Dalam diam malam, ketika lampu sudah padam dan dunia mulai meluruh dalam kelamnya, terkadang saya menemukan kehangatan dari layar yang dingin. Bukan film porno yang riuh rendah dengan desahan artifisial, bukan pula tubuh telanjang yang dijajakan dalam pose-pose berlebihan. Tapi justru, dari satu sosok yang mungkin tak dikenal banyak orang: Jin Hee, seorang model seksi asal Korea, yang entah bagaimana hadir seperti rahasia kecil saya sendiri.
Dia tak seperti para gravure idol Jepang yang punya halaman Wikipedia sendiri, atau setidaknya tag khusus di situs bajakan. Jin Hee lebih seperti gema samar: ada, tapi nyaris tak bisa disentuh. Saya bahkan tak tahu nama lengkapnya, tak tahu apakah itu nama panggung atau nama betulan. Tapi setiap kali foto dirinya muncul dalam balutan pakaian dalam, pose menggoda namun tak berlebihan, saya merasa seperti menemukan oase—tempat birahi bisa mengendap dengan tenang, tanpa perlu meledak-ledak.
Saya tidak tahu sejak kapan, tapi saya menyadari bahwa saya jarang merasa terangsang oleh film porno. Gerakannya terlalu teatrikal, suaranya terlalu dibuat-buat. Bagi saya, rangsangan datang dari sesuatu yang lebih diam, lebih estetis. Manga hentai, dengan sapuan garis yang menyembunyikan dan menampakkan dalam ketegangan visual, sering lebih efektif. Atau, seperti Jin Hee tadi, sebuah foto dalam pakaian dalam, yang menyisakan ruang bagi imajinasi untuk bermain, membisikkan kemungkinan, bukan menyerahkan semuanya sekaligus.
Apakah ini termasuk fetisisme? Entahlah. Saya mencoba menggali makna dari kata yang sering dipakai untuk menyederhanakan kompleksitas hasrat manusia. Kalau saya lebih suka pakaian dalam ketimbang ketelanjangan total, apakah itu berarti saya memuja benda? Ataukah saya hanya menolak vulgaritas yang terlalu terang, terlalu gamblang? Saya tidak tahu, dan jujur saja, saya merasa tidak butuh tahu. Mungkin seperti halnya puisi, hasrat juga punya cara sendiri untuk menyampaikan maksud tanpa harus menjelaskannya.
Yang saya tahu adalah, Jin Hee bukan sekadar tubuh. Dia adalah isyarat. Sebuah jeda di tengah kebisingan algoritma yang menjejalkan konten dewasa secara massal. Dalam dunia yang terlalu sibuk menjual orgasme, Jin Hee hadir sebagai bentuk kesunyian yang erotis. Saya menatap fotonya bukan karena saya ingin melihat lebih banyak, tapi karena saya ingin merasa lebih dalam.
Tapi saya juga sadar, betapa terisolasinya minat ini. Industri gravure Jepang memproduksi ratusan idol setiap tahunnya, lengkap dengan photobook, wawancara, hingga acara variety show. Tapi di Korea, model seksi seperti Jin Hee hidup di pinggiran. Mereka tak punya sistem distribusi yang rapi. Informasinya tercecer di forum-forum samar, foto-fotonya sering dibagikan tanpa konteks, tanpa hormat. Saya mencari-cari info tentang Jin Hee seperti mencari reruntuhan di gurun. Dan dalam pencarian itu, saya mulai menyadari bahwa mungkin saya sendiri adalah reruntuhan: seseorang yang masih percaya bahwa erotisme bisa hadir tanpa harus ditelanjangi.
Malam kembali larut. Layar saya gelap. Dan di kepala saya, Jin Hee masih berdiri dalam balutan lingerie, setengah tersenyum, setengah melamun. Barangkali dia pun sedang bertanya: apakah saya sekadar objek? Atau adakah yang melihat saya sebagai sesuatu yang lebih?
Saya tak tahu. Tapi saya ingin percaya bahwa di balik setiap tatapan, selalu ada rasa yang tak bisa dijelaskan. Dan mungkin, itu saja sudah cukup.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah sebelum komentar dilarang. Jika kolom komentar enggak muncul, hapus cache browser atau gunakan versi web.