bagi yang ingin mengasah kemampuan fotografinya bisa disalurkan lewat ngaleut ini. Kesalahan terbesar para fotografer pemula di era kekinian adalah menghabiskan waktunya mempelajari tektek-bengek perkameraan lewat forum internet, dan ini hanya akan membuatmu terinfeksi Gear Acquisition Syndrome (GAS). Begitu juga ketika gabung dengan komunitas fotografi, bukan sesuatu yang salah sih, tapi biasanya penyakit GAS tadi pun ikut muncul; harus beli lensa fix, harus punya filter ini, harus pasang aksesoris itu lah, ganti kamera jadi mirrorless, harus upgrade ke full frame. Fotografi memang hobi mahal, ya, saya setuju akan ini, tapi jangan salahkan kameramu untuk mengambinghitamkan kemampuan fotografimu yang payah. Lihat Moriyama, hanya dengan kamera saku, dan selama 50 tahun enggak pernah bosan obyek fotografinya cuma jalanan Tokyo, namun bisa bikin pameran di berbagai negeri. Seperti halnya master fotografi jalanan asal Jepang itu, jadikan diri kita layaknya seorang turis di kota sendiri. Dengan bergabung di Komunitas Aleut! pun, kau pun bisa bertemu dengan orang-orang yang punya kegemaran fotografi juga, belajar dengan mereka, dan hunting foto di setiap ngaleut.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya ini pemalas. Saya lebih seorang pemalas ketimbang penulis. Dan daripada penulis, lebih seorang penggaya. Saya menulis di blog sudah sejak 2009, dari saat masih berseragam putih abu bau kencur, dan menghasilkan beragam tulisan sampah, yang beruntungnya beberapa kali dipercaya jadi pekerja teks komersial. Nah, setidaknya, dengan ngaleut, bagi yang suka menulis bisa mendapat inspirasi untuk menuliskan catatan perjalanannya. Komunitas Aleut! juga beberapa kali melakukan proyek penulisan.

Kau tak bisa jadi pengarang fiksi serius yang hebat, sebut Kurt Vonnegut, jika kau enggak depresi. Celakanya, saya mempercayai omongan tersebut, gagal mempertahankan sikap skeptis saya. Anehnya saya enggak merasa minder meski kuliah di Keperawatan, bahkan bisa berkelit, bukankah Walt Whitman sang bapak penyair Amerika yang menjadi pionir puisi gaya bebas dan Agatha Christie, novelis yang bukunya paling laris di dunia (hanya dikalahkan Shakespeare dan Injil-juga Al-Quran), bukankah pernah jadi perawat juga? Oh, adakah cara untuk menghentikan saya yang bebal pengen jadi penulis ini? Karena belum ada cara untuk membuat saya berhenti punya impian celaka menjadi pengarang, saya ingin menyaingi Utuy T. Sontani saja, yang dipuji Pram sebagai ‘pengarang pesimis terbesar di Indonesia’.

Salah satu pejalan kaki favorit saya adalah James Joyce, yang menjadikan jalan kaki sebagai tema dalam novel babon paling berpengaruh untuk sastra modern yang sekaligus sukses bikin kepala pening, Ulysses. Ada keinginan saya dalam upaya merekam kota sendiri seperti Joyce dengan Dubliners-nya. Mungkin judulnya Orang-Orang Bandung (eh, tapi kesannya kayak judul kumcer Budi Darma sih). Tentu saja, dengan gaya yang baru, ala-ala fiksimini Etgar Keret yang surealisme sosialis misalnya, belum ada di Indonesia, dan semoga enggak diberangus aja sih. Yang pasti, lewat ngaleut kau bisa mendapat beragam inspirasi menulis, bisa dibilang ini sebuah proses kreatif sastrawi. Sudah ada beberapa yang saya tulis dan bagikan, salahsatunya, yang terbaik sejauh ini: Wendy’s. Bacalah selagi masih ada, soalnya ada yang tertarik menerbitkan, kalau-kalau perlu dihapus.

Ah, sebenarnya apa yang saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini? Maaf, bagi yang sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan enggak jelas ini. Maaf juga telah menjejal beragam nama-nama, kau bisa menghiraukannya, atau kalau berminat mengenal lebih lanjut mereka silahkan buka Google saja. Tapi nampaknya, saya harus mencatut nama-nama lagi, maafkanlah saya yang mungkin terkesan ingin dipuji intelektualitasnya ini. Berikut dari filsuf favorit saya, Albert Camus, yang hobi bengong berjam-jam di kedai kopi dan doyan berjalan kaki ke sana-kemari

Jangan berjalan di belakangku; aku tidak akan memimpinmu. Jangan berjalan di depanku; aku tidak akan mengikutimu. Berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku.

Ada beratus-ratus kata, bahkan beribu halaman lagi yang bisa saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini, yang mungkin bakal mengalahkan War and Peace-nya Leo Tolstoy. Tapi dari kalimat Camus tadi sudah sangat mewakili apa ngaleut, dan lebih tepatnya soal apa Komunitas Aleut!

+

Post-scriptum:

Jangan terlalu menseriusi saya, seperti yang sudah saya bilang, seperti Lao Tze, saya pemalas akut. Dan seperti ujaran Nietzsche dalam The Twilight of the Idols-nya: aku hanya mau mengimani Tuhan yang bisa menari. Ya, ya, saya hanyalah seorang yang kebanyakan nonton idol menari di Youtube, hehe.

]]>
https://www.kearipan.com/apa-yang-dapat-saya-bicarakan-soal-saya-dan-ngaleut/feed/ 9 22438
Kakayaan Batin Ki Sunda https://www.kearipan.com/kakayaan-batin-ki-sunda/ https://www.kearipan.com/kakayaan-batin-ki-sunda/#comments Wed, 02 Mar 2016 06:03:03 +0000 http://yeaharip.com/?p=16721 Di urang geus taya nu bireuk deui kana padoman hirup nu geus mangrupa pangdoa pangjurung ti kolot-kolot, nu unina, “Sing cageur jeung bageur.”

Puguh baé ieu padoman hirup téh sipatna universal, ngagambarkeun jiwa nu jembar tur séhat. Dina “cageur jeung bageur” geus kawengku mangpirang-pirang bekel pigeusaneun kumelendang di jagat raya.

Hirup daréhdéh soméah ka sémah, paroman nu leuwih loba beragna batan kucemna, nya kitu deui sikep teu rek telenges ka batur, tapi cukup ku ngoconan ngaheureuyan, tur dina kapépédna tuluy seuri nyeungseurikeun katololan diri sorangan, éta kabéh geus jadi konsékwénsina hirup cageur jeung bageur nu sok narémbongan dina hirup Ki Sunda sapopoéna.

Nu matak kacida kahartina mun di Sunda lahir carita-carita Si Kabayan, carita-carita manusa nu calageur, sarta ku lantaran calageur balageur téa tuluy ngeusian hirup ku bobojegan ngajak seuri nyieun pikaseurieun.

Ku nu disebut carita-carita Si Kabayan téa tara ieuh kakurangan teu diwatesanan ku Si Kabayanan ngala tutut, Si Kabayan maling lahang, Si Kabayan jorang, sakumaha nu geus dikumpulkeun ku Dr. Coster-Wijsman dina disertasina “Uilespiegel-Verhalen in Indonesie“, tapi lamunperlu ngarang sorangan saharita. Teu héséeun ieuh, da nu disebut Si Kabayan téh bisa batur sagawéna, bisa tatanggana, bisa batur saimahna, malah bisa dirina sorangan.

Saenyana teu salah-salah teuing mun disebutkeun, yén sok saupama urang Barat ngabarogaan “Kerajaan Seribu Tahun”, hiji karajaan nu diwangun ku hirup wedi-asih nu dina ihtiar pikeun ngawangunna maké padoman Kristus, keur urang Sunda mah éta “Kerajaan Seribu Tahun” teh dunya tempat bobojégan jeung tempat seuri téa, sarta padoman pikeun ngawangunna nya Si Kabayan.

Tangtu aya nu teu mikeun Si Kabayan nepi ka disasaruakeun jeung Kristus. Tapi naon salahna? Cenah éta Si Kabayan mah tokoh lembut, ari Kristus sakitu badagna. Ari soal lembut jeung badag mah kapan kumaha ceuk nu napsirkeunana.

Da ayana anggapan lembut ka Si Kabayan ogé moal boa sanggeusna si itu si éta pada barisa ngarang carita Si Kabayan, nu dina ngarangna téa teu nepi ka dijugjugan jero-jerona, ngan asal katénjo pikaseurieunana, katénjo bobojéganana. Henteu kungsi diteuleuman yén Si Kabayan nu asli mah lain ngan ngajak seuri pikeun seuri wungkul.

Meureun aya nu nanya: ari Si Kabayan nu asli téh nu mana téa? Naha éta nu ngala tutut dieuradan sapédah di sawah aya kalangkang langit nu jero lungkawing, tapi sanggeusna disuntrungkeun tuluy nyebut: “El, da déét”? Naha éta nu naék kana tangkal kawung maling lahang, tapi barang kaperego ku nu boga tuluy dadaku: “Néangan jalan ka langit”? Atawa éta nu sok jorang, nu sok ngaheureuyan mitohana?

Ieu kabéh, nu dikumpukeun ku Dr. Coster-Wijsman dian disertasina téa – nua asalna ti Banten – memang carita-carita asli di sabudeureun Si Kabayan. Tapi ari aslina Si Kabayan nu mana?

Di Pandéglang, di daérah Banten tempat asal lahirna carita-carita Si Kabayan nu asli téa, aya makam nu nepi ka ayeuna mamsih kénéh dianggap sangar. Eta makam cenah makam Si Kabayan. Anéh na lain ngan di Pandéglang baé, tapi di Menés ogé, nya kitu deui di tempat-tempat séjénna di Banten, nu disebut makam Si Kabayan téh aya tur sarua dianggap sangar.

Leupas tina soal nu mana-manana nu rék dicokot, tapi hiji geus tétéla yén éta Si Kabayan nu makamna sangar téh pinastina lain si itu si éta.

Ieu alesan kahiji yén tokoh Si Kabayan ti girangna mah menta dipikirkeun leuwih jero.

Alesan kadua aya dina buku “Pariboga” yasana C.M. Pleyte. Dina éta buku aya carita Si Kabayan nu asalna ti Bandung, nu sama sakali euweuh pikaseurieunana, tapi istuning mistérieus. Si Kabayan di dinya dicaritakeun lain jelama samanéa, tapi hiji jelema sakti, jelema nu méré kabeungharan ka mitohana ku jalan melak paré nu taya béakna, tapi sanggeusna méré kabeungharan tuluy lolos ilang tanpa karana teu némbongan deui, sarta ku jalan kitu Si Kabayan disangka susurupan Déwata ti Sawargaloka.

Ku ieu alesan, tétéla yén carita-carita Si Kabayan nu pikaseurieun téh saenyana nyumputkeun misteri, yén ngajak seurina Si Kabayan nu asli mah lain ngajak seurina hiji badud nu ngan sakadar ngabadud.

Neuleuman ngajak seurina Si Kabayan, neuleuman hasil sastra baheula, mungguh di Sunda mah kawengku ku pituduh karuhun, yén bisana kateuleuman teh ngan “ku nu weruh di semuan, ku nu rancagé haténa”.

Jero sotéh keur nu teu weruh di semuna, da ari nu rancagé haténa mah kana omongan-omongan: “El, da déét” dina ngala tutut, “Néangan jalan ka langit” dina maling lahang, jst., tangtu ujug-ujug wawuh yén éta omongan-omongan téh saenyana ajakan pikeun seuri ka luar ka jero; ka luar ngajak gumbira, ka jero nyeungseurikeun diri sorangan.

Ari nyeungseurikeun diri sorangan téa tandaning cageur. Moal aya nu leuwih cageur batan nu bisa ngiritik diri sorangan ku jalan nyeungseurikeun diri sorangan.

Tapi kacageuran-bageuran Si Kabayan teu semet kitu, teu semet sok ngajak seuri ka jero nyeungseurikeun diri sorangan di sagigireun ngajak seuri ka luar-luar ku jalan neunggeul ku bobojégan. Leuwih ti éta, manehna mah geus bisa manggihan puncakna kacageur-bageuran dina sikep teu naon-naon ku naon-naon.

Sikep Si Kabayan kieu, sikep teu naon-naon ku naon-naon ne nepi ka ayeuna henteu euweuh dian élmu kabatinan urang Sunda, mindeng digambarkeun dina tingkah lakuna nu malah geus jadi watek sapopoena, Méméh naon-naon Si Kabayan teh sok disebutkeun heula ngedulna, gawe ngan ngimpi di saung.

Pikeun nu teu naon-naon ku naon-naon, keur naon digawe popohoan? Keur naon ribut berjuang, da euweuh nu kudu diperjuangkeunana. Mending ogé cicing!

Carita Si Kabayan nu ngaheureuyan mitohana ku jalan ngabalur manéh ku kapuk tuluy naék kana tangkal di saluhureun kuburan nu sok dijarahan ku mitohana, nu satuluyna ngaku-ngaku magar karuhun sarta nitah ka mitohana sangkan Si Kabayan dibéré paré beubeunangan ti huma nu karek dipibuatan, cukup jelas ngagambarkeun kaunggulan Si Kabayan nu teu naon-naon ku naon-naon kontra mitohana nu sok naon-naon ku naon-naon. Mitohana nu popohoan ngagarap huma, tapi ku lantaran percaya ka naon-naon nua aya di sabudeur kuburan, kajadianana bisa dielehkeun ku Si Kabayan nu ngedul teu daék ngagarap huma.

Ieu carita, nu anéhna dina kumpulan Dr. Coster-Wijsman mah ngan ukur disabit tamba teu kasebut, saenyana ngarpakeun hiji ti antara carita-carita Si Kabayan nu pangkuatna, malah pangjelasna ngagambarkeun saha-sahana Si Kabayan, kumaha ide Ki Bujangga. Filsafat “sia hukum ku sia” dina éta carita jelas digambarkeun, dikeunakeun ka nu sok naon-naon ku naon-naon.

Naha Dr. Coster-Wijsman teu kungsi medarkeun lengkepna ieu carita teh lantaran Si Kabayan palebah dieu mah geus teu sarimbag deui jeung Uilespiegel-Verhalen in Indonesie?

Gambar Si Kabayan palebah dieu mémang méh sarimbagna ngan jeung Lao Tze, filsuf munggaran Tiongkok nu hirup dina jaman 600 taun saméméh Maséhi, nu sok kacaritakeun mindeng ngimpi di saung butut, teu milu ribut jeung ributna masarakat, tapi dina sakalina disada ngayonan lawan, sok bisa neunggeul ngéléhkeun.

Meureun jadi pertanyaan: mun Si Kabayan sakitu badagna, naha atuh dina carita-caritana eta kabadaganana téh tara nembongan, nu nembonganana mah ngan bobojéganana, ngan ngajak seurina?

Kapan geus jadi bakatna karuhun Sunda tara terang-terangan nerangkeun wiji, sok buni ku pamungkas. Parandéné kitu, ari pamungkas nu ngabunian kabadagan Si Kabayan mah lain pamungkus nu hare-hare misah tina wijina. Tapi pamungkus jeung eusi nu gembleng jadi hiji, ngajengglengkeun ide Ki Bujanggana, yén: “Mungguh di ieu dunya taya naon-naon nu kudu dinaon-naonkeun, iwal ti seungseurikeuneun.”

Kitu hakekat carita-carita Si Kabayan, sarta nya kitu pisan puncak-puncakna nu kahontal ku filsafat hirupna Ki Sunda dina nyumponanana pituduh “cageur jeung bageur” ogé.

Naha hirup kitu téh geus sampurna?

Sok mun dunya Ki Sunda tetep sagedé Sunda, sok mun nu disebut deungeun-deungeun tetep tunggal Ki Sunda kénéh, puguh baé taya nu leuwih sampurna batan ti kitu.

Tapi dunya téa henteu tetep: dina umurna nu panjang, dina kaabadianana aya jaman, aya taun, aya bulan, aya poé, aya jam malah aya menit nu ngadatangkeun naon-naon tur ménta disanghareupan ku sikep ulah teu naon-naon ku naon-naon.

Hirup teu naon-naon ku naon-naon, hirup seuri. hirup bobojégan, éta geus teu salah deui jadi hirup langgengna Ki Sunda dina sapanjang umurna dunya, “Kerajaan Seribu Tahun” nu kudu diwangun ku Ki Sunda ti jaman ka jaman. Tapi ku lantaran dunya henteu tetep téa, ku lantaran dina kaabadianana tea aya saat-saat nu kudu disanghareupan, urang Sunda ogé ulah salancar, dina hirupna ulah ngarasa sugema ku cicing lantaran teu naon-naon ku naon-naon, dina batinna ulah ngan nenjo aya Si Kabayan. Kudu aya téténjoan séjén keur bekel enggoning nyanghareupan saat-saat téa, nu tampolana lain ngan ménta katangginasan, kategasan wungkul, tapi ogé diperlukeun kateucageuran jeung kateubageuran. Cohagna: kudu aya téténjoan séjén nu sabalikan ti Si Kabayan, nu ngajak nitah kudu naon-naon ku naon-naon.

Naha karuhun Sunda, sajaba ti ngawariskeun Si Kabayan téh ngawariskeun saha deui ka Ki Sunda. Naha ngan ninggalan Si Kabayan wungkul?

Ngeunteung heula ka Barat, di Barat mah aya kacapangan yén di sasagigireun Kristus nu ngajak ngawangun “Kerajaan Seribu Tahun” téh aya Nietzsche. Nietzsche nu ngamusuhan Kristus, nu ngeyéhkeun gunana hirup wedi-asih, nu ngan ngaku kana bener ceuk aing, nu nuduhkeun yén munggah hirup di ieu dunya téh ngan keur waktu salila aing aya; Nietzsche nu ceuk pikiran normal mah cenah “jelema édan”. Tapi nya Nietzsche nu kitu pisan nu kungsi aya dina batinna Hitler ogé, dijadikeun cecekelan enggoning ngeusian hirup nu dinamik, ku napsu hayang ngawasa.

Nietzsche ditempatkeun di sasagigireun Kristus, lain ngan ngalambangkeun yén di sagigireun hirup nu langgeng aya hirup ayeuna, di sagigireun kaabadian aya saat-saat nu disanghareupan, tapi mémang kitu kanyataan manusa: dina batinna aya dua bebeneran nu berlawanan, di sagigireun ayana sora-sora nu ngajugrug kudu hirup wedi-asih, teu bisa dipungkir deui ayana sora-sora nu ngajurung kudu kejem, kudu telenges kudu ulah wedi-asih. Hiji kanyataan nu nyata, sarua nyatana jeung ayana poék nu ngabanding caang, ayana peuting nu ngabanding beurang, ayana awéwé nu ngabanding lalaki.

Balik deui ka Sunda, pertanyaan tadi dibalikan deui: ari dina batin Ki Sunda, nu diwariskeun ku karuhun téh aya saha deui salian ti Kabayan? Naha dina batin Ki Sunda aya sora-sora nu jadi lalawananana sora-sora si Kabayan. Sora nu ngajak teu cageur teu bageur, ngajak kudu naon-naon ku naon-naon?

Ieu pertanyaan dijawabna ngan kudu ku ngoréhan deui tokoh kasusasteraan Sunda baheula nu nepi ka kiwari tetep hirup di masarakat Sunda.

Tapi teu kudu hésé néangan, teu kudu capée ngungkahan. Dina hal ngajenggléngkeun hasil sastra mah karuhun Sunda henteu éléh ku nu nyieun Borobudur. Da geus lain dikotrétkeun dina batu deui, tapi dijegirkeun dina gunung, dikocorkeun dina walungan, disebarkeun di mangpirang-pirang tempat.

Kangaranan urang Sunda, ku jegirna gunung Tangkubanparahu nu aya di sakaléreun kota Bandung moal weléh ngarasa diingetan yén dina jaman baheula téh aya hiji dongéng nu didongéngkeun deui, hiji carita nu geus dipikawanoh di sakuliah tanah Sunda kalawan dikuatan ku mangpirang-pirang tempat nu jadi sasakalana.

Di Rajamandala aya Sanghiang Tikoro, di Purwakarta aya Sanghiang Kendit nu cenah urut Sang Kuriang ngabendung Citarum, nyieun talaga keur lalayaran oléng pangantén jeung Dayang Sumbi. Di Banten aya Jawungkal, pasir leutik nu cenah urut taneuh nu diangkut ku Sang Kuriang basa nyieun talaga, tapi ku lantaran reuwas dibéjaan kabeurangan, éta taneuh tuluy ditamplokkeun. Di wewengkon Sukabumi, di walungan Cimandiri aya tempat nu loba batu alina, da di dinya–cenah–Dayang Sumbi nu diudag-udag ku Sang Kuriang kungsi ragrag alina.

Tapi henteu cukup ku kitu, henteu cukup ku dituliskeun dina alam nu ngampar di bumi Sunda. Di pasisian wewengkon Cirebon mah aya kapercayaan yén lamun di langit ramé dordar gelap, éta téh Sang Kuriang jeung Dayang Sumbi ramé udag-udaganana, geus padeukeut méh katéwak.

Carita-carita Sang Kuriang nu aya di sakuliah Sunda téa, najan teu sarua dina tempat kajadianna, teu sarua dina galurna, tapi ari wijina mah éta-éta kénéh, nyaritakeun hiji lalaki nu bogoh ka indung. Aya nu pungkal-péngkol dina ngamimitianana, aya nu sumpang-simpang dina nutupkeunana. Tapi lamun rék dicokot anu umumna, éta carita bisa dicaritakeun deui kieu:

Dayang Sumbi, mojang geulis nu keur sedengna petikeun, dina hiji mangsa ngadekul ninun dina saung ranggon. Dadak dumadak taropongna ragrag ka kolong, sarta dadak dumadak manéhna katarajang leuleus tanpa daya, teu aya tanaga pikeun cengkat.Tuluy ragrag omong yén lamun aya nu mangnyokotkeun éta taropong, éta nu mangnyokotkeun, mun awéwé bakal diaku dulur, mun lalaki bakal diaku salaki.

Kadéngéeun ku Si Tumang, anjing jalu nu harita keur camperego di kolong. Teu talangké deui tuluy éta taropong dipangnyokotkeun, dipasrahkeun ka Dayang Sumbi. Nénjo Si Tumang nu nyodorkeun taropong, Dayang Sumbi jadi reuwas, inget kana janji tadi. Si Tumang disieuh-sieuh diusir, tapi teu daékeun nyingkah. Saterusna Dayang Sumbi jadi kapulesan, teu inget naon-naon. Tapi ti harita Dayang Sumbi tuluy reuneuh sarta sanggeus nepi kana waktuna tuluy ngajuru, anakna lalaki, nya dingaranan Sang Kuriang.

Sanggeus jajaka, dina hiji poé Sang Kuriang moro jeung Si Tumang. Tapi sapoé jeput morona teu beubeunangan. Turug-turug Si Tumang nyieun peta teu nyugemakeun, teu daék nurut kana paréntah. Teu panjang dipikir deui Si Tumang tuluy dipeuncit, ari haténa dibawa balik, dijieun oléh-oléh ka nu di imah, ulah mulang léngoh teuing.

Sanggeusna dipasak jeung didahar ku Dayang Sumbi, kakara Sang Kuriang bébéja yén éta nu didahar téh saenyana mah haté Si Tumang. Puguh baé Dayang Sumbi jadi ngambek; Sang Kuriang tuluy ditundung sanggeus diteunggeul sirahna ku sinduk.

Nu ditundung téh inditna ngétan, terus ngétan, tapi satengahing jalan dadak dumadak linglung, balik deui ka kulon. Barang gok deui jeung Dayang Sumbi, itu ieu pada-pada pangling, indung teu apal ka anak, anak teu wawuh ka indung.

Lila-lila Sang Kuriang nepi ka pokna nanyaan ngajak kawin. Tapi barang kanyahoan ku Dayang Sumbi yén dina sirah Sang Kuriang aya pitak tapak paneunggeul, Dayang Sumbi tuluy nolak, sabab mustahil indung kudu kawin ka anak.

Sang Kuriang teu bisa percaya, teu bisa narima yén éta nu ditanyaan téh indungna. Keukeuh manehna ngajak kawin, keukeuh Dayang Sumbi nolak. Tungtungna diputuskeun: Dayang Sumbi daék kawin asal Sang Kuriang nyadiakeun talaga jeung parahu keur lalayaran, kudu dianggeuskeun dina jero sapeuting teu meunang kabeurangan.

Ieu paménta ditedunan, nya sapeuting Sang Kuriang digawé popohoan nyadiakeun talaga jeung parahu. Kira wanci janari pagawéanana geus méh réngsé. Tapi Dayang Sumbi teu béakeun akal, bari jeung ngibar-ngibarkeun boéh larang nu ku sabréhan siga balébat, manéhna ngabéjaan yén Sang Kuriang  kabeurangan.

Teu rék narima kana éta akal-akalan, Sang Kuriang ngambek, parahu disépak, Dayang Sumbi tuluy diudag-udag. Lumpat ka mana-mana ogé–ceuk carita–moal weléh diudag-udag.

Parahu nu disépak téa–cenah–tuluy nangkub nepi ka kiwari aya éta nu ngajegir di sakaléreun kota Bandung téa.

Jadi ku jegirna gunung Tangkubanparahu ogé ku urang Sunda saenyana diingetan yén di Sunda kungsi kacaritakeun aya hiji manusa nu luar biasa bedasna, luar biasa ambekna. Hiji manusa nu teu kapalang naon-naon ku naon-naon, teu kapalang nyieun kateucageur-bageuran, éstu jucung henteu tanggung-tanggung nepi ka mikahayang kawin ka indung.

Naha Sang Kuriang nu sarupa kitu téh aya dina batin Ki Sunda?

Jawabna: lain euweuh, da sora-sora nu ngajurung nitah nyieun kateucageur-bageuran téh aya dina unggal batin manusa, teu di Barat teu di Sunda. Soalna, lain dina batin Ki Sunda euweuh Sang Kuriang, tapi éta Sang Kuriang geus kalimpudan ku Si Kabayan, geus buni teuing kalimpudanana, nepi ka siga euweuh. Malah kapan kungsi kajadian aya sawatara urang Sunda nu hayang miceun carita Sang Kuriang, da cenah Sang Kuriang téh jelema teu bener, teu hadé pikeun atikan.

Tapi tuduhan “teu bener” ka Sang Kuriang, sarua jeung tuduhan “teu bener” ti beurang nu caang ka peuting nu poék. Méré ukuran ka peuting mah kudu ku peuting.

Da mun Sang Kuriang diukurna ku ukuran Sang Kuriang, ceuk saha Sang Kuriang henteu bener? Saméméh  manéhna maéhan Si Tumang, saméméh manéhna nanyaan Dayang Sumbi, kapan dicaritakeun heula yén manéhna lahirna ka dunya téh tina sabab si indung teu daya teu upaya, malah tina sabab teu inget-inget acan, nu ku lantaran kitu tuuy baé diteumbleuhkeun kana takdir ti Nu Kawasa, nu aya di luar kakawasaan manusa.

Tapi saha ari Nu Kawasa? Di mana ayana? Pertanyaan-pertanyaan sarupa kieu, mungguh pikeun manusa nu tunduk ka umum mah, jawabna ogé dipasrahkeun deui baé ka umum. Nya kitu deui bebeneran nu didasarkeun kana cenah yén nu ngareuneuhan Dayang Sumbi téh Si Tumang (Si Tumang bisa dihartikeun manusa nu nyicingan martabat hina kawas anjing) éta bebeneran, mungguh pikeun manusa nu tunduk ka ceuk batur mah enggeus baé ditarimakeun.

Tapi Sang Kuriang lain Dayang Sumbi. Manéhna mah manusa nu naon-naon ku naon-naon, manusa nu teu rék ngaheueuhkeun ka ceuk batur, manusa nu tatanya lantaran aya tanyakeuneun, mikir lantaran aya pikiraneun, maéhan lantaran aya paéhaneun. Sanggeus maéhan Si Tumang, sanggeusna indit ngétan, ceuk carita téa, manéhna balik deui ngulon; sanggeusna tatanya ka saluareun diri saha jeung di mana ari Nu Kawasa nu nakdirkeun, manéhna meunangna jawaban ngan ti diri sorangan, yén mungguh Nu Kawasa mah ngan aing, nya aing mataholang sakabéh.

Nya pangakuan ieu, pangakuan aing nu kawasa, aing nu bener, nu ngalantarankeun pangna neugtreug nanyaan ogé, sarta dina sakalieunana dibobodo magar kabeurangan, tuluy ngamuk ngudag-ngudag.

Ari pangna Dayang Sumbi ditanyaan, sabab mungguh keur nu jucung dina naon-naon ku naon-naon mah karasaeun yén di satukangeun jirim indung téh aya deui naon-naon nu ngajak naon-naon, di sagigireun kasadaran téh aya bawah-sadar nu nyowara yén mungguh di ieu dunya taya indung taya anak, nu aya ngan awéwé jeung lalaki nu silitarik.

Tapi kajucungan Sang Kuriang teu semet kitu, teu semet nangénan yén di sagigireun kasadaran aya bawah-sadar. Tapi ogé aya puncak-sadar nu medal dina pendirian: nya aing mataholang sakabéh. Hiji pendirian nu henteu euweuh dina filsafat Sunda baheula. Hiji pendirian nu geus gembleng ngahijikeun naon-naon nu aya di saluareun jeung sajeroeun diri, gembleng musat dina Aing sorangan.

Umaku boga Aing dina puncak-sadar, tapi ogé umaku aya aing dina bawah-sadar, ceuk saha éta pangakuan-pangakuan kajadianana teu ngagambarkeun kasampurnaan manusa nu naon-naon ku naon-naon, manusa nu nya déwa nya héwan, manusa nu jiwana ngagolak ngagedurkeun seuneu nu ngentab-ngentab?

Mun di Barat aya Nietzsche, di Sunda mah tah aya Sang Kuriang!

Ditempatkeun di sagigireun Si Kabayan puguh baé kawas bumi jeung langit. Nu hiji Ki Bujanggana sura-seuri lantaran teu naon-naon ku naon-naon. Nu hiji deui ngagolak lantaran naon-naon ku naon-naon. Tapi duanana jucung, duanana teu kapalang tanggung.

Duanana mangrupa harta kakayaan batin Ki Sunda warisan ti karuhunna. Duanana ménta dipulasara sing nepi ka aya kacapangan “Di sagigireun Si Kabayan aya Sang Kuriang”. Sabab duanana bisa ngarupakeun mitos dwitunggal Ki Sunda masing-masingna pada boga tugas: nu hiji ngajak usik nanjeurkeun kaagungan Sunda dina unggal saat, nu hiji deui ngajega ngajaga kajembaran Sunda ti abad ka abad.

*

Ku Utuy T. Sontani, éséy tina majalah Kiwari (1957). Foto ilustrasi tina lukisan Hendra Gunawan.

]]>
https://www.kearipan.com/kakayaan-batin-ki-sunda/feed/ 6 16721
Hokage, Übermensch dan Aristokrasi https://www.kearipan.com/hokage-ubermensch-dan-aristokrasi/ https://www.kearipan.com/hokage-ubermensch-dan-aristokrasi/#comments Fri, 14 Aug 2015 12:52:33 +0000 http://yeaharip.com/?p=6670 Desa Konoha, desa tersembunyi oleh daun pohon, mula-mula hanyalah sebuah ide utopis yang muncul dari kedua pemimpin klan tadi selama masa perang berkecamuk. Figur Hokage kemudian diciptakan.

Inilah Konoha, sebuah desa besar yang seringnya dalam lindungan damai, desa yang tumbuh sehabis rekonsiliasi antara klan Senju dan Uchiha – yang terlibat sengketa selama berpuluh-puluh tahun. Berkat inisiasi Hashirama Senju dan Madara Uchiha maka terbentuklah sebuah masyarakat madani dalam sebuah kesatuan desa.

A historical claim: “The beginnings of everything great on earth are soaked in blood thoroughly and for a long time.”

Nietzsche, The Genealogy of Morals

Konsep Hokage Sebagai Adimanusia

Setelah Konoha lahir, Hashirama kemudian mencipta konsep “Hokage”, istilah untuk pemimpin desa, dan menunjuk Madara sebagai orang yang pantas memegang tampuk jabatan ini. Namun, konsensus publik memilih Hashirama yang harus jadi orang no. 1 di Desa Konoha ini. Sebuah proses demokratis.

Namun, pada kelanjutannya, sistem pemerintahan di desa ini adalah sebuah aristokrasi, lebih tepatnya warrior aristocracy. Sebuah sistem yang menjamur di abad pertengahan Eropa, dan di Jepang ketika zaman samurai.

Yang bisa jadi hokage adalah orang terkuat, yang penunjukannya dilakukan oleh hokage sebelumnya berdasar rekomendasi dari konsil Konoha. Bukan kekuasaan yang diwariskan lewat darah, meski memang tokoh dari klan Senju sering terpilih. Ada Tobirama Senju, Hiruzen Sarutobi, Minato Namikaze, Tsunade (Senju), Hatake Kakashi, sampai Naruto Uzumaki, yang menjadi hokage pelindung Konoha. Ketika di bawah kepemimpinan mereka, suasana desa relatif kondusif.

hokage in konoha naruto manga masashi kishimoto

Sehubungan dengan ini, filsuf Nietzsche tampaknya setuju dengan konsep hokage. Ia menganggap yang diperlukan adalah suatu sistem aristokrasi: bukan suatu aristokrasi yang berdasar pada keturunan, melainkan suatu aristokrasi yang dipimpin oleh manusia-manusia yang memenuhi suatu syarat keunggulan.

Menurutnya, dalam pergaulan antarmanusia, yang kudu ditumbuhkan adalah manusia-manusia unggul, Übermensch, yaitu mereka yang dengan kekuatannya bisa mengatasi kumpulan manusia dan massa. Manusia unggul ini ditumbuhkan oleh gabungan yang harmonis dalam tiga hal: kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan.

Maka aristokrasi adalah kunci, dengan aristokratnya seorang Adimanusia; Übermensch. Apalagi dalam jagat dunia Naruto, hokage adalah manusia yang memang benar-benar Superman, dalam arti harfiah.

Hokage merupakan manusia dengan kekuatan metafisik ultra-dahsyat. Namun tetap, di balik kekuatan yang begitu super, para hokage tetap rendah hati dan berjiwa ksatria; nggak mau menyalahgunakan. Tanpa demokrasi pun, aristokrat seperti ini memang layak memimpin.

Demokrasi adalah suatu obsesi belaka, tempat setiap orang sempat bersaing sambil berteriak sama-rata-sama-rasa. Padahal manusia bersaing justru karena mereka berbeda-beda.

Menurut Nietzsche, demokrasi adalah suatu gejala yang menunjukan bahwa suatu masyarakat sudah menjadi busuk sehingga nggak mampu lagi melahirkan pemimpin-pemimpin yang agung. Ya, filsuf eksistensialis ini pembenci demokrasi, baginya ini adalah racun. Demokrasi menentang kenyataan bahwa kodrat alam adalah diferensiasi. Demokrasi telah membuahkan anarki dan menjadi kemewahan yang nggak mampu dimiliki rakyat.

Demokrasi memang sistem yang cacat, namun tetap dipakai, karena memang nggak ada lagi yang lebih baik. Adapun aristokrasi, ini hanyalah sistem yang sudah kadaluarsa, sering dipakai di abad silam, dan terbukti banyak infeksinya. Memang cocok di Konoha, tapi ini hanyalah sebuah dunia dongeng.

Aristokrasi cocok di alam fiksi, begitu pun demokrasi, tujuan berbagai sistem ini memang baik, tapi hanya sebatas cita-citanya. Pada akhirnya, segala yang ideal hanya ada dalam gagasan dan fiksi. Juga lewat genjutsu.

]]>
https://www.kearipan.com/hokage-ubermensch-dan-aristokrasi/feed/ 7 6670
Suatu Subuh di Pasar Andir https://www.kearipan.com/suatu-subuh-di-pasar-andir/ https://www.kearipan.com/suatu-subuh-di-pasar-andir/#comments Wed, 12 Aug 2015 13:12:25 +0000 http://yeaharip.com/?p=6705

Zarathustra tiba di tempat orang ramai berjual beli dan ia pun berkata: Larilah, kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil…

Di mana kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun.

Nietzsche menulis Also Sprach Zarathustra ini di tahun 1883, dan kita tak tahu persis apa pasar baginya. Bukankah pasar adalah tempatnya kebersamaan yang semu, hubungan antar-manipulatif, perjumpaan yang sementara dan hanya permukaan, pertemuan antara sejumlah penjual dengan sejumlah pembeli, yang masing-masing cuma memikirkan kebutuhannya sendiri agar terpenuhi? Bukankah pasar adalah sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir?

pasar andir street photography 1
pasar andir street photography 8

Tapi saya sedikit setuju dengan sang Rasul Zarathustra soal agar pergi keluar dari pasar, pergi menjauh dari tempat jijik dan tak beraturan ini. Kemudian lari ke supermarket. Tentu saja, di pasar tradisional tak ada rak-rak rapi dengan kemasan barang warna-warni.  Tak ada lemari-lemari pendingin. Tak ada AC. Tak ada ketenangan yang menyebabkan suara sepatu terdengar enak menginjak lantai, dan gadis-gadis penunggu berbicara sedap.

pasar andir street photography 5

Pasar bukanlah sesuatu yang indah – apa pun yang dikatakan para turis.

Sebuah centang perenang. Di sebelah sini, di lapak tukang daging, berhimpun serpihan usus, keratan tulang, bercak-bercak darah hewan yang anyir. Di pojok di dekatnya, penjual kue. Lalat-lalat hijau hinggap bolak-balik. Aroma tajam berbaur. Udara lembap, permukaan becek.

pasar andir street photography 4

Dan bau itu, kesumpekan itu, dari lapak ikan kering, dari wadah-wadah jengkol, dari bawang dan daun kol yang sebagian membusuk, seakan-akan bersekutu: menaklukan pancaindera.

Larilah menuju supermarket!

pasar andir street photography 2

Pasar memang bukan sebuah selingan estetis. Tapi tidak berarti ini bukan tempat terhormat. Justru ia suatu dunia, juga suatu fungsi, yang sudah sejak dulu seharusnya lebih dihormati – dengan segala kekumuhannya. Sebab di sinilah bertemu, dan sekaligus bergulat, apa yang oleh para ahli disebut “sektor informal”. Di sinilah tempat para pengecer, pedagang kecil, penghuni warung kecil, penyewa lapak yang kecil berkeringat dan meraih nafkah.

pasar andir street photography 6

Ya, ada gambaran lain: di kancah pasar bisa ada tipu daya, persuasi, tekanan, pengisapan namun juga dialog, proses belajar dan kesempatan kreatif. Bukankah sang filsuf besar Socrates pun menimba pengetahuan dan kearifan dari pasar?

pasar andir street photography 7

Inilah secuil potret Pasar Andir, sebuah teater yang akan terjadi mulai dari menjelang malam hingga pagi mengganti.

Inilah Pasar Andir, sebuah pasar yang terletak paling barat Kota Bandung: lokasinya di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya di Jalan Arjuna. Berada di terusan Jalan Rajawali Timur – Jalan Kebon Jati, juga dari Jalan Jenderal Sudirman. Lokasinya sebelah selatan Pasar Ciroyom.

Inilah pasar tradisional dengan segmen menengah ke bawah. Mungkin kumuh, tapi tetap terhormat. Ada jijik pun bajik. Dan setiap masuk pasar, selalu timbul nostalgia, ketika saat bocah pasti saya akan merengek minta dibelikan mainan pada sang bunda.

pasar andir street photography 9

Post-scriptum:

Inspirasi teks dari esai Goenawan Mohamad dalam “Zarathustra di Tengah Pasar” dan “Catatan Pinggir: Los”. Inspirasi esai foto dari proof.nationalgeographic.com.

Semua manusia yang terpotret adalah individu, orang yang punya kehidupan, bukan hanya model anonim. Dan maaf saya mencuri adegan kalian demi kepentingan estetis pribadi, tak bisa memberi kredit apapun.

]]>
https://www.kearipan.com/suatu-subuh-di-pasar-andir/feed/ 45 6705
It’s Fabulous Day! https://www.kearipan.com/its-fabulous-day/ https://www.kearipan.com/its-fabulous-day/#comments Thu, 30 Jul 2015 15:21:34 +0000 http://yeaharip.com/?p=6464 Sebuah keniscayaan, semua di dunia ini diciptakan berpasangan. Untuk menghilangkan rasa kesepian pada diri Adam, maka Tuhan menciptakan Hawa dari tulang rusuknya. Tapi benarkah wanita itu suatu penciptaan yang nggak keliru? Bukankah pria malah dapat lebih banyak derita dan bencana berkat adanya makhluk bernama wanita ini? Bukankah setelah ada Hawa, malahan Adam kemudian harus ditendang dari kehidupan surgawinya?

Woman was God’s second mistake. – Friedrich Nietzsche

Untuk menjawab pertanyaan ini, untuk lebih kenal dengan kaum Hawa ini, maka saya memutuskan nyemplung ke kampus yang didominasi kaum ibu-ibu.

Lihat: Fakultas Kekurangan Pria

fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad

Sesungguhnya pria dan wanita adalah sebuah kesatuan yang utuh. Ya, semua diciptakan berpasangan. Ketika ada awal, maka ada pula akhir. Ada pertemuan, pun ada perpisahan. Maka perjalanan pencarian hakikat adanya wanita di kampus ini sudah berlangsung 4 tahun lamanya.

Dan kebersamaan harus dipungkas dengan keterpecahan. Tapi ini bukan sesuatu yang sudah. Karena saya masih belum memahami benar soal wanita, dan saya pun masih setia menjadi mahasiswa, dalam artian belum ngerjain skripsi, belum uji proposal, belum sidang, belum lulus, belum jadi sarjana.

fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad

Fabulous, yang berarti hebat, besar, dan menakjubkan, merupakan nama julukan yang ditujukan untuk angkatan 2011 Fkep Unpad. Angkatan saya. Dan tibalah kami di akhir semester 8. Seperti balon, banyak yang akan terbang lepas ke dunia nyata; ada yang melanjutkan ke profesi, ada yang banting setir, ada yang menganggurkan diri, dan mungkin ada yang langsung kawin. Namun ada yang masih tertinggal. Iya itu salah satunya saya.

Membentuk grup, geng, atau kubu sendiri dalam masyarakat adalah sesuatu yang lumrah, baik secara psikologis dan biologis. Tentunya kelompok bisa tercipta karena kesamaan nasib; gaya hidup, asal daerah dan kesukuan, pemikiran ideologis, atau mungkin cuma karena keterpaksaan. Apalagi pada manusia yang baru beranjak dari remaja ke dewasa awal, pasti sangat butuh yang namanya punya kelompok. Begitu pun yang ada dalam tubuh keluarga Fabulous. Meski sering terjadinya yang namanya percik-percik konflik separatisme, namun ke-Bhinneka Tunggal Ika-an angkatan ini masih tegak. Dan saat ini saya tengah bergulat bersama grup BCL: Barudak Can Lulus. Huft.

fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad

Wisuda adalah suatu proses pelantikan kelulusan mahasiswa yang telah menempuh masa belajar pada suatu universitas. Sebelum terlibat proses sakral ini, maka diadakanlah kegiatan kumpul bareng, mungkin bisa disebut farewell party. Diadakan Rabu kemarin (29/07), bertempat di Bale Sawala Rektorat Unpad, Jatinangor. Tadinya sih bakal diadakan bikini party, tapi batal karena satu dan lain hal, tahu sendiri lah kami ini masyarakat berbudaya dan beragama. Kalau sampai ada pesta bikinian, tentunya saya dan kaum pria yang diuntungkan.

Selamat terbang kawan-kawan, raihlah mimpi kalian hai para wanita dan satu orang pria. Saya sebagai yang katanya penulis, merasa iri pada kalian yang sudah punya karya tulis. Iya, saya sang pemimpi yang katanya ingin kerja dan tinggal Jepang, yang katanya ingin melanjutkan studi S2 di Social Psychology & Philosophy, yang katanya ingin cepat beristri ini masih terganjal si skripsi sialan.

fabulous keperawatan unpad
fabulous keperawatan unpad

Selain telat lulus, saya juga terlambat menyadari. Ternyata wanita di angkatan ini pun banyak yang cocok buat dijadikan calon istri. Oh. Yes, I’m totally damn straight!

“Segala yang ada pada diri wanita adalah teka-teki,” sabda Zarathustra, lalu ia melanjutkan, “Dua hal yang didambakan pria sejati: bahaya dan hiburan.” Ah ya, saya salah. Harusnya bukan hanya memahami wanita, karena mereka terlalu pelik untuk dimengerti, tapi yang lebih penting adalah belajar mencintai mereka.

fabulous family day
]]>
https://www.kearipan.com/its-fabulous-day/feed/ 44 6464