Jika dunia Fate series adalah karnaval tak berujung ketika setiap studio mencoba menafsirkan ulang mitologi Holy Grail War dengan caranya sendiri, maka Fate/Extra Last Encore adalah monumen kesepian yang berdiri di tengah pesta itu.
Sebuah mimpi buruk yang indah, sekaligus pengkhianatan terhadap harapan penonton yang menginginkan pertarungan epik ala Unlimited Blade Works atau Fate/Grand Order.
Fate/EXTRA: Last Encore yang Menolak Dikenali

Shinji dan Rin Tohsaka hadir, seperti yang kita kenal tapi agak berbeda. Akademi Tsukimihara menggantikan Fuyuki, dan Moon Cell mencoba menjadi Cawan Suci. Ini adalah Extraverse, sebuah realitas digital yang terasa seperti mimpi demam: penuh warna, tapi membusuk di dalamnya.
Studio Shaft, dengan estetika surealisme ala Monogatari dan Madoka Magica, mengubah dunia Fate menjadi labirin psikologis. Setiap lantai Angelica Cage adalah lapisan ingatan yang terdistorsi, setiap Master yang ditemui Hakuno adalah bayangan trauma.
Tapi di sinilah masalahnya: Last Encore bukan adaptasi, melainkan semacam New Game+. Sebuah narasi yang hanya bermakna jika sudah menyelesaikan permainan PSP-nya. Bagi penonton baru, ini seperti membaca puisi yang separuh halamannya hilang. Indah, tapi tak utuh.
Hakuno Kishinami bukan protagonis biasa. Dia bangkit dari genangan darahnya sendiri, dipicu oleh kebencian yang tak bernama. Ini bukan kisah kemenangan, tapi dendam yang menggerogoti.
Nero Claudius, Saber-nya, bukanlah legenda yang sempurna. Dia adalah kaisar penuh drama yang terperangkap dalam ilusi kejayaannya. Hubungan mereka bukan partnership, melainkan cermin yang saling memantulkan kegagalan.
Fate Series Bagi yang Sudah Terluka
Seperti biasa, Shaft terlalu asyik bermain dengan simbolisme. Adegan-adegan pertarungan, alih-alih canggih seperti karya Ufotable, justru terasa seperti teater absurd. Gerakan-gerakan Nero yang flamboyan, latar belakang yang runtuh menjadi piksel mungkin bakal membuat bingung bagi yang awam.
Jika Ufotable menjual Fate series sebagai epik pertarungan dengan animasi memukau, Shaft menjadikannya puisi visual tentang ingatan yang korup. Masalahnya, Last Encore terjebak di antara dua dunia: terlalu abstrak untuk dinikmati sebagai anime aksi, juga terlalu terburu-buru untuk menjadi eksperimen filosofis yang mendalam.
Fate/Extra Last Encore adalah anime yang tidak ramah, menuntut penonton untuk membongkar lapisan narasinya sendiri, dan bagi yang tidak siap, ini hanya akan terasa seperti nonsens visual.
Justru bagi yang pernah bermain Fate/Extra, bisa jadi inilah karya paling personal, sebuah surat cinta sekaligus surat bunuh diri dari dunia yang seharusnya sudah mati.
Jika Fate biasa adalah pedang yang berkilau, Last Encore adalah pisau berkarat yang menusuk pelan, dan luka yang ditinggalkannya mungkin lebih dalam dari yang disadari.

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah sebelum komentar dilarang. Jika kolom komentar enggak muncul, hapus cache browser atau gunakan versi web.